Larissa tahu batas antara cinta dan dendam sering kali tipis. Ia menari di garis itu, menikmati setiap langkah yang membawanya semakin dekat pada titik rapuh Raka. Setelah pertemuan di kafe itu, segalanya berubah. Raka mulai sering mengirim pesan singkat, awalnya sekadar urusan pekerjaan, tapi perlahan-lahan nada percakapan mereka melunak, seolah ada ruang lama yang terbuka kembali.
Larissa memainkannya dengan cermat. Ia tidak tergesa, tidak menuntut apa pun. Hanya menghadirkan dirinya dengan cara yang membuat Raka sulit menolak. Kadang ia hanya meninggalkan secangkir kopi di meja Raka, dengan catatan kecil bertuliskan, “Kau masih suka yang tanpa gula, kan?”
Tindakan kecil itu seperti sihir. Raka terdiam lama memandangi tulisan tangan itu, seolah waktu berhenti dan ia kembali menjadi remaja yang jatuh cinta.
Hari demi hari, Larissa menenun jaringnya. Di setiap rapat, tatapannya selalu berhenti sebentar pada Raka. Tidak cukup lama untuk mencurigakan, tapi cukup untuk membuat d**a Raka berdebar tanpa alasan. Kadang ia sengaja lewat di depan ruangannya dengan aroma parfum yang sama seperti dulu aroma yang dulu menempel di seragam putih abu-abu mereka setiap kali mereka berboncengan pulang sekolah.
Raka mencoba menahan diri, tapi kenangan selalu datang tanpa diundang. Saat melihat Larissa tertawa bersama rekan kerja lain, dadanya terasa sesak. Ia benci dirinya sendiri karena merasa cemburu. Ia tahu, itu salah. Tapi di sisi lain, ia tak lagi bisa menghindari magnet yang menariknya perlahan-lahan.
Suatu sore, ketika kantor mulai sepi, Larissa mengetuk pintu ruang Raka.
“Masuk,” suara itu terdengar datar.
Larissa melangkah masuk dengan senyum tipis. “Kau sibuk?”
“Tidak terlalu,” jawab Raka, mematikan layar komputernya. “Ada apa?”
Larissa meletakkan map di mejanya, tapi bukan itu tujuannya. Ia duduk di kursi seberang, menyilangkan kaki dengan tenang. “Aku hanya ingin memastikan laporan yang kau minta sudah sesuai.”
Raka mengangguk, tapi matanya tak bisa lepas dari Larissa. Ia tampak berbeda sore itu blus lembut berwarna biru muda, rambut tergerai rapi, dan senyum yang begitu familiar.
“Raka,” Larissa berkata pelan, “kau ingat waktu kita kabur dari pelajaran olahraga hanya karena ingin makan es krim di taman kota?”
Raka menatapnya lama. Sekejap wajahnya berubah tertawa kecil dengan nada nostalgia. “Kau masih ingat itu?”
“Bagaimana bisa aku lupa? Kau bahkan sempat menuliskan namaku di bangku taman itu, di bawah tulisan ‘selamanya’.”
Raka menunduk, tangannya mengepal tanpa sadar. “Ya Tuhan… aku bahkan lupa hal sekecil itu.”
Larissa tersenyum tipis, lalu mendekat sedikit. “Tapi aku tidak. Aku ingat segalanya, Raka. Bahkan cara kau menatapku waktu itu—seolah dunia cuma kita berdua.”
Tatapan mereka bertemu. Untuk sesaat, waktu berhenti. Ada getar di d**a Raka, perasaan yang seharusnya mati tapi kini hidup kembali dengan cara yang salah.
Larissa melihat itu. Ia tahu Raka mulai kehilangan kendali. Ia tahu kata-kata manis dari masa lalu adalah racun paling ampuh.
“Larissa…” suara Raka nyaris bergetar, “jangan buat ini makin sulit.”
Larissa tersenyum lembut. “Aku tidak membuat apa pun sulit, Raka. Aku hanya mengingatkanmu siapa yang dulu kau cintai sebelum segalanya berubah.”
Hening panjang mengisi ruang itu. Di luar, hujan mulai turun pelan, seperti mengiringi perasaan yang tak diizinkan tumbuh.
Larissa berdiri, perlahan menatap keluar jendela. “Lucu, ya… hujan lagi. Sama seperti waktu kau pergi dulu. Bedanya, kali ini aku yang tak akan basah karena menunggumu.”
Raka berdiri refleks, langkahnya maju mendekat. “Larissa, tolong… jangan bicara seperti itu.”
Ia ingin menahan diri, tapi setiap kata yang keluar dari mulut Larissa terasa seperti undangan menuju masa lalu yang manis dan berbahaya.
Larissa menatapnya, mata itu basah namun kuat. “Kau tahu, aku tidak menyalahkanmu sepenuhnya. Aku hanya berharap waktu bisa berhenti di hari sebelum ibumu datang memisahkan kita.”
Nada suaranya bergetar, penuh kejujuran palsu yang Raka tak mampu baca.
Tanpa sadar, tangan Raka terangkat menyentuh bahu Larissa. “Aku menyesal.”
Larissa memejamkan mata, membiarkan genggaman itu bertahan beberapa detik. Lalu ia membuka mata, menatap Raka lurus. “Penyesalan tidak akan menghapus luka, Raka. Tapi mungkin… bisa membuatnya terasa sedikit lebih manis.”
Ia menatap Raka lama, lalu menunduk mengambil map di meja, seolah tidak terjadi apa-apa. Tapi ketika berjalan keluar, Larissa menahan senyum kecil. Ia tahu, langkahnya barusan menancap dalam di hati Raka.
Beberapa hari berlalu, dan permainan itu makin halus. Larissa mulai muncul di tempat-tempat yang tak terduga kebetulan di kantin yang sama, di lobi ketika Raka tiba, atau di parkiran saat Raka hendak pulang. Semua tampak seperti kebetulan, padahal tidak.
Raka, di sisi lain, mulai resah. Aurelie mulai memperhatikan perubahan sikapnya tatapan kosong, senyum yang terlambat, dan malam-malam di mana ia lebih banyak diam.
Tapi setiap kali Raka mencoba menjauh, Larissa selalu punya cara untuk menariknya kembali. Suatu malam, ia mengirim pesan:
“Aku menemukan sesuatu milikmu.”
Pesan itu diikuti foto sebuah kalung perak kecil dengan inisial “R & L”.
Hati Raka seolah berhenti berdetak. Itu kalung yang ia berikan pada Larissa sebelum pergi bertahun-tahun lalu. “Kau masih menyimpannya?” balasnya cepat.
“Beberapa kenangan terlalu keras kepala untuk dilupakan.”
Larissa menutup ponselnya, tersenyum miring. Ia tahu betul, kalimat itu cukup untuk membuat Raka terjaga semalaman.
Hari Jumat sore, mereka kembali bertemu dalam rapat kecil. Semua berjalan profesional, tapi setiap kali Larissa bicara, Raka tak bisa memalingkan mata.
Ketika rapat usai, Larissa berjalan lebih dulu. Tapi sebelum keluar ruangan, ia berhenti, menoleh sedikit.
“Raka,” katanya lembut, “kau masih suka lagu yang dulu sering kita dengar di taman itu?”
Raka mengerutkan kening. “Lagu yang mana?”
Larissa tersenyum. “Yang selalu kau putar ketika hujan turun. Maybe Tomorrow.”
Ia melangkah pergi meninggalkan Raka dalam diam yang berat. Sesaat kemudian, suara lagu itu benar-benar terputar di kepalanya—lagu lama yang dulu hanya milik mereka berdua.
Raka menunduk, menggenggam kepala. Ia tahu dirinya sedang terseret ke jurang yang sama sekali tak boleh ia dekati, tapi langkahnya tak lagi bisa mundur.
Dan di tempat lain, Larissa menatap langit senja dari balik kaca, bibirnya membentuk senyum getir.
“Sedikit lagi, Raka…” bisiknya, “sedikit lagi, dan kau akan tahu rasanya ditinggalkan oleh dunia yang kau lindungi.”