Pagi itu, kantor Larissa terasa berbeda.
Udara biasa yang biasanya diisi suara ketikan keyboard dan langkah kaki pegawai kini terasa lebih berat, seolah setiap sudut ruang menahan napas menunggu sesuatu terjadi. Larissa melangkah masuk dengan kepala tegak, setelan abu-abu yang pas membalut tubuhnya, rambut terikat rapi, dan senyum tipis yang seolah menandakan semuanya baik-baik saja.
Ia tahu Raka ada di sana. Raka, dengan jas hitamnya yang rapi, duduk di ruang rapat utama sambil meninjau dokumen. Aurelia, istrinya, tampak di sebelahnya, sibuk mengatur jadwal presentasi. Larissa menghela napas dalam-dalam. Sisi lembut hatinya masih berbisik, “Jangan terlalu keras. Kau harus terlihat ramah.” Tapi di balik itu, hatinya sudah bersiap menyalakan permainan yang lama ia rencanakan.
Begitu Larissa memasuki ruang rapat, mata Raka menoleh. Sesaat pandangan mereka bertemu, detik-detik itu terasa lama. Ada kilatan lama yang muncul di mata Raka, tapi ia cepat menoleh lagi, pura-pura fokus pada dokumen. Larissa tersenyum tipis, profesional, namun matanya menyimpan pesan yang tak terdengar oleh siapa pun.
“Selamat pagi,” sapa Larissa lembut, suaranya seperti bel yang menenangkan ruangan.
“Selamat pagi,” jawab Raka, suaranya stabil tapi terdengar sedikit terkejut.
Aurelia menatap Larissa sebentar, lalu tersenyum manis. “Senang bertemu dengan Anda, Larissa. Saya dengar banyak hal bagus tentang pekerjaan Anda.”
Larissa membalas senyum itu, lembut tapi penuh makna. “Terima kasih, Bu Aurelia. Senang bisa bekerja sama.”
Setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar polos, tapi di baliknya ada rencana yang ia simpan rapat-rapat. Ia akan dekat, tapi tetap menjaga jarak, memasuki kehidupan mereka sedikit demi sedikit.
Rapat dimulai. Larissa memimpin presentasi dengan lancar, menjelaskan strategi merger perusahaan dengan detil dan profesional. Tatapannya sesekali tertuju pada Raka. Ia memperhatikan gestur, cara pria itu mengangguk, dan ekspresi saat mendengar setiap angka dan fakta yang ia sampaikan. Ia tahu, Raka mulai menilai dengan cara berbeda, seperti dulu ketika mereka berdua masih muda dan tak bisa saling menahan perasaan.
Di sela presentasi, Aurelia mengajukan pertanyaan. Larissa menjawabnya dengan tenang, memastikan setiap kata terdengar sopan, ramah, dan cerdas. Setiap kali ia menatap Aurelia, ada sedikit senyum tipis, yang membuat Aurelia merasa nyaman, tanpa sadar bahwa senyum itu mengandung pesona yang halus dan mengikat.
Raka menatap Larissa lebih lama dari yang seharusnya. Ada sesuatu di matanya kebingungan campur nostalgia. Ia menilai Larissa, mencoba mencari tahu apakah bayangan masa lalu yang ia simpan masih relevan. Larissa tahu itu. Ia membiarkan tatapan itu masuk ke dalam dirinya sebentar, lalu tersenyum tipis lagi, seolah ia hanya peduli pada pekerjaan.
Rapat selesai. Larissa merapikan dokumen dan berdiri. “Terima kasih atas waktunya. Semoga kerjasama ini berjalan lancar dan menguntungkan kedua pihak.” Suaranya tetap lembut, namun tatapannya menyapu ruangan.
Raka berdiri juga, berjalan menghampirinya. “Larissa… kau benar-benar menakjubkan. Cara kau mengatur semuanya… berbeda dari yang kubayangkan.”
Larissa menoleh padanya, senyum tetap ada, tapi kini ada sedikit nada menggoda di matanya. “Terima kasih, Pak Raka. Aku hanya melakukan yang terbaik, seperti yang kita sepakati.”
Raka tersenyum samar. Ada getaran lama di balik senyum itu, sesuatu yang membuat hatinya sedikit tidak tenang. Larissa memperhatikan detil itu, menahan senyum dalam hati. Setiap langkah yang ia ambil sudah diperhitungkan dengan matang. Ia tahu Raka masih menyimpan bayangan masa lalu mereka, dan ia bisa memanfaatkan itu.
Aurelia berdiri di sisi lain, menatap keduanya. Ia tidak tahu sejarah mereka, hanya melihat bahwa Larissa tampak hangat, ramah, dan profesional. Tanpa sadar, Aurelia mulai merasa Larissa adalah sosok yang dapat dipercaya, bahkan dekat dengan suaminya.
Hari-hari berikutnya, Larissa perlahan masuk ke dalam rutinitas mereka. Ia menghadiri makan siang bersama tim Raka, sesekali berbicara ringan dengan Aurelia tentang hal-hal sederhana seperti proyek, ide kreatif, atau tips manajemen. Semua terasa normal, hangat, dan profesional. Tapi di balik senyum yang sama, Larissa selalu menyisipkan energi yang membuat Raka teringat pada masa lalu mereka kenangan yang selama ini ia pikir terkubur.
Satu sore, ketika semua orang sibuk dengan pekerjaan masing-masing, Raka menatap Larissa saat ia melewati ruangannya. “Larissa, bisakah kau sebentar?”
Larissa menoleh, senyumnya tetap hangat. “Tentu, Pak Raka. Ada yang bisa saya bantu?”
Raka menatapnya lama, suaranya sedikit lebih rendah dari biasanya. “Hanya ingin tahu… apakah kau baik-baik saja? Kau terlihat… berbeda, tapi tetap… familiar.”
Larissa tertawa kecil, lembut, hampir seperti bisikan. “Aku baik, Pak Raka. Mungkin aku memang berbeda karena waktu… dan pengalaman. Tapi tetap, aku tetap Larissa yang dulu, hanya sedikit lebih matang.”
Raka tersenyum samar, matanya menatapnya lama. Larissa membiarkan tatapan itu masuk sebentar, kemudian melanjutkan jalan. Ia tahu, Raka mulai jatuh ke dalam jaring halus yang ia pasang bukan dengan paksaan, tapi dengan keanggunan dan pesona yang tenang.
Malamnya, Larissa duduk di balkon apartemennya, memandang lampu kota yang berkilauan. Ia meneguk segelas teh hangat, menutup mata sejenak, dan membayangkan langkah berikutnya. “Semua sudah sesuai rencana,” gumamnya lirih. “Mereka percaya padaku… dan itu membuatku lebih dekat dari sebelumnya. Sekarang saatnya menunggu… dan bersabar.”
Di meja riasnya, ia menulis catatan singkat:
Langkah selanjutnya: lebih dekat dengan Aurelia. Dapatkan kepercayaannya sepenuhnya.
Langkah berikutnya: Raka mulai terpengaruh tanpa sadar.
Larissa menatap bayangan dirinya di cermin, senyum tipis muncul kembali. Tapi kali ini, matanya menyala penuh tekad.
“Bermain ramah memang mudah,” bisiknya, “tapi yang sulit adalah membuat mereka percaya padaku… dan itu sedang terjadi.”
Di malam itu, Larissa menyadari satu hal: permainan baru ini akan panjang, tapi kini ia sudah punya kendali pertama. Setiap langkahnya tertata, setiap tatapan penuh makna, dan setiap senyum menyimpan niat yang tersembunyi. Ia siap, tenang, dan lebih berbahaya dari sebelumnya.
Dan di antara senyum manisnya yang menipu, ada satu pesan yang ia sampaikan hanya untuk dirinya sendiri: “Kau akan melihat siapa yang benar-benar menang, Raka.”
Malamnya, Larissa duduk di balkon apartemennya, memandang lampu kota yang berkilauan. Ia meneguk segelas teh hangat, menutup mata sejenak, dan membiarkan pikirannya mengalir menjadi kata-kata yang hanya ia dengar:
"Hati yang patah,
tak akan pernah sama lagi.
Namun dalam retak ini,
tertanam bara yang menunggu waktu…
untuk membakar segala luka yang menertawakanku."
Ia tersenyum tipis, menatap bayangan dirinya di cermin. Sajak itu adalah rahasianya, nyala kecil yang mengingatkannya bahwa kesabaran dan penampilan ramah hanyalah bagian dari permainan yang lebih besar. Setiap langkahnya tertata, setiap tatapan penuh makna, setiap senyum menyimpan niat tersembunyi.