Bab 9 – Api yang Mulai Bernyala

1046 Kata
Larissa tidak tidur malam itu. Kata-kata Ibu Ratna terus bergema di kepalanya seperti kaset rusak yang tak mau berhenti berputar. "Semewah apa pun pakaianmu sekarang, kau tetap gadis miskin yang hina." Setiap suku katanya menancap seperti paku ke dadanya. Ia sudah berusaha melupakan masa lalu, berjuang membangun hidup baru, tapi satu pertemuan saja cukup membuat semua tembok pertahanannya runtuh. Larissa berdiri di balkon apartemen, memandangi langit malam yang tanpa bintang. Angin berembus lembut, tapi hatinya dingin. Di tangan kanannya, segelas anggur merah hampir kosong. Ia menatap pantulan dirinya di kaca pintu balkon wajah cantik, riasan tipis, mata tajam yang tidak lagi menyimpan cahaya lembut seperti dulu. “Begini, ya, rasanya ketika semua sudah mati,” gumamnya lirih. Telepon di meja bergetar. Nama di layar membuat bibirnya terangkat sedikit. Dio. Manajer muda di perusahaan cabang yang belakangan ini terlalu sering mengirim pesan, terlalu sering menawarkan bantuan, dan terlalu sering menatapnya dengan cara yang sama seperti dulu Raka menatapnya. Larissa menjawab dengan suara serak namun tenang. “Halo.” “Larissa, kau masih di kantor? Aku lihat lampumu masih menyala dari gedung seberang,” suara Dio terdengar khawatir. “Aku di rumah,” jawab Larissa datar. “Kenapa?” “Ah, baiklah. Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja. Kau terlihat... berbeda siang tadi.” Larissa terdiam sejenak. Ia tahu Dio tak sepenuhnya salah. Siang tadi memang ia tampak rapuh, sebelum amarah mengeras menjadi tekad. “Terima kasih, Dio. Aku baik. Hanya butuh waktu untuk menenangkan diri.” “Kalau begitu, istirahatlah. Besok kita bahas presentasi proyek merger itu.” “Baik.” Begitu panggilan berakhir, Larissa menatap layar ponselnya lama. Dio orang baik. Mungkin terlalu baik. Namun sekarang, kebaikan bukan hal yang menarik baginya. Ia tidak butuh simpati. Ia butuh kekuatan. Dan Dio, tanpa sadar, akan menjadi bagian dari rencana itu. Larissa membuka laptopnya. Ia mencari nama Raka di mesin pencarian, sesuatu yang sudah lama ia hindari. Dalam hitungan detik, sederet hasil muncul berita bisnis, gala dinner, dan foto-foto pria itu bersama istrinya, Aurelia Santoso, perempuan yang dulu dipilih Ibu Ratna. Larissa menatap layar lama, sampai dadanya terasa sesak. Raka tampak bahagia. Atau mungkin pura-pura bahagia, seperti dirinya dulu. Senyum di wajah pria itu terlihat sama, hanya saja sekarang bukan untuknya. Ia menatap foto itu lama, kemudian menyandarkan tubuhnya di kursi. Tangannya bergerak pelan, membuka file lama berisi daftar proyek yang dikerjakan perusahaan mereka. Matanya berhenti pada satu nama Santoso Group, perusahaan tempat Raka sekarang menjabat sebagai wakil direktur. Senyum kecil terbit di sudut bibirnya. Takdir ternyata punya cara unik mempertemukan kembali dua orang yang belum selesai dengan masa lalunya. Keesokan harinya, Larissa datang ke kantor lebih awal. Penampilannya sempurna setelan abu-abu elegan, rambut terikat rapi, wangi parfum lembut yang khas. Tapi di balik ketenangan itu, ada badai yang sudah disiapkan. “Bu Larissa,” sapa Dio begitu melihatnya. “Saya sudah siapkan berkas-berkas presentasi merger antara perusahaan kita dan Santoso Group.” Larissa berhenti sejenak, menatap Dio, lalu tersenyum tipis. “Bagus. Aku sendiri yang akan menanganinya.” Dio mengernyit. “Tapi biasanya....” “Kali ini berbeda,” potong Larissa lembut. “Aku ingin memastikan semuanya berjalan sesuai keinginanku.” Suara itu tenang, tapi ada sesuatu yang membuat Dio tak berani membantah. Larissa berjalan ke ruangannya, menutup pintu perlahan. Di dalam, ia menatap map besar bertuliskan Santoso Group Merger Proposal. Tangannya membelai tulisan itu seolah menyentuh sesuatu yang sangat berharga. “Jadi begini caranya aku akan memulai,” bisiknya pelan. Ia akan masuk ke dunia Raka lagi, bukan sebagai cinta lamanya, tapi sebagai ancaman yang tak bisa dihindari. Ia akan membuat pria itu sadar bahwa meninggalkannya adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya. Hari pertemuan itu tiba seminggu kemudian. Larissa melangkah ke ruang rapat utama dengan kepala tegak. Tim dari Santoso Group sudah duduk menunggu, dan di antara mereka — duduk Raka, mengenakan jas hitam, wajahnya masih sama seperti dulu: tenang, tegas, dan berwibawa. Begitu pandangan mereka bertemu, waktu seolah berhenti. Mata Raka sedikit melebar. Larissa tidak tersenyum, hanya mengangguk tipis, profesional, seolah pria itu hanyalah rekan bisnis biasa. Namun di dalam dadanya, detak jantungnya menggema keras. Pertemuan berjalan formal. Larissa berbicara lancar, setiap kata terukur, suaranya stabil, nyaris sempurna. Tidak ada tanda-tanda goyah sedikit pun. Namun Raka tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Ia beberapa kali menatap Larissa diam-diam, seolah masih berusaha memahami kenyataan yang ada di depannya. Di akhir presentasi, Larissa menutup berkas, lalu menatap langsung ke arah Raka. “Kerja sama ini akan menguntungkan kedua belah pihak,” katanya datar. Raka hanya mengangguk. “Saya setuju. Senang bisa bekerja sama dengan Anda… lagi.” Kata terakhir itu membuat sudut bibir Larissa sedikit terangkat. “Begitu pun saya, Pak Raka.” Tatapan mereka bertemu tajam, penuh makna, tapi juga berlapis luka. Ada sejarah yang tak bisa dihapus, dan keduanya tahu itu. Begitu rapat selesai, Larissa berjalan keluar lebih dulu. Tapi langkahnya terhenti ketika suara Raka memanggil pelan dari belakang. “Larissa… tunggu.” Ia menoleh perlahan. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” “Tidak kusangka… dunia sekecil ini,” ucap Raka pelan. “Kau terlihat berbeda.” Larissa menatapnya dingin. “Waktu memang mengubah banyak hal, Raka. Termasuk cara kita melihat seseorang.” Raka menghela napas. “Kau masih marah?” Larissa tersenyum tipis, tapi matanya kosong. “Tidak, Raka. Aku sudah terlalu sibuk untuk menyimpan amarah. Tapi aku berterima kasih… karena akhirnya aku tahu tempatku.” Raka terlihat ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi Larissa sudah berbalik dan pergi. Ia tahu pria itu masih menatapnya, tapi ia tidak menoleh. Begitu pintu lift tertutup, Larissa menutup mata sejenak. Napasnya berat, tapi ada rasa puas yang sulit dijelaskan. Ia sudah menanam benih pertama dan kini tinggal menunggu saat yang tepat untuk memetik hasilnya. Malam itu, di rumah, Larissa menatap dirinya di cermin. Wajahnya tampak tenang, tapi matanya menyala seperti bara. “Sekarang giliran kalian yang merasakan rasanya kehilangan segalanya,” gumamnya pelan. Ia menulis sesuatu di buku kecil di meja riasnya. Langkah pertama: masuk ke lingkaran mereka. Langkah kedua: buat mereka percaya padaku. Langkah ketiga: hancurkan perlahan, tanpa mereka sadari. Larissa menutup buku itu dan meniup lilin di meja. Kegelapan menyelimuti ruangan, hanya menyisakan pantulan samar wajahnya di cermin perempuan yang tak lagi sama seperti dulu. Dan malam itu, dendam benar-benar lahir, menyala tanpa api, tapi cukup untuk membakar segalanya di waktu yang tepat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN