Sejak pertemuan terakhir di ruang rapat itu, sesuatu dalam diri Raka berubah perlahan. Ia tak tahu pasti apa yang salah, tapi setiap kali Larissa melintas di depan meja kerjanya, matanya seolah menolak untuk berpaling. Bukan karena godaan semata, melainkan karena kenangan masa lalu yang seperti tiba-tiba hidup kembali kenangan yang seharusnya telah ia kubur bersama luka yang dulu.
Larissa tahu betul cara memanfaatkan celah kecil itu. Ia tidak lagi menggoda secara terang-terangan seperti dulu. Tidak dengan tatapan genit atau senyum manja. Ia memilih cara yang lebih halus, lebih menusuk.
Setiap pagi, ia menyapa Raka dengan nada hangat yang sulit ditolak, “Kopi hitam tanpa gula, seperti dulu?”
Sekilas, tampak seperti hal sepele, tapi bagi Raka, kalimat itu membawa gelombang memori dari masa ketika mereka masih di bangku kuliah—masa di mana hanya Larissa yang tahu betapa ia tidak pernah suka minuman manis.
Aurelie mulai memperhatikan perubahan kecil itu.
Suaminya kini sering pulang lebih malam, alasannya selalu sama: laporan, proyek baru, meeting mendadak.
Namun, perempuan secerdas Aurelie tahu, kadang alasan adalah bentuk lain dari kebohongan yang belum siap diucapkan.
Ia mulai mengamati, mencium aroma parfum asing di kemeja Rakabukan aroma menggoda, tapi samar, seperti jejak seseorang yang terlalu dekat.
Di sisi lain, Larissa seperti pemain yang mahir memainkan perannya.
Ia tahu kapan harus mendekat, kapan harus menjauh.
Ia tahu kapan harus pura-pura tak peduli, hanya agar Raka mencarinya.
Dan semakin Raka menahan diri, semakin Larissa menebar tanda-tanda kecil dengan senyum yang menggantung, atau kalimat samar seperti,
“Kadang yang hilang bukan berarti sudah mati, Rak. Hanya tersesat mencari pulang.”
Kalimat itu menancap dalam di benaknya.
Raka tidak lagi bisa tidur tenang.
Bayangan Larissa menyusup bahkan ke dalam mimpinya bukan sebagai perempuan yang menghancurkan, tapi sebagai sosok masa lalu yang pernah ia cintai dengan cara paling tulus.
Ia benci dirinya sendiri karena lemah.
Ia benci bagaimana satu tatapan dari Larissa bisa membuat tembok yang ia bangun selama bertahun-tahun mulai retak.
Suatu sore, Larissa pura-pura menunggu hujan di depan lobi kantor.
Raka hendak keluar, payung di tangannya, ketika pandangan mereka bertemu.
“Masih sama,” ujar Larissa pelan, menatap deras hujan. “Kau masih tak suka melihat orang kehujanan.”
Raka diam.
Ia tahu permainan ini. Tapi yang ia tidak tahu, mengapa bagian dari dirinya justru ingin ikut dalam permainan itu.
Akhirnya ia mengulurkan payungnya. “Kau bisa pakai ini.”
Larissa menatapnya sejenak, lalu tersenyum kecil. “Kau masih terlalu baik untukku, Rak. Itu masalahnya.”
Di bawah naungan payung itu, langkah mereka menyatu di antara rinai hujan yang jatuh perlahan.
Tak ada yang berkata banyak, tapi udara di antara mereka terasa menegangkan, seperti ada sesuatu yang hampir pecah.
Ketika mobil Raka berhenti di depan apartemen Larissa, ia sempat ragu.
Namun Larissa hanya berkata, “Terima kasih,” dengan senyum yang entah mengandung arti atau sekadar basa-basi.
Malam itu, Raka tak bisa berhenti memikirkan senyum itu.
Hari-hari berikutnya, godaan itu semakin halus tapi nyata.
Larissa mulai menulis pesan singkat di tengah malam bukan yang vulgar, hanya satu dua kalimat yang cukup untuk membuat hati Raka resah.
“Masih ingat lagu yang sering kau nyanyikan waktu hujan turun?”
Atau, “Andai dulu aku tidak pergi, apa semuanya akan berbeda?”
Raka membaca, menatap layar ponselnya lama-lama, tapi jarinya tak pernah membalas.
Namun diamnya justru menjadi bentuk pengakuan ia peduli, ia terguncang.
Larissa pun tahu. Ia semakin yakin, Raka perlahan menoleh ke arahnya lagi.
Namun, di balik semua itu, ada sisi Larissa yang mulai kacau.
Ia membenci dirinya karena mulai merasakan sesuatu yang dulu ia kira sudah mati.
Ia datang dengan niat menghancurkan, tapi setiap kali melihat Raka, hatinya berdebar dengan rasa yang tak ia kenal lagi.
Benci dan cinta, dendam dan rindu semuanya bercampur dalam satu tubuh yang lelah menahan amarah.
Sementara itu, Aurelie mulai bergerak diam-diam.
Ia mencoba menghubungi sahabat lama Raka di kantor, mencari tahu siapa sebenarnya Larissa.
Dan ketika ia mengetahui bahwa perempuan itu adalah mantan kekasih Raka semasa kuliah, jantungnya seolah berhenti berdetak.
Malam itu ia menatap wajah Raka yang tertidur, wajah yang selama ini ia percaya sepenuhnya, tapi kini terasa asing.
Aurelie mulai berdoa dengan hati gemetar semoga ia salah, semoga semua ini hanya perasaannya saja.
Namun hidup tidak pernah sesederhana itu.
Suatu siang, saat istirahat kantor, Raka menemukan secarik kertas di mejanya.
Tulisan tangan halus, samar dengan aroma parfum yang dikenalnya.
“Dulu kau bilang aku adalah rumahmu. Apa sekarang rumahmu sudah bahagia?”
Raka terdiam. Kertas itu kecil, tapi seperti bom kecil yang meledak dalam batinnya.
Ia tahu Larissa sedang menguji batasnya.
Dan yang lebih menakutkan, ia tahu batas itu mulai memudar.
Larissa menatap dari jauh, dari balik kaca ruangannya, menyaksikan Raka menggenggam kertas itu tanpa membuangnya.
Ada senyum samar di bibirnya, tapi matanya basah.
Ia sendiri tak tahu lagi, apakah sedang bermain peran atau benar-benar terjebak dalam perasaan yang ia ciptakan.
Malamnya, Raka duduk di balkon rumahnya sendirian, menatap langit.
Pikirannya penuh dengan tanya, penuh dengan kenangan yang terus datang tanpa permisi.
Ia tahu, ia mencintai Aurelie perempuan yang setia menemaninya dalam susah dan senang.
Tapi bayangan Larissa datang seperti angin yang dingin, menyapu habis semua ketenangan yang ia punya.
Ia menunduk, berbisik pada dirinya sendiri,
“Kenapa kamu datang lagi, Larissa... kenapa harus sekarang?”
Sementara itu, di apartemennya yang sepi, Larissa berdiri di depan cermin, menatap bayangan dirinya sendiri.
Perempuan yang dulu disakiti kini sedang menciptakan luka baru untuk orang lain.
Namun, di balik sorot matanya yang dingin, ada air mata yang jatuh tanpa izin.
Ia berbisik lirih,
“Maaf, Raka. Tapi aku tak bisa berhenti sebelum semua rasa sakitku terbayar.”
Di luar, hujan kembali turun.
Dan seperti dua jiwa yang terikat dalam badai yang sama, Raka dan Larissa sama-sama terjebak bukan karena cinta, tapi karena masa lalu yang menolak mati.
Aku menatapmu di antara sisa hujan,
mencari alasan untuk berhenti mengingat,
tapi kenangan tak pernah tahu arah,
ia selalu pulang ke tempat yang sama.
Kau
yang dulu kusebut rumah,
kini hanya bayangan di jendela waktu,
mengetuk perlahan, menuntut untuk diingat.
Aku benci pada getar yang tumbuh,
benci pada rindu yang tak seharusnya hidup.
Namun, di balik dendam yang kukenakan seperti pakaian,
masih ada bagian kecil dariku yang ingin kau selamat.
Jika ini salah, biarlah salah.
Sebab dalam salah yang dalam,
aku menemukan diriku yang paling jujur
mencintaimu,