Bab 8 – Luka yang Dibangunkan

1000 Kata
Sudah berhari-hari Larissa mencoba menenangkan pikirannya. Ia duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop yang menampilkan angka dan laporan keuangan. Tapi pikirannya tidak benar-benar di sana. Di setiap helaan napas, ada bayangan masa lalu yang selalu datang tanpa diundang bayangan wajah Raka, suaranya, caranya tertawa, bahkan tatapan yang dulu membuatnya merasa cukup hanya dengan dicintai. Namun sekarang semua itu terasa asing. Seperti mimpi yang lama-lama berubah menjadi mimpi buruk. Larissa bersandar di kursi, menutup mata sejenak. Sudah berapa lama ia hidup dalam luka yang sama? Sudah berapa kali ia mencoba menutup semua dengan tawa, padahal hatinya nyaris mati? Sisi lembut di hatinya sebenarnya masih berbisik, “Berhenti, Larissa. Kau sudah cukup tersakiti. Jangan hancurkan dirimu sendiri hanya karena ingin membalas atas apa yang terjadi di masa lalu, lupakan semuanya dan mulailah hidup baru, bahagiakan dirimu, dan jadikan masa lalu sebagai pembelajaran hidup, raih mimpimu dan kebahagaianmu, fokus untuk itu sekarang, bukytikan ke semua orang kalau kamu bisa bahagia tanpa bayajgan masa lalu.” Namun setiap kali ia mengingat malam ketika Raka dan keluarganya pergi tanpa penjelasan, ketika hatinya hancur karena merasa dibuang seperti tak berharga suara lembut itu perlahan tenggelam dari daakm hatinya. haingga hari itu datang, di mana Larissa datang lebih awal ke kantor. Ia ingin fokus pada proyek besar yang sedang ditangani perusahaannya. Pikirannya sedang mencoba tetap profesional ketika sekretarisnya mengetuk pintu pelan. “Bu Larissa…maaf mengganggu, ada seseorang yang ingin bertemu. Katanya ada hal penting yang ingin dia bicarakn dengan Ibu,” ucap sang sekretaris ragu. “Siapa?” tanya Larissa datar yang matanya masih gfokus dengan laptopnya. “Beliau bilang… Ibu Ratna. Katanya Anda pasti mengenalnya.” Darah Larissa seolah berhenti mengalir sesaat. Nama itu membuat seluruh tubuhnya menegang. Ibu Ratna. Nama yang seharusnya sudah lama ia kubur. Nama yang dulu pernah ia hormati, cintai, dan anggap seperti ibu sendiri sebelum perempuan itu menghancurkan hidupnya dengan senyum manis dan kalimat yang membuatnya remuk. Larissa menelan ludah, dia tegang, namun dia berusaha untuk tenang. “Suruh tunggu di lobby. Aku akan turun setelh membereskan ini.” Ia kemudian menatap pantulan dirinya di kaca lift saat menuruni lantai demi lantai. Bayangan yang ia lihat bukan lagi Larissa yang polos dan lembut, tapi seseorang dengan mata tajam, dengan hati yang sudah tidak percaya pada apa pun. Namun jauh di dalam sana, hatinya masih bergetar. Masih takut. Masih menyimpan sedikit perasaan yang dulu bernama cinta. Ketika pintu lift terbuka, Larissa mendapati sosok perempuan paruh baya duduk di sofa lounge, mengenakan pakaian elegan dan kalung mutiara yang berkilau. Ibu Ratna menatapnya dengan tatapan menilai dari ujung kepala hingga kaki, seolah waktu tak mengubah apa pun. “Larissa,” ucapnya dingin, tanpa senyum, tanpa sapaan hangat seperti dulu. “Bu Ratna,” jawab Larissa sopan, meski suaranya terdengar menahan sesuatu. “Aku ingin bicara. Tidak pantas rasanya kalau kita bertemu di tempat seperti ini. Ada café di seberang jalan. Ikut aku.” Larissa sempat ragu. Tapi dorongan rasa ingin tahu — atau mungkin luka lama yang belum sembuh — membuatnya akhirnya mengikuti langkah Ibu Ratna keluar dari gedung. Mereka duduk berhadapan di sebuah kafe tenang. Aroma kopi bercampur dengan udara siang yang lembap. Larissa menggenggam cangkirnya erat, sementara Ibu Ratna menatapnya tajam seperti dulu. “Aku tak menyangka kau bisa sampai di posisi ini,” ucap Ibu Ratna pelan, matanya menelusuri cincin di jari Larissa, tas mahal di pangkuannya, dan jam tangan bermerk di pergelangan tangannya. “Tapi tahukah kau, Larissa? Semewah apa pun pakaianmu sekarang, semahal apa pun perhiasan yang kau kenakan, kau tetaplah orang yang sama. Gadis miskin yang dulu menempel pada anakku demi status.” Kata-kata itu menusuk seperti sembilu. Larissa menatapnya, mencoba menahan amarah yang mendidih. “Aku tidak menempel, Bu. Aku mencintai Raka dengan tulus.” Ibu Ratna tertawa pelan, dingin, nyaris menghina. “Tulus? Gadis sepertimu tahu apa tentang ketulusan? Aku masih ingat bagaimana kau datang ke rumahku, memohon agar Raka tidak pergi. Kau menangis seperti pengemis cinta. Sungguh memalukan.” Larissa terdiam. Air matanya menumpuk di pelupuk mata, tapi ia menolak menjatuhkannya. “Dan tahukah kau,” lanjut Ibu Ratna dengan nada semakin tajam, “aku bahkan tak kaget saat tahu kau menyerahkan segalanya pada Raka. Gadis sepertimu memang tak punya harga diri.” Kali ini napas Larissa tercekat. Tangannya gemetar di atas meja. Ia menunduk, menatap kopi yang mulai dingin. Suara di kepalanya mulai memudar. Semua sisa-sisa kebaikan yang tersisa dalam dirinya—perlahan mati. “Cukup, Bu,” ucapnya pelan. “Aku tidak ingin mengungkit masa lalu.” “Tentu saja tidak,” sahut Ibu Ratna sambil menyeringai. “Karena masa lalumu adalah aib.” Kata itu, aib, menggema keras di telinga Larissa. Sesuatu di dalam dirinya meledak. Semua luka yang selama ini ia tahan pecah dalam sekejap. Ia berdiri perlahan, menatap Ibu Ratna dengan tatapan yang membuat udara di antara mereka terasa dingin. “Terima kasih, Bu, karena sudah mengingatkan aku siapa diriku. Tapi mulai hari ini, saya janji… Ibu akan tahu siapa saya sebenarnya.” Nada suaranya tenang, tapi penuh ancaman halus. Ibu Ratna tampak sedikit terkejut, tapi Larissa sudah melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Di luar kafe, angin siang menerpa wajahnya. Langit tampak cerah, tapi di dadanya badai mulai terbentuk. Larissa berjalan perlahan, setiap langkahnya terasa berat tapi pasti. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya — sesuatu yang tak bisa dibalikkan lagi. Ia tak lagi ingin melupakan. Ia tak lagi ingin memaafkan. Ia ingin mereka merasakan apa yang ia rasakan. Ia ingin melihat Raka dan ibunya hancur seperti dirinya yang dulu hancur karena mereka. Malamnya, Larissa berdiri di depan jendela apartemennya. Kota tampak berkilau di bawah sana, lampu-lampu menari seperti bintang buatan manusia. Di balik refleksi kaca, ia melihat matanya sendiri — dingin, kosong, tapi berkilat. “Selamat malam, Bu Ratna…” bisiknya lirih, “...mainan ini baru saja dimulai.” Ia meneguk segelas anggur, menatap bayangan dirinya yang kini bukan lagi perempuan yang sama. Larissa yang dulu berhati lembut telah mati di siang itu — digantikan oleh seseorang yang tahu betul bagaimana cara melukai dengan senyum paling manis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN