12

1192 Kata
Panji berlari ke arah kamar dimana Ibu Aya sedang terbaring lemah di tempat tidur. Sedangkan Fathur sudah sibuk membawa tas berisikan perlengkapan yang dibutuhkan selama di rumah sakit. Aya pun sibuk dengan kondisi Ibunya yang langsung down dan drop. "Bantu aku Aya. Kamu jangan cemas seperti itu." ucap Panji menenangkan Aya. Panji pun mengangkat tubuh kecil Ibu Aya yang sudah terlihat lemah dan tidak berdaya. Tangannya hanya memegang dadanya yang semakin terasa sakit. Aya dan Ibunya sudah berada dalam taksi online sedangkan Panji dan Fathur menuju Rumah Sakit menggunakan motornya. Satu Tangan Aya mengusap lembut kepala Sang Ibu yang tertutup Jilbab sedangkan satu tangannya lagi memegang tangan Ibunya. Badannya sungguh lelah, sejak sore belum istirahat saat jualan hingga petang. Saat ini langsung dihadapkan dengan masalah keluarga yang besar berujung terlukanya hati Sang Ibu. "Ibu mana yang sakit. Ibu tahan ya, sebentar lagi kita sampai Ibu." ucap Aya pelan dan mengecup kening Sang Ibu. Tangan Ibu pun menuntun tangan Aya ke arah dadanya yang terasa nyeri dan ngilu. Detaknya pun terdengar sangat pelan dan lemah "Cepet dong Pak. Tolong saya, jangan sampai Aya kehilangan Ibu." ucap Aya histeris. Kecemasannya kembali teringat kisah dua tahun yang lalu. Saat Ayahnya terkena serangan jantung dan kemudian tidak lama meninggal, karena tidak ada yang menolongnya. Apakah hal itu akan terulang lagi? gumam Aya dalam hati. Aya hanya bisa berserah diri kepada Sang Pemberi Hidup, walaupun hatinya tidak sanggup menerima kenyataan pahit. Bunyi ketukan di kaca jendela taksi online pun membuyarkan pikiran Aya yang sudah menerawang kemana-mana. "Buka jendelanya Aya?!!" ucap Panji dengan suara keras. Panji takut Aya tidak mendengar suaranya dari luar. "Mbak ... Kita sudah sampai di rumah sakit, buka saja pintunya. Itu Masnya sudah bersiap." ucap Supir taksi online itu dengan sopan. Dengan cepat Aya pun membuka kunci dan pintu mobil. Brankar rumah sakit pun sudah siap di samping taksi itu agar cepat di bawa ke UGD. Para tenaga medis pun langsung membawa Ibu Aya ke dalam ruangan UGD. Di sana Ibu Aya mulai di periksa. Nafas Ibu pun terlihat semakin sulit dan tersengal walaupun sudah dibantu dengan selang oksigen. Panji yang mengurus administrasi di ruang pelayanan depan. Hatinya hanya sedih bila kejadian ini suatu saat juga menimpa dirinya. Urusan administrasi pun selesai, Panji segera menyusul Fathur dan Aya ke ruang UGD. Pikirannya saat ini adalah membantu Ibu Aya dan menemani Aya karena hanya itu yang bisa Panji lakukan. Langkah kakinya begitu lebar dan panjang, hingga mendengar suara yang sangat Panji kenal, suara histeris dan tangisan yang bersahutan. Panji pun semakin cemas dan takut, pintu UGD itu dibuka dan semuanya seakan berhenti disana. Waktu yang tadi berdetak mengikuti arah jarum jam pun tiba-tiba berhenti seperti kehabisan daya. Aya dan Fathur sudah terkulai lemas memeluk Ibunya yang sudah tertutup kain putih. Baru saja memesan kamar rawat inap terbaik agar Ibu Aya bisa beristirahat dengan nyaman, ternyata kenyamanannya adalah di liang lahat. Akhir cerita itu terkadang tidak sesuai dengan yang kita harapkan, sama seperti dengan kehidupan yang selalu berputar seiring dengan berjalannya waktu, tanpa tahu apa yang menjadi harapan dan keinginan kita. Panji datang dan memegang bahu Aya yang masih saja bergetar. Tangisannya benar-benar tidak bisa berhenti. Waktu tidak bisa di putar kembali, siapa sekarang yang harus disalahkan. Siapa yang harus bertanggung jawab dengan keadaan dan kenyataan ini. "Aya ... Aku tahu ini berat untukmu. Tapi cobalah untuk mengikhlaskan. Semua tidak bisa di ulang, semua tidak bisa kembali seperti dulu. Hanya Allah SWT yang tahu tentang Rahasia Kehidupan kita." ucap Panji pelan. "Aku tidak punya siapa-siapa lagi Mas. Hanya Ibu yang aku punya. Hidupku harus bagaiman selanjutnya." ucap Aya menangis kencang. Suaranya serak dan terbata bata. "Ada aku Aya. Aku akan menjagamu sesuai dengan janjiku padamu Ibumu." ucap Panji pelan. Aya pun menatap sendu ke arah Panji. Hidupnya seakan berhenti setelah semuanya hilang dari kehidupannya. Hanya ada Fathur adiknya yang Aya miliki. Mereka akan hidup berdua selamanya hingga masing-masing dari mereka pun akan berpisah karena memiliki kehidupan yang berbeda. "Jenasah Ibu kita bawa pakai Ambulan, besok pagi kita kebumikan. Kamu kuat Aya, ada Aku yang akan menemanimu." ucap Panji pelan. Entah bagaimana kehidupan Aya dan Fathur setelah ini. Semua masih menjadi rahasia. Dari malam surat Yasin sudah digemakan untuk menghantarkan jenasah. Pagi ini semua tampak sibuk untuk persiapan penguburan jenasah Ibu Aya. Aya dan Fathur terus saja menangis. Semua keperluan Panji yang mengurus dibantu oleh Wibisono dan Nunu. "Panji ... aku lihat kamu mulai suka sama Aya?" tanya Wibisono saat Panji dan Wibisono membeli Snack keperluan para pembuka liang lahat. "Entahlah Wib ... Awalnya hanya suka, tapi setelah kejadian ini rasanya aku ingin menjaganya." ucap Panji dengan jujur. "Ada Rasa Cinta gak?" tanya Wibisono kembali. "Jujur aku masih kecewa dengan perempuan, terlebih pengkhianat itu masuk ke dalam keluarga Aya. Tapi rasa ingin menjaga Aya harus aku lakukan. Aku sudah berjanji pada Ibunya Aya." ucap Panji pelan. Panji sendiri tidak menyadari perasaan apa yang sebenarnya sedang ia rasakan. Awalnya memang suka dan kagum, makin kesini dan mengenal sosok Aya, Panji semakin salut dan sayang. Terlebih kejadian tadi malam membuat Panji ingin selalu menjaga gadis itu. Apakah ini cinta? Kalau cinta ke apa berbeda saat aku mencintai Friska?, gumamnya dalam hati. Tepat pukul delapan pagi jenasah Ibu Aya pun di kebumikan tepat di sebelah kuburan Ayah Aya. Bunga yang masih wangi dengan harum air mawar yang ditumpahkan di atas tanah kuburan. Yasin pun masih terucap bersahut sahutan. Ibu Aya dikenal sebagai sosok Ibu yang baik dan tetangga yang ramah dan sopan. Banyak orang melayat untuk mengantarkan Ibu Aya ke peristirahatan terakhirnya. Teman teman di Pasar Beringharjo pun satu persatu berdatangan termasuk Mas Gepeng dan Mas Whatong. "Aya yang sabar. Kalau ada apa-apa bilang Mas Gepeng atau mas Whatong kamu akan membantu kamu dan Fathur." ucap Mas Gepeng pelan dan menepuk pelan bahu Aya yang masih menangis di atas tanah merah yang basah itu. Pipinya sudah kotor karena air mata dan leleran peluh serta tanah liat yang menempel. Hatinya masih kosong rasanya pahit dan getir mengingat perjalanan hidupnya yang tragis. Entah setelah ini akan terjadi apa lagi. Hanya rumah itu satu satunya peninggalan Ayah dan Ibunya. Lapak jualan di Pasar pun akan dilanjutkan Fathur sepulang sekolah untuk membantu biaya hidup sehari hari. Tatapan Aya hanya pada nisan Ibunya. Namanya Ibunya jelas tertulis disana, bukan nama yang lain. Aya hanya memastikan nama itu benar, dan ini bukan mimpi ataupun bunga tidur. "Mbak Aya ... Ayok pulang." ucap Fathur pelan. Sambil merangkul pundak kakak perempuannya itu. Aya hanya menggelengkan kepalanya. Aya masih ingin disini bersama tanah yang telah menutup penuh jasad Ibunya. "Wib ... bawa Fathur pulang. Dan kamu Nunu, persiapkan di rumah. Aku akan menemani Aya dulu disini." ucap Panji menitah kedua sahabatnya. Mereka pun keluar dari area makam dan pulang menuju rumah Aya. Sedangkan Panji masih setia menemani Aya di makam itu. "Aya ... kita pulang yuk." ajak Panji pelan. Tangannya mengusap rambut dan punggung Aya dengan lembut. "Nanti Mas Panji. Sebentar lagi. Aku masih ingin bersama Ibu dan Ayah." ucapnya meracau. Panji hanya menghela nafasnya panjang. "Aku sama siapa Ibu. Ibu tidak ada lalu Aya harus sama siapa sekarang." tangisnya pecah lagi, suaranya semakin serak. Tangannya mengepal dan memukul mukul tanah merah itu dengan sangat kuat. "Aya ... "
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN