Aya melihat dengan pasti pria pemesan hatinya ini. Pria itu menggunakan topi dan memakai jaket kulit, tak lupa masker wajah untuk menutupi sebagian wajahnya. Suaranya khas dan tidak asing tapi..... Aya pun tersenyum lebar dan setengah berteriak.
"Cuma untuk setia udah Aya lakukan. Hati Aya cuma buat Kakak...." ucap Aya dengan pelan dan terharu. Isak tangisnya pun sudah tidak terbendung.
Aya menatap dengan lekat pria di depannya, rasa rindunya kepada Kakak tersayangnya sudah maksimal. Sudah satu tahun ini Kak Fadil tidak pulang ke Yogyakarta. Alasan sibuk sudah menjadi alasan mendasar.
Aya pun menghambur ke pelukan Sang Kakak. Selama ini hanya Kak Fadil yang selalu memberikan support dan dukungan baik materi dan non materi, selain Firman sahabatnya.
"Kak Fadil... Kok gak kabarin Aya mau datang?" tanya Aya pelan. Pelukannya semakin erat di d**a bidang Sang Kakak.
"Surprise..... Kan adik Kakak mau ulang tahun. Niatnya mau cuti Minggu depan, tapi gak boleh, karena Kakak harus ke luar kota." ucap Fadil pelan.
Aya pun melepaskan pelukannya dan menatap wanita di belakang Kak Fadil. Seakan bertanya, dia itu siapa?..
"Kenalin dia Friska, calon istri Kakak." ucap Kak Fadil dengan suara yang mantap.
"Calon Istri???" tanya Aya dengan suara keras.
"Kenapa Aya sayang. Tetap cantik kan kamu, gak ada yang menandingi." ucap Fadil lirih di dekat telinga Aya. Satu matanya mengedip ke arah Aya.
Friska menatap tajam ke arah Aya. Tatapan yang seakan ingin membunuh saat itu juga.
"Kalian seperti sudah kenal?" tanya Fadil pelan, memecah keheningan di antara keduanya.
"Belum Kak Fadil, tapi kayak pernah lihat, di rumah temen Aya." ucap Aya dengan polos.
"Mungkin kamu salah orang, Aya. Aku bukan dari kota ini. Aku datang special untuk menjemput Fadil. Betul kan sayang?" tanya Friska dengan manja.
"Mau pesen apa Kak Fadil? ehh... ngomong ngomong kok Kak Fadil tahu Aya kerja disini? dari siapa?" tanya Aya menyelidik.
"Firman... Siapa lagi." ucap Fadil pelan.
"Firman? kapan?" tanya Aya kembali.
"Tadi pagi. Kalian ada masalah?" tanya Fadil kemudian.
"Firman entah pergi kemana Kak Fadil. Aya juga gak tahu. Mau pesen apa?" tanya Aya lagi
"Menu spesial di angkringan ini. Kakak mau makan banyak." ucap Fadil sambil tertawa dan meninggalkan tempat angkringan dan duduk lesehan bersama Friska dan kedua temannya.
Malam yang aneh, gumam Aya pelan. Kenapa juga harus Friska?, gumam Aya lirih.
"Kenapa cemberut gitu? Nanti cantiknya hilang lho?" tanya Panji yang sudah duduk di depan gerobak.
"Mas Panji...... eh ... anu Mas... anu... pesen apa Mas?" tanya Aya pelan.
"Kaget lihat aku? Dia memang Friska, kamu tidak salah lihat Aya. Es teh manis saja satu, biar hati ikut adem... " ucap Panji berkelakar.
"Aya buat pesenam Kak Fadil dulu ya Mas Panji." ucap Aya pelan.
"Aku tetap menunggu Aya, tenang saja." ucap Panji dengan senyum manis dengan kedua lesung yang tercetak jelas di kedua pipinya.
Panji hanya memandangi Aya yang dengan lincah dan cekatan melakukan pekerjaan yang menurut Panji ini hal yang tidak mudah.
Sesekali menatap wajah ayu dan manis Aya yang sedang fokus membuat pesanan para pembeli.
"Ini pesanan Mas Panji." ucap Aya pelan dan tersenyum.
"Aya.... wedang jahenya nambah satu lagi." ucap Fadil pelan kepada adiknya.
Tatapannya berpindah pada lelaki yang sedang duduk di kursi panjang yang sedang menerima pesanan dari Aya.
"Makasih Aya." ucap Panji pelan.
"Kamu teman Aya? atau siapa?" tanya Fadil menyelidik.
"Saya hanya pembeli Mas, cuma sering kesini, jadi kenal dengan penjualnya." ucap Panji pelan.
"Wajahmu seperti tidak asing. Aku pernah melihatmu tapi dimana." ucap Fadil pelan mencoba mengingat ingat.
"Ini Mas Fadil, wedang jahenya. Dia Mas Panji, kemarin menolongku dari preman jalanan." ucap Aya pelan menjelaskan.
Fadil pun tampak tersenyum tipis dan menganggukan kepalanya dan berlalu meninggalkan keduanya.
Panji hanya menatap sekilas ke arah Fadil dan fokus kembali pada es teh manisnya. Lalu menatap kembali ke arah Aya.
"Dia Kakak kamu?" tanya Panji pelan, kedua netranya menatap lekat ke arah Aya.
"Iya Mas Panji, Dia Kak Fadil, Kakak Aya. Sudah dua tahun bekerja di Ibukota dan sudah setahun ini tidak pulang. Aya kangen sekali. Ada apa?" tanya Aya lembut, sekilas menatap Panji kemudian fokus kembali ke pekerjaan yang tertunda.
"Entahlah Aya, ada apa sebenarnya hubungan Kakak kamu dengan Friska." ucap Panji sedikit melemah.
Aya mendonggakkan kepalanya, senyumannya ditahan, ada perasaan ragu untuk mengungkapkan siapa Friska saat diperkenalkan oleh Fadil tadi.
"Tadi..... " suaranya pelan dan tertahan kembali seakan nyangkut di tenggorokannya.
Panji tersenyum dengan tatapan berharap ucapannya dilanjutkan.
"Katakan saja Aya? Aku siap mendengarkan. Aku tahu, Wibisono pernah mengatakan kepadaku bila Friska menyukai laki laki lain. Tapi Aku tidak tahu siapa dia. Hubunganku dengan Friska sudah lama tidak baik. Yang aku herankan, ada saat-saat tertentu dia datang lagi dan bermanja manja lagi denganku." ucap Panji pelan, rasanya seperti dipermainkan oleh Friska atas nama cinta.
"Aya belum pernah pacaran Mas Panji. Jadi Aya tidak bisa memberikan solusi apa-apa." ucap Aya pelan. Dirinya tidak mau terlibat dengan permasalahan cinta segitiga yang membawa nama Kak Fadil. Lebih baik tidak mencampuri urusan orang lain.
Panji tampak mengerti dengan situasi yang sedang dihadapi Aya. Di satu sisi pria itu Kakak Kandungnya, yang ini pria baik yang telah berjasa menolongnya.
"Aku pindah duduk di lesehan Aya, mau tunggu Wibisono dan Nunu. Pesan kopi hitam dua, nasi kucing empat, mendoan di bakar sepuluh, sate usus dan sate telur juga dibakar. Makasih Aya." ucap Panji pelan.
"Mas Panji..... tadi Aya ketilang, jangan lupa ya minggu depan sidang." ucap Aya pelan.
"Besok aku ambilkan SIM kamu. Jangan khawatir kalau cuma ketilang Polisi. Khawatirkan bila hatimu sudah ketilang di pikiranku Aya." ucap Panji lembut. Dua netra itu saling beradu, dan saling mengulum senyum.
"Sudah Mas Panji, tidak perlu menggoda Gadis yang sedang berjualan. Nanti Aya antar pesanan kamu." ucap Aya pelan.
Panji pun tersenyum penuh kemenangan, setidaknya, sejak pertemuan pertama itu, ada rasa kagum dan selalu rindu dengan gadis penjual angkringan ini.
Panji pun duduk di atas tikar plastik berwarna hijau, tepat di belakang lesehan yang diduduki oleh Friska dan Fadil serta kedua temannya.
Sesekali tangannya membuka fitur kamera dari ponselnya dan membidik beberapa kali dengan hasil jepretan yang sesuai dengan ekspektasi nya.
Panji hanya ingin membuktikan kesetiaan dan keseriusan Friska. Ayah Friska seorang pengusaha mebel sudah mengenal Panji dengan sangat baik. Beberapa kali Ayahnya meminta Panji untuk selalu memantau Friska, karena semenjak semester akhir Friska sering pulang malam, saat di tanya hanya pergi dengan temannya.
Tampak dari kejauhan Wibisono dan Nunu sedang memarkirkan motornya dan berjalan ke arah angkringan. Tatapan Wibisono pun beralih pada Friska yang sedang bergelayut manja di lengan Fadil. Sekilas menatap Panji yang berada di belakangnya hanya menatap penuh kekecewaan dan mengabadikan moment tersebut sebagai bukti.
Friska tidak sadar dengan kehadiran Wibisono dan Nunu serta kehadiran Panji yang sudah dari tadi memantau dari belakang.
Wibisono dan Nunu pun duduk dan tampak saling menyenggol lengan satu sama lain, tanpa mengeluarkan suara.
Aya hanya menatap iba dari kejauhan, mengantarkan pesanan Kak Fadil dan teman temannya.
"Ini Kak Fadil, pesanannya." ucap Aya pelan. Tatapannya beralih ke arah Friska yang cuek bergelayut manja
"Makasih ya Aya sayang." ucap Fadil lembut. Fadil sangat hapal sekali, adiknya sedang cemburu. Tapi mau gimana lagi, ada hal penting yang belum diketahui keluarga Aya mengenai Friska dan Fadil.
"Ini adik loe Dil? boleh juga nih." ucap Bintang pelan.
"Udah Bintang, adik gue juga udah punya calon sendiri, gak usah berharap. Cukup gue aja yang loe jebak." ucap Fadil pelan.
"Jangan loe ungkit lagi Dil. Kan gue udah minta maaf." ucap Bintang tertunduk lesu.
"Ada apa sih Kak Fadil?" tanya Aya pelan. Merasa ada sesuatu yang tidak beres antara Kakak nya dan kedua temanya ini.
"Sudah Aya. Tuh ada yang beli." ucap Fadil menunjuk arah angkringan yang kosong dan ada beberapa pembeli yang mengantri disana.
Aya menoleh ke arah angkringan dan sekilas menatap Panji yang duduk tepat berada di belakang Friska. Panji hanya menatap Aya dengan wajah yang datar.
"Aya .... itu ada yang beli. Kok bengong?" ucap Fadil pelan.
Aya pun segera bangkit berdiri dan berjalan menuju angkringannya, dan mulai melayani beberapa pembeli yang sudah mengantre disana.
'Seperti ada sesuatu yang terjadi, tapi apa.' gumam Aya dalam hati.
Aya kembali mengantarkan pesanan Panji.
"Ini Mas Panji pesanannya." ucap Aya keras dengan sengaja agar Friska mendengar.
Wibisono dan Panji pun sontak menutup mulut dengan jari telunjuknya agar Aya tidak memanggil Panji.
Suasana ramai pun tidak mengalihkan perhatian Friska dengan suara keras yang hanya terdengar samar-samar ditelinganya. Berbeda dengan Bintang yang mengenal wajah Panji dan Wibisono segera memberi kode kepada Friska tanpa sepengetahuan Fadil.
Friska yang tidak mengerti dengan kode Bintang pun hanya memutar kedua matanya dengan malas. Duduknya kembali ditegakkan kembali dan tidak bergelayut manja di depan Bintang.
"Mas Panji, sebenernya ada apa?" tanya Aya pelan.
"Maksud kamu apa Aya?" tanya Wibisono menyela.
"Ada apa dengan Mbak Friska. Aya kok merasa ada yang aneh." ucap Aya dengan polos dan jujur.
"Kenapa Aya. Bingung ya?" tanya Wibisono kemudian.
"Sudah Aya. Lanjutkan, kasihan pembelimu. Fathur menjemputmu?" tanya Panji pelan.
Aya hanya mengangguk pelan.
"Iya Mas, kenapa?" tanya Aya kemudian.
"Nanti Mas akan ceritakan kepadamu. Ini bukan waktu yang tepat." ucap Panji pelan.
"Soal Mbak Friska?" tanya Aya menyelidik.
Terdengar teriakan dari arah angkringan.
"Woyy...... dodolan sing bener, Ojo Mbojo wae." ucap salah satu pelanggan setia Aya.
Secepat kilat Aya pun berdiri dan berlari meninggalkan Panji dan Wibisono. Aya tersenyum manis, walaupun rasanya masih terengah-engah, nafasnya masih memburu cepat.
"Tumbas nopo Mas? kopi nopo wedang jahe?" ucap Aya pelan dan sopan.
"Kopi Ireng, gelase diwalik nggih Mbak Aya." ucap salah satu pembeli.
"Nggih Pak." ucap Aya sopan.
Aya mulai membuat kopi uang cukup unik. Kopi hitam biasa dengan posisi gelas dibalik dengan sebuah tatakan atau piring kecil di bawahnya. Cara meminumnya pun unik, dengan menyeruput sedikit demi sedikit air kopi yang mengalir dari sela sela gelas. Nikmat yang tak terkira, ditambah sebatang rokok yang membuat halusinasi pun berangkat jauh ke alam pengharapan yang tidak nyata.