Bab 11 – Bayangan Masa Lalu yang Kembali Menyala

1035 Kata
Suara tawa dari ruang tengah kantor terdengar samar ketika Larissa menatap keluar jendela besar. Dari balik kaca, langit sore memantulkan warna keemasan yang menenangkan, tapi di dalam dirinya, badai perlahan menggulung. Sudah berminggu-minggu sejak ia resmi menjadi bagian dari tim yang sama dengan Raka. Mereka berbagi ruang kerja, rapat bersama, bahkan terkadang makan siang di tempat yang sama. Semua terasa seperti permainan takdir yang berulang bedanya, kini Larissa bukan gadis lugu yang menunggu, tapi perempuan yang tahu bagaimana memainkan permainan. Raka datang dari arah belakang, mengetuk ringan meja kerjanya. “Masih lembur?” suaranya tenang, seperti dulu. Larissa tersenyum tanpa menoleh. “Kau tahu aku tak pernah bisa meninggalkan sesuatu sebelum selesai,” jawabnya datar. Raka tertawa kecil. “Masih sama, ya. Perfeksionis.” Kata itu saja sudah cukup membuat Larissa menoleh. Tatapan mereka bertemu. Sekilas, ia menangkap sesuatu di mata Raka, rasa hangat yang pernah ia kenal dulu, rasa yang membuat hatinya remuk sekaligus hidup kembali. “Dulu kau yang selalu menyuruhku istirahat,” ucapnya lirih, seolah tanpa sadar. Raka terdiam. Kenangan itu menamparnya tiba-tiba masa SMA, Larissa yang menunggu di depan kelas hanya untuk membawakan bekal makan siang. Gadis sederhana yang selalu tersenyum bahkan ketika dia datang terlambat. Gadis yang dulu ia tinggalkan tanpa sempat menjelaskan alasan sebenarnya. “Larissa…” Raka memanggil pelan, tapi Larissa sudah berdiri, mendekat satu langkah. “Tenang saja, aku tidak akan mengungkit masa lalu,” katanya dengan nada lembut, namun matanya tajam. “Aku hanya… teringat betapa dulu kita begitu muda dan bodoh, ya? Mengira cinta bisa melawan segalanya.” Raka tersenyum kaku. “Mungkin memang begitu adanya. Waktu itu kita… belum mengerti dunia.” “Dunia, atau perintah ibumu?” tanya Larissa cepat. Kalimat itu membuat udara di antara mereka menegang. Raka menarik napas panjang, menunduk sesaat. “Aku tidak ingin membicarakan itu lagi.” “Tentu,” Larissa mengangguk pelan. “Aku pun tidak. Aku hanya ingin memastikan kau bahagia, Raka?” Pertanyaan itu menusuk. Raka menatapnya lama, mencari jawaban di matanya yang jernih namun menyimpan luka. “Aku punya istri dan anak. Itu cukup.” “Cukup?” Larissa tersenyum pahit. “Kadang kata ‘cukup’ adalah cara paling halus untuk mengatakan ‘tidak bahagia’.” Raka tak menjawab. Ia hanya memalingkan wajah, pura-pura melihat jam di pergelangan tangan. Tapi Larissa tahu ia berhasil. Benih keraguan itu sudah ditanam. Hari-hari berikutnya berjalan seperti tarian halus. Larissa tak pernah terang-terangan menggoda. Ia cukup menebar kenangan dengan presisi. Suatu pagi, ia sengaja meninggalkan sebatang pena lama di meja Raka pena yang sama seperti yang dulu diberikan Raka padanya ketika lulus SMA. “Masih kau simpan?” tanya Raka dengan suara nyaris berbisik. “Tentu,” jawab Larissa lembut. “Aku tidak pernah pandai membuang sesuatu yang berarti.” Raka tersenyum samar. Ada sesuatu dalam dirinya yang goyah. Ia tahu, ini salah. Tapi perasaan bersalah yang dulu menumpuk kini mulai berbaur dengan kerinduan. Setiap kali Larissa berbicara, setiap kali ia menatapnya, kenangan itu seperti bayangan yang tak mau pergi. Larissa bisa merasakannya. Ia bisa melihat bagaimana mata Raka kini sering mencarinya di tengah rapat, bagaimana ia menahan senyum setiap kali mereka berbicara singkat. Namun, di balik setiap senyum yang Larissa berikan, ada luka yang masih berdarah. Dalam diam, ia berbisik pada dirinya sendiri, “Ini bukan cinta. Ini pembalasan yang manis.” Suatu sore, Raka menunggu di parkiran bawah gedung. Hujan turun deras, membuat aroma aspal basah menyeruak. Ketika Larissa keluar dengan payung hitamnya, Raka spontan menawari tumpangan. “Rumahmu searah, kan? Biar kuantar.” Larissa berpura-pura ragu sejenak, lalu mengangguk pelan. Mobil melaju pelan di bawah langit kelabu. Tak ada musik, hanya suara hujan dan napas yang tak berani saling bertemu. “Masih suka hujan?” tanya Raka tiba-tiba. Larissa menatap ke luar jendela. “Masih. Hujan selalu mengingatkanku pada sesuatu yang tak sempat selesai.” Raka menoleh, dan di mata itu, Larissa melihat lelaki yang dulu pernah membuatnya jatuh cinta dengan seluruh kepolosan. Lelaki yang dulu ia percayai lebih dari dirinya sendiri. “Kau masih menyalahkanku?” Raka bertanya lirih. Larissa tersenyum. “Tidak, Raka. Aku hanya belajar bahwa tidak semua janji harus ditepati, dan tidak semua luka bisa sembuh.” Raka menatap jalan, tapi hatinya mulai kacau. Ia tahu ia seharusnya tidak mendekat, tapi semakin mencoba menjauh, semakin dalam Larissa menariknya kembali ke masa lalu. Beberapa hari kemudian, Larissa mendapat pesan singkat dari Raka: “Bisa kita bicara? Hanya sebentar.” Mereka bertemu di kafe kecil di pinggir kota tempat yang dulu sering mereka datangi sepulang sekolah. Raka datang lebih dulu, menatap meja kayu dengan gelisah. Ketika Larissa datang, senyum kecil muncul di wajahnya, tapi mata itu lelah. “Aku cuma ingin minta maaf,” kata Raka, menatapnya serius. “Aku tahu aku melukai hatimu dulu. Aku ingin kau tahu… aku menyesal.” Larissa menatapnya lama, lalu tersenyum pelan. “Penyesalanmu tidak mengubah apa pun, Raka. Tapi tetap saja… terima kasih.” Raka menarik napas dalam. “Aku tidak ingin hubungan ini menimbulkan masalah. Aurelie sudah mulai curiga. Aku takut kau” “Takut aku akan menghancurkan hidupmu?” potong Larissa lembut. “Jangan khawatir, aku tidak sekejam itu.” Namun suaranya bergetar samar. Karena jauh di dalam hatinya, ia tahu, mungkin justru itulah yang sedang ia lakukan perlahan, dengan senyum yang tampak manis di permukaan. Ketika Raka menggenggam tangannya di atas meja, Larissa tak menepis. Ia hanya memandang tangan itu, tangan yang dulu pernah menjadi rumah baginya, dan kini menjadi alat untuk menghancurkan. “Aku tidak tahu kenapa kau masih di hatiku,” kata Raka nyaris berbisik. Larissa tersenyum miris. “Karena aku tak pernah benar-benar pergi.” Malam itu, Larissa berdiri di depan cermin kamarnya. Di balik pantulan wajah cantik yang tampak tenang, matanya menyimpan badai. Ia menyentuh d**a, merasakan debar yang tak semestinya ada. “Kenapa kau masih bisa membuatku begini, Raka…” bisiknya pelan. Tapi kemudian ia teringat ucapan ibu Raka di kafe beberapa waktu lalu tentang darah miskin yang tak akan pernah sebanding, tentang harga diri yang diinjak tanpa ampun. Air matanya jatuh, satu, dua, lalu berhenti. Ia tersenyum pada bayangannya sendiri, senyum dingin tanpa rasa. “Baiklah,” katanya pelan, “jika hatimu masih berani mencintaiku, maka aku akan pastikan cintamu hancur… seperti dulu aku hancur karenamu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN