Aurelie duduk di ruang tamu dengan tangan gemetar memegang secangkir teh yang sudah lama dingin. Matanya kosong menatap lantai marmer, seolah mencari jawaban di sela pantulan cahaya lampu gantung. Sudah seminggu ini hatinya tak tenang. Raka semakin sering pulang larut, dan setiap kali ia menanyakan, suaminya hanya menjawab singkat, “Banyak proyek, sayang.”
Tapi Aurelie bukan perempuan bodoh. Ia tahu, ada sesuatu yang berubah dalam nada suara Raka, dalam caranya menghindar, dan dalam cara matanya sesekali memandang jauh seolah dibayangi kenangan yang enggan pergi.
Dan yang paling mengganggu, semua perubahan itu terjadi sejak Larissa kembali bekerja di perusahaan yang sama dengan mereka.
“Bu…” suara Aurelie bergetar saat akhirnya memutuskan untuk bercerita kepada satu-satunya orang yang ia percayai sepenuhnya ibu Raka.
Perempuan paruh baya itu menatap menantunya lembut, tapi matanya tajam menelusuri keresahan di wajah Aurelie.
“Ada apa, Nak?”
Aurelie menghela napas panjang. “Saya… saya tidak tahu harus berpikir apa, Bu. Tapi… saya merasa Raka tidak lagi seperti dulu. Dia sering menghindar. Dan sejak Larissa datang, entah kenapa, saya merasa dia seperti orang lain.”
Nama itu Larissa membuat ibu Raka langsung menegang. Ingatannya melayang pada pertemuan pertama mereka di kantor beberapa waktu lalu. Ia sudah tahu sejak awal, perempuan itu membawa sesuatu yang berbahaya dalam tatapannya.
“Aku sudah pernah bilang, kan?” ucapnya pelan tapi tegas. “Perempuan itu tidak baik, Aurelie. Dan kalau benar dia mulai mendekati Raka lagi… aku tidak akan diam.”
Aurelie menggenggam tangan ibu mertuanya erat. “Saya takut, Bu. Saya takut kehilangan Raka.”
Tatapan ibu Raka mengeras. “Kamu tidak akan kehilangan siapa pun. Kali ini biar Ibu yang menyelesaikannya.”
Dua hari kemudian, sebuah pesan singkat masuk ke ponsel Larissa.
“Aku ingin bicara. Sore ini. Kafe Senja. Bu Sinta.”
Larissa membaca pesan itu dengan senyum samar di sudut bibirnya. Jemarinya mengetuk meja, menikmati rasa tegang yang menjalar halus di tubuhnya. Akhirnya datang juga, ya, Bu… pikirnya. Ia tahu, perempuan itu pasti akan mencarinya lagi seperti dulu, ketika hidupnya porak poranda karena keluarga itu.
Menjelang sore, Larissa melangkah masuk ke Kafe Senja, tempat yang dipenuhi aroma kopi hangat dan musik lembut yang ironisnya menenangkan. Ia mengenakan blus krem dan rok hitam elegan, rambutnya digelung rapi, dan parfum bergaya mewah menebar di sekitar langkahnya. Sekilas, tak ada yang akan menyangka bahwa perempuan ini pernah hidup di gang sempit yang becek dan kelam.
Bu Sinta sudah duduk di pojok, wajahnya tegang, tangannya menggenggam cangkir teh yang belum disentuh. Tatapannya menusuk ketika Larissa mendekat.
“Maaf membuat Ibu menunggu,” ucap Larissa sopan, tersenyum kecil seolah mereka sekadar dua kenalan lama yang bertemu kembali.
Bu Sinta menatapnya lama, sebelum akhirnya berkata dengan nada dingin, “Kamu makin pintar berperan, Larissa.”
Larissa hanya tertawa kecil. “Saya tidak berperan, Bu. Saya hanya menjalani hidup. Hidup yang dulu Ibu bantu hancurkan.”
Kalimat itu menggantung di udara seperti asap kopi yang berat.
Bu Sinta mendengus pelan. “Kamu bisa menyalahkan siapa pun, tapi kenyataannya tetap sama. Kamu… tetaplah perempuan miskin yang tidak tahu tempat.”
Senyum Larissa perlahan memudar, tapi matanya tetap tenang terlalu tenang.
“Ibu masih sama seperti dulu,” katanya lembut, “suka merendahkan orang lain agar merasa lebih tinggi.”
Bu Sinta bersandar sedikit, nadanya meninggi. “Dengar, Larissa. Aku tidak peduli seberapa mahal bajumu, seberapa cantik kamu berdandan, atau seberapa jauh kamu naik. Semewah apa pun tampilanmu sekarang, kamu tidak akan pernah bisa menghapus siapa dirimu yang sebenarnya gadis miskin dan hina yang dulu hampir menghancurkan hidup anakku.”
Larissa terdiam. Matanya bergetar sesaat, seperti ada sesuatu yang diaduk dari dasar luka lama. Tapi senyumnya kembali perlahan kali ini dingin dan berbahaya.
“Dan mungkin itulah kesalahan terbesar Ibu,” bisiknya nyaris tak terdengar. “Mengira saya akan tetap menjadi gadis lemah yang bisa diinjak tanpa perlawanan.”
Suasana di kafe mendadak sunyi. Hanya suara sendok yang beradu pelan dengan cangkir terdengar di kejauhan.
Larissa mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, menatap Bu Sinta tepat di mata. “Terima kasih, Bu, sudah datang hari ini. Karena berkat kata-kata Ibu… saya akhirnya sadar.”
“...Sadar apa?” tanya Bu Sinta dengan nada menantang.
“Sadar bahwa dendam saya ternyata belum mati.”
Senyumnya mengembang, tipis namun mematikan. “Dan mulai hari ini, saya akan pastikan keluarga Ibu merasakan hal yang sama seperti yang dulu saya rasakan. Luka. Penghinaan. Dan kehilangan.”
Bu Sinta menelan ludah, tiba-tiba kehilangan kata. Tatapan Larissa terhadapya begitu tenang tapi mengerikan, seperti mata seseorang yang sudah berdamai dengan kegelapan dalam dirinya.
Larissa berdiri perlahan, merapikan rok, lalu menatapnya terakhir kali.
“Selamat sore, Bu. Semoga teh Ibu tidak terlalu pahit,” katanya sambil melangkah pergi, meninggalkan aroma parfum dan keheningan menusuk di belakangnya.
Bu Sinta masih duduk terpaku. Untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan takut.
Larissa melangkah menjauh, sementara di sudut jalan tak jauh dari kafe itu, sosok ibu Raka duduk di dalam mobilnya. Ia tak langsung pulang. Tangannya menggenggam erat tas di pangkuan, napasnya tersengal, entah karena marah atau takut.
Tadi, saat menatap mata Larissa, ada sesuatu yang berbeda. Mata itu tak lagi milik gadis miskin yang dulu bisa ia injak sesuka hati. Ada ketenangan di sana dingin, nyaris menyerupai ancaman tanpa suara.
Wanita paruh baya itu menelan ludah. Untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang ganjil: rasa tak nyaman yang sulit dijelaskan.
“Anak itu…” bisiknya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. “Bisa menghancurkan apa saja kalau dia mau.”
Ia memalingkan wajah, menatap keluar jendela mobil yang dipenuhi pantulan lampu kota. Sebuah perasaan aneh campuran antara penyesalan, takut, dan gengsi menyelinap masuk dalam hatinya. Tapi egonya terlalu tinggi untuk mengakuinya.
Ia hanya menarik napas panjang, lalu menyandarkan diri ke kursi.
“Tak apa,” ujarnya pelan, mencoba meyakinkan diri. “Dia cuma perempuan kecil yang tak tahu tempatnya.”
Namun jauh di dalam hati, ia tahu kali ini, dirinya yang sedang bermain di medan yang bukan miliknya lagi.
Malamnya, Larissa berdiri di depan jendela apartemennya, memandangi lampu kota yang berkilau seperti bintang-bintang palsu. Tangannya menyentuh kaca dingin, dan untuk sesaat, ia melihat bayangan dirinya sendiri gadis kecil dengan mata sembab, duduk di tepi ranjang reyot sambil memeluk lutut, menahan lapar dan air mata.
Perempuan itu masih ada di sana, di balik semua kemewahan ini. Tapi sekarang, ia sudah punya senjata dendam.
Namun jauh di dasar hatinya, sesuatu berbisik pelan.
“Benarkah ini jalan yang kau pilih, Larissa?”
Ia menutup matanya. Dan dalam sunyi malam, jawabannya hanya satu
“Ya. Karena mereka memulainya.”