Bab 7

1130 Kata
Pagi itu udara terasa dingin menusuk tulang, meski matahari sudah tinggi. Larissa berdiri di depan kaca kantor dengan tatapan kosong. Di balik pantulan dirinya, terlihat para karyawan yang lalu-lalang, sibuk dengan urusan masing-masing. Tapi bagi Larissa, semuanya terasa berjarak. Sejak malam pertemuannya dengan Raka, pikirannya tidak pernah tenang. Kata-kata pria itu masih terngiang jelas di telinganya, menggema setiap kali ia mencoba menepis bayangannya. Ia tahu, Raka masih mencintainya. Namun apa gunanya cinta dari seseorang yang sudah menjadi milik orang lain? Larissa menarik napas panjang dan melangkah menuju ruangannya. Belum sempat ia duduk, pintu tiba-tiba diketuk keras. Seorang staf HR masuk dengan wajah kaku. “Bu Larissa, pimpinan ingin bertemu sekarang.” Nada dingin dari staf itu cukup untuk membuat jantung Larissa berdegup tak karuan. Ia tahu ini bukan kabar baik. Dengan langkah pelan, ia menuju ruang direktur utama. Di sana sudah menunggu dua orang atasan, termasuk Raka. Wajah Raka terlihat tegang, sementara satu orang wanita paruh baya—ibu dari pemilik perusahaan—duduk dengan ekspresi tajam menelusuri setiap gerak tubuhnya. “Silakan duduk, Larissa,” ucap wanita itu tanpa senyum. “Ada laporan yang masuk, dan kami ingin mendengarnya langsung darimu.” Larissa menelan ludah. Ia tahu kemana arah pembicaraan ini akan berujung. “Laporan?” tanyanya pelan, meski ia sudah bisa menebak isinya. “Ya,” sahut wanita itu datar. “Ada kabar bahwa hubunganmu dengan Raka melampaui batas profesional. Kami tidak ingin rumor seperti ini mencoreng nama perusahaan.” Raka tampak ingin bicara, tapi wanita itu mengangkat tangan menahannya. Tatapan dingin Larissa beradu dengan mata pria itu—penuh luka dan ketakutan. Ia tahu Raka tidak berniat menjatuhkannya, tapi situasi yang diciptakan oleh istrinya pasti jauh lebih kuat. “Saya tidak melakukan hal yang tidak pantas,” jawab Larissa tenang, meski hatinya bergetar. “Hubungan kami murni pekerjaan.” Wanita itu tersenyum tipis, senyum yang terasa lebih menakutkan daripada kemarahan. “Sayang sekali, bukti-bukti yang kami terima mengatakan hal sebaliknya.” Larissa menegang. Ia menatap amplop di atas meja yang perlahan dibuka oleh wanita itu. Di dalamnya ada beberapa foto—dirinya dan Raka—tertangkap kamera sedang berbicara di kafe malam itu. Dari sudut pengambilan, tampak seperti pasangan yang sedang berselingkuh. Larissa membeku. Ia tahu siapa yang berada di balik semua ini: istri Raka. Kepalanya mendadak terasa berat. Ia menggenggam tangan di pangkuan, mencoba menahan getaran yang nyaris membuatnya pingsan. “Itu tidak seperti yang terlihat,” katanya serak. “Tentu,” jawab wanita itu ringan, “tapi kami harus menjaga reputasi perusahaan. Jadi, mulai minggu depan, Anda kami pindahkan ke divisi cabang, posisi Anda juga akan disesuaikan.” Raka langsung menoleh dengan wajah kaget. “Bu, tunggu—” “Tidak perlu, Raka,” potong Larissa cepat, suaranya lembut namun tegas. Ia berdiri, menatap lurus ke arah wanita itu. “Jika memang ini keputusan perusahaan, saya menerimanya.” Setelah keluar dari ruangan itu, Larissa berjalan tanpa arah. Ia menahan air mata yang hampir pecah di tengah koridor. Semua yang ia perjuangkan selama bertahun-tahun hancur hanya karena masa lalunya kembali menghantui. Namun di balik kepedihan itu, sesuatu dalam dirinya justru menyala. Ia merasa seolah dunia menantangnya untuk bangkit, bukan sekadar bertahan. Sore harinya, Larissa duduk di balkon apartemennya dengan secangkir teh yang sudah dingin. Ponselnya terus bergetar—pesan dari Raka, panggilan tak terjawab berulang kali. Tapi ia diam. Hatinya ingin menjawab, namun logikanya menahan. Ia tahu, jika ia menuruti perasaannya lagi, maka segalanya akan hancur lebih dalam. Namun ketika malam turun, Larissa tak bisa lagi menahan gejolak dalam dirinya. Ia membuka pesan terakhir dari Raka: “Aku mohon, temui aku sekali lagi. Aku harus jelaskan sesuatu sebelum semuanya terlambat.” Jemarinya gemetar saat menatap layar ponsel. Entah karena marah, sedih, atau masih mencintai. Tapi akhirnya ia membalas: “Besok, tempat yang sama. Sekali ini saja.” Larissa menutup ponsel dan menatap langit malam yang kelam. Angin malam menyapu rambutnya yang panjang, membawa aroma hujan yang mulai turun. Ia tahu besok akan mengubah segalanya—entah menuju akhir atau awal yang baru. Tapi satu hal pasti: ia tidak akan lagi menjadi perempuan yang sama seperti dulu. Larissa yang menunggu, Larissa yang terluka, kini berubah menjadi Larissa yang siap membalas. Di balik lembutnya wajah yang menatap hujan, perlahan muncul senyum getir. “Kamu ingin aku jatuh, Rak?” bisiknya lirih. “Kali ini, biarkan aku yang membuatmu kehilangan segalanya.” Dan di tengah gemericik hujan malam itu, tekadnya mengeras. Larissa tak lagi berjalan di atas dasar cinta—melainkan dendam yang akan menjadi bahan bakar langkahnya menuju sesuatu yang lebih gelap. Larissa terdiam lama di balkon, hanya suara hujan yang menemani. Setiap tetes air yang jatuh ke tanah seperti menyuarakan isi hatinya—dendam, sakit, dan cinta yang tak lagi suci. Ia menyandarkan kepala di sandaran kursi, menatap jauh ke arah kota yang dipenuhi cahaya. Di antara lampu-lampu itu, ada satu bayangan yang terus menghantuinya: Raka. Lelaki yang dulu ia cintai dengan seluruh hidupnya, kini menjadi sumber luka paling dalam. Teleponnya kembali berdering. Nama Raka tertera jelas di layar. Larissa memandangi nama itu cukup lama sebelum akhirnya menolak panggilan. Ia tak lagi ingin mendengar suara pria itu—setidaknya malam ini. Yang ia butuhkan sekarang hanyalah keheningan untuk berpikir. Ia tahu, besok akan menentukan arah hidupnya, dan ia ingin memastikan langkah yang diambil bukan karena kelemahan hati. Di dalam kamar, Larissa membuka laci meja riasnya. Di sana masih tersimpan sebuah kotak kecil berisi surat-surat lama dari Raka. Tangan Larissa bergetar ketika membuka satu di antaranya, kertasnya sudah menguning, namun tulisan tangan Raka masih jelas terbaca. “Aku akan selalu memilihmu, apa pun yang terjadi.” Kalimat itu terasa seperti ejekan sekarang. Bibirnya melengkung getir, antara ingin menangis dan tertawa sekaligus. Ia merobek surat itu perlahan, lembar demi lembar, sampai hanya serpihan kecil yang tersisa di lantai. “Kamu memilihku?” gumamnya dingin. “Lucu, karena akhirnya aku yang kamu tinggalkan.” Larissa menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya tetap sama, tapi sorot matanya berbeda—lebih tajam, lebih berani. Ia tahu jalan yang akan ditempuh setelah ini tidak akan mudah, tapi ia sudah siap. Cinta yang dulu ia pelihara dengan lembut kini telah berubah bentuk, menjadi senjata. Dan dengan senjata itulah ia akan menghadapi dunia yang merampas segalanya darinya. Ia beranjak dari kursi, berjalan menuju jendela, lalu menatap hujan yang mulai mereda. Di luar sana, suara petir menggelegar satu kali, seolah menjadi pertanda bahwa badai baru saja dimulai. Larissa menghela napas dalam-dalam dan berbisik pada dirinya sendiri, “Aku sudah cukup menangis. Sekarang giliranku untuk membuat mereka tahu rasanya kehilangan.” Di malam itu, Larissa menulis satu nama di catatan kecil di meja kerja: Raka. Ia menatap nama itu lama, lalu menarik garis panjang di bawahnya. Sebuah garis tegas yang menandakan akhir dari satu kisah dan permulaan dari sesuatu yang jauh lebih gelap dendam dalam pelukan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN