Bab 15 - Retak di Balik Senyum

1057 Kata
Malam itu rumah Raka tampak tenang seperti biasa. Lampu gantung di ruang makan memantulkan cahaya hangat ke dinding, aroma masakan masih samar di udara, namun suasana terasa lain. Bukan karena angin yang masuk lewat jendela, tapi karena sesuatu yang tidak diucapkan di antara dua orang yang duduk berhadapan di meja makan. Aurelie menatap piringnya, sendok di tangannya hanya diaduk tanpa niat menyuap. Raka di seberang tampak sibuk dengan ponselnya, sesekali mengetik cepat lalu menghela napas. Senyum yang dulu selalu ia berikan kini jarang muncul, diganti dengan tatapan kosong yang sulit ditebak. “Raka,” panggil Aurelie pelan. Raka mendongak, seolah baru sadar istrinya ada di situ. “Hmm?” “Kau sibuk sekali belakangan ini. Ada masalah di kantor?” Raka mengusap wajahnya. “Enggak, cuma proyek baru. Banyak hal yang harus diurus.” Nada suaranya datar, terlalu datar bagi Aurelie yang mengenalnya bertahun-tahun. Ia tahu Raka sedang berbohong, tapi memilih diam. Ia tersenyum samar, menutupi kegelisahan yang mendesak dari dalam d**a. “Kalau begitu jangan lupa makan. Kau kelihatan lelah.” “Ya,” jawab Raka singkat, lalu kembali menunduk ke ponsel. Sunyi melingkupi ruang makan. Yang terdengar hanya detak jam dinding dan suara lembut sendok menyentuh piring. Aurelie menunduk, menahan napas panjang. Ada perasaan aneh dingin dan tajam yang menggelayuti pikirannya belakangan ini. Raka tidak bersikap seperti biasanya. Sejak beberapa minggu lalu, ia sering pulang lebih larut, kadang dengan alasan rapat, kadang urusan klien. Ia tidak lagi bercanda ringan, tidak lagi mencium keningnya setiap pagi sebelum berangkat. Ada jarak yang tumbuh diam-diam, tak terlihat tapi jelas terasa. Dan yang paling membuat Aurelie gelisah: aroma parfum asing di kemeja Raka bukan miliknya. Keesokan paginya, Aurelie berkunjung ke rumah ibu Raka. Seperti biasa, wanita itu menyambut dengan senyum hangat dan pelukan, namun mata tuanya tampak menyimpan sesuatu yang sulit ditebak. “Mama, boleh aku bicara?” tanya Aurelie saat mereka duduk di ruang tamu. “Tentu, sayang. Ada apa?” Aurelie menggigit bibir bawahnya. “Aku merasa Raka berubah. Dia… lebih dingin, lebih jauh. Aku tidak tahu kenapa.” Ibu Raka terdiam sejenak, lalu menatap menantunya dengan lembut. “Kau tahu pekerjaan Raka menuntut banyak hal. Mungkin hanya tekanan kerja.” “Tapi aku istrinya, Ma. Aku tahu kalau ini bukan soal pekerjaan.” Aurelie menunduk. “Dia seperti menyembunyikan sesuatu.” Suara itu keluar dengan getir, nyaris seperti bisikan. Ibu Raka menarik napas panjang. Di hatinya, ucapan itu menohok seperti duri. Ia tahu penyebab perubahan itu. Bayangan wajah Larissa di kafe beberapa hari lalu terlintas di benaknya tatapan dingin, senyum tipis yang penuh rahasia. “Kalau begitu, biarkan Mama bicara dengan Raka,” katanya pelan. Aurelie menggeleng cepat. “Jangan dulu, Ma. Aku tidak ingin dia tahu aku curiga. Aku cuma butuh tahu… apakah aku salah merasa seperti ini?” Ibu Raka menggenggam tangan menantunya. “Tidak, sayang. Kau hanya terlalu mencintainya.” Ucapan itu membuat d**a Aurelie semakin sesak. Mereka diam cukup lama. Lalu, dengan nada yang lebih rendah, Aurelie menambahkan, “Aku merasa ini ada hubungannya dengan seseorang di kantor. Perempuan.” Jantung ibu Raka berdegup lebih cepat. “Perempuan?” Aurelie mengangguk. “Namanya Larissa.” Nama itu membuat udara seakan berhenti sejenak. Ibu Raka mencoba tetap tenang, meski di dalam hatinya ada gejolak yang sulit ditahan. Ia menelan ludah, berpura-pura tidak mengenal nama itu. “Larissa?” ulangnya, berpura-pura penasaran. “Ya. Aku belum pernah bertemu, tapi dari caranya Raka menyebut nama itu, aku tahu dia istimewa.” Ibu Raka tersenyum kecil. “Jangan berpikir macam-macam dulu, Aurelie. Mungkin hanya rekan kerja biasa.” Tapi pikirannya tak tenang. Ia tahu Larissa bukan sekadar rekan kerja. Begitu Aurelie pulang, ibu Raka berdiri di depan jendela besar rumahnya, menatap jauh keluar. Ada sesuatu yang mencekik dari dalam d**a. Pertemuan terakhirnya dengan Larissa meninggalkan jejak kuat. Ia tidak pernah takut pada siapa pun sebelumnya. Tapi mata Larissa… mata itu membuatnya kehilangan kata-kata. Kini gadis itu kembali dalam hidup putranya. Dan mungkin, kali ini, ia tidak datang untuk mencintai melainkan menghancurkan. Malamnya, Aurelie duduk di teras belakang rumah. Langit gelap, hujan tipis turun pelan. Ia menatap layar ponselnya, membuka galeri yang penuh foto-foto keluarga mereka: dirinya, Raka, dan anak lelaki mereka yang ceria. Air matanya menetes tanpa sadar. Ia mencoba tersenyum, tapi hatinya seperti hancur perlahan. Ia tahu sesuatu sedang berubah. Dan rasa takut yang tumbuh di dadanya bukan karena kehilangan cinta Raka, tapi karena firasat buruk bahwa cinta itu sedang diarahkan kepada orang yang salah. Dalam hati kecilnya, Aurelie berjanji akan mencari tahu siapa Larissa sebenarnya. Ia tak tahu bahwa janji itu akan menyeretnya ke dalam lingkaran gelap yang tak pernah ia bayangkan. Sementara itu, di tempat lain, ibu Raka duduk di ruang tamu sendirian. Lampu temaram, aroma teh melati memenuhi udara. Ia menatap cangkir di depannya, mengingat kembali wajah Larissa di kafe. “Anak itu tidak akan berhenti begitu saja,” gumamnya. Tangan tuanya bergetar ringan saat meneguk teh. “Aku harus mengendalikannya sebelum semuanya terlambat.” Namun jauh di dalam hati, ia tahu: mungkin kali ini, dialah yang justru akan dikendalikan. Malam semakin larut, tapi Aurelie belum juga bisa tidur. Raka sudah terlelap di sebelahnya, napasnya teratur, wajahnya tampak tenang seolah tak ada beban yang mengganjal. Namun bagi Aurelie, ketenangan itu justru membuat dadanya makin sesak. Ia menatap siluet suaminya di bawah cahaya lampu tidur. Tangannya hampir terulur untuk menyentuh wajah itu, tapi urung. Ada rasa asing yang kini memisahkan mereka tipis, tapi nyata. Ia menelan ludah, lalu memalingkan wajah, menatap langit-langit. “Kalau memang ada perempuan lain…” bisiknya lirih, nyaris tanpa suara, “aku akan tahu.” Air matanya jatuh, tapi bukan karena lemah. Ia hanya takut bukan takut kehilangan, tapi takut menyadari bahwa cinta yang ia pertahankan selama ini mungkin sudah berubah arah. Sementara itu, di rumah besar milik keluarga Raka, ibunya masih duduk di kursi ruang tamu, menatap kosong ke arah pintu. Jam sudah menunjukkan lewat tengah malam, tapi pikirannya tak bisa tenang. Bayangan tatapan Larissa di kafe terus menghantuinya. Ada sesuatu yang berbeda dari gadis itu kini kekuatan yang ia benci sekaligus takutkan. Wanita tua itu menarik napas panjang. “Larissa tidak akan berhenti sampai puas,” gumamnya. “Dan aku… tidak akan membiarkan rumah tangga anakku hancur begitu saja.” Ia bangkit, melangkah pelan menuju kamarnya. Tapi di balik keteguhan itu, hatinya justru bergetar. Entah kenapa, ia merasa bahwa perang yang akan datang tak bisa ia menangkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN