10

1061 Kata
Pagi ini Firman sudah berada di sebuah kota terpencil. Kota masa kecilnya dulu sebelum bertemu dengan Aya. Disini dulu Firman di lahirkan dan dibesarkan sebelum akhirnya pindah ke kota Yogyakarta. Kota yang tidak jauh dari Yogyakarta hanya saja banyak orang tidak mengenal kota itu. Rumah sederhana dengan taman bunga yang indah, terlihat sangat alami dan asri. Bangunan kuno dengan jendela besar dan tembok yang masih berasal dari batu. "Apa kamu menyesal dengan kehidupan yang kamu alami saat ini Firman." ucap Nenek Asti kepada Firman dengan lembut. Tangan tua dan keriput itu mengusap kepala hingga punggung Firman dengan penuh kelembutan. Tatapan Firman yang kosong ke arah luar jendela. Disinilah Firman berdiri, menyemangati dirinya sendiri dan berusaha sendiri dengan apa yang dia miliki saat ini. Kedua orangtuanya sudah meninggal karena kecelakaan. Keduanya kritis dan di rujuk ke Rumah Sakit di Ibu kota namun takdir berkata lain, keduanya menghembuskan nafas terakhirnya saat akan menjalankan operasi besar. Kesedihannya tidak bisa dibendung lagi, hatinya terasa perih dan sesak. Di hari yang sama, Firman harus kehilangan kedua orangtuanya bersamaan. Rencananya rumah yang ada di Yogyakarta akan dijual, Firman akan pindah ke kota kecil ini dan mulai membuka usahanya sebagai Fotografer. Sekolahnya akan dilanjutkan di daerah ini juga, mungkin dengan begitu semua kenangan indah bersama kedua orangtuanya pun bisa di lupakan. "Jangan di ungkit lagi Nek. Firman tidak kuat mengingatnya. Terlebih..... " ucapan Firman pun terhenti. "Nenek tahu kegundahanmu Firman. Mau sarapan apa? Nenek buatkan." ucap Nenek Asti lembut. "Tidak perlu Nek. Firman menunggu Mbak Tuti. Rumah sepertinya sudah dijual. Semua barang juga dijual semua. Aku ingin melupakan semuanya Nenek." ucap Firman pelan. Buliran kristal bening itu pun luruh di pipi pria tampan itu. Hatinya terasa mencelos ke luar mengingatkan ketiadaaan kedua orang tuanya. Setiap hari Firman pun mengunjungiakam kedua orang tuanya. Makam yang bersebelahan dan masih berwarna merah dan basah. Kembang tujuh rupa pun masih terlihat segar di atas tanah kuburan. "Assalamualaikum.... Nenek Asti.. " ucap Mbak Tuti dan Mas Alex serempak. "Waalaikumsalam... Masuk Tuti, Alex... " Ucap Nenek Asti pelan. Mereka pun masuk dan duduk di kursi tamu. Mbak Tuti adalah asisten kepercayaan Bunda Firman. Sedangkan Mas Alex adalah tangan kanan Ayah Firman. Beberapa usaha kini diambil alih oleh mereka berdua, dan keuntungannya akan di transfer ke rekening pribadi Firman. Firman pun duduk diantara keduanya. Hidupnya sudah tidak b*******h lagi. Semua orang tidak ada yang tahu akan kejadian ini, termasuk ibu Aya. "Mas Firman yang sabar, semua sudah kehendak Allah SWT." ucap Mbak Tuti penuh kasih sayang. "Aku gak papa Mbak Tuti. Hanya saja kadang hidupku saat ini tidak berarti dan ingin ikut bersama mereka." ucap Firman lirih, wajahnya tampak sedih dan sendu. "Mas Firman harus tetap tabah dan ikhlas. Ini semua takdir yang sudah digariskan oleh Allah SWT, kita tidak bisa mengelaknya." ucap Mas Alex menguatkan sambil menepuk bahu Firman dengan pelan. "Akan ku coba Mas Firman. Terima kasih sudah banyak membantu keluarga Firman selama ini. Jaga Aya untuk Firman ya Mas Alex dan Mbak Tuti." ucap Firman memelas. Hatinya benar-benar belum bisa menerima keadaan ini. Ingin rasanya tetap bersama Aya untuk selalu menemani gadis pujaannya tapi mungkin ini waktu yang tepat untuk menguji cinta dan rasa cinta mereka. Mereka hanya saling ketergantungan atau mencintai dengan ketulusan dan kasih sayang. Dari semalam semenjak datang berjualan Aya pun mengurung dirinya di kamar. Kerinduannya terhadap Firman membuatnya malas bertemu dengan Kak Fadil yang menutupi sebuah kebohongan. Sekilas bayangan kejadian tadi malam pun seperti terputar kembali. FLASHBACK OFF "Aya, Kakak pulang duluan ya, ada perlu dengan Ibu. Ada yang ingin Kak Fadil bicarakan." ucap Kak Fadil sambil mengusap rambut panjang Aya yang mulai basah karena keringat. Friska, Bintang dan satu temannya pun langsung bangkit berdiri menuju mobil merah itu. Ketiganya sama sekali tidak menatap ke arah belakang ataupun arah lain. Pandangannya lurus ke depan menatap jalan. "Hati hati Kak Fadil. Kak.... Mbak Friska beneran pacar kakak?" tanya Aya pelan. "Kalau Kakak bilang calon istri gimana?" tanya Fadil kembali. Aya hanya tersenyum tipis, hatinya kecewa sekali. Orang setampan dan sebaik Kak Fadil bisa mendapatkan nenek lampir seperti Mbak Friska. "Tapi kok, Aya perhatikan, Mbak Friska dekat dengan Mas Bintang?" tanya Aya. "Stttt... Anak kecil gak boleh berandai-andai apalagi ghibah. Dosa besar." ucap Fadil pelan dan bergegas pulang. Aya hanya menghela nafas yang panjang. Rasa lelah dan kecewa menjadi satu hingga tak karuan rasanya. "Aya... " panggil Panji lembut. Entah sejak kapan pria manis ini sudah duduk di hadapannya. "Mas Panji... mau pesen apa?" tanya Aya pelan. "Kamu di jemput adikmu?" tanya Panji kemudian. "Iya Mas. Kenapa?" tanya Aya pelan. "Boleh aku mengantarkan kamu pulang?" tanya Panji pelan. Tatapannya memang mempesona membuat jantung pun terasa dag Dig dug .... "Tapi kan aku.... " ucapan Aya terhenti tatkala Mas Budi sudah datang untuk mengambil alih lagi angkringan itu, karena waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam, dan Fathur pun belum datang. "Aya... sudah malam. Kamu boleh pulang." ucap Mas Budi dengan lembut. "Ini Mas Budi uangnya." ucap Aya pelan. Mas Budi pun menghitung pendapatan malam ini pun cukup baik walaupun tidak seramai malam Minggu kemarin. "Ini untuk kamu Aya. Belajar yang rajin biar sukses." ucap Mas Budi memberikan tiga lembar uang merah kepada Aya. "Alhamdulillah... makasih ya Mas Budi. Jujur Aya senang bekerja disini." ucap Aya dengan jujur dan bahagia. "Iya Aya. Ekhmmm ini ada sesuatu untuk kamu. Buka aja kalau sudah di rumah." ucap Mas Budi pelan sambil memberikan bungkusan berwarna hitam. "Ini apa Mas? Aya gak mau terima kalau ..... " ucapan Aya pun langsung di sela oleh Mas Budi. "Bukan apa-apa Aya. Hanya kenang kenangan saja." ucap Mas Budi pelan. "Oke Aya terima. Makasih ya Mas. Aya pulang dulu." ucap Aya pelan. "Jangan lupa, besok datang lagi ya." ucap Mas Budi mengingatkan. "Sip Mas. Aya gak lupa." ucap Aya mantap. Aya pun bergegas merapikan tasnya dan memungut kotak makan yang belum sempat ia makan. Kotak makan itu pun dimasukkan ke dalam tasnya. Aya berjalan ke arah parkiran motor. "Aya... pulang sama aku aja. Mungkin adikmu tidak bisa menjemput." ucap Panji yang sejak tadi mengikuti di belakang Aya. Aya pun menoleh ke arah Panji yang memang terlihat tulus dan ikhlas ingin membantu Aya. Apalagi hatinya sedang galau karena pacarnya sudah terang terangan menyelingkuhinya, dan yang menjadi selingkuhannya tak lain Kak Fadil, kakak kandung Aya sendiri. "Kamu kesal dengan Kakakku? Lalu ingin membalas dendam melalui aku?" ucap Aya sedikit ketus. Panji hanya tersenyum mendengar penuturan Aya yang polos dan jujur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN