Larissa duduk di tepi ranjangnya, menatap bayangan sendiri di cermin besar yang tergantung di dinding kamar. Wajahnya tampak lelah, lingkaran hitam di bawah mata membuat pesonanya sedikit redup, meski masih jelas terlihat cantik. Semalam ia hampir tak bisa tidur, pikirannya terus bergulat dengan kenyataan yang menyesakkan. Raka, lelaki yang dulu pernah berjanji akan melindunginya sampai kapan pun, kini berdiri di hadapannya dengan identitas yang berbeda: seorang suami sekaligus ayah.
Hatinya seperti diiris tipis-tipis. Semua kenangan yang pernah mereka bangun kembali menyeruak, mengoyak dinding pertahanan yang selama bertahun-tahun coba ia bangun. Larissa mengusap wajahnya perlahan, mencoba menghapus sisa air mata yang masih menempel. Hari ini ia harus kembali ke kantor, dan di situlah segalanya semakin rumit. Tidak hanya karena Raka ada di tempat yang sama, tetapi juga karena posisinya mulai terguncang sejak kabar kedekatannya dengan pria itu mencuat.
Ketika Larissa melangkah masuk ke kantor pagi itu, suasana terasa sedikit berbeda. Beberapa rekan kerja memandangnya dengan sorot mata penuh bisik-bisik. Ia pura-pura tidak mendengar, melangkah anggun seolah tak terganggu, padahal dalam hati ia ingin berteriak. Ucapan-ucapan lirih tentang dirinya yang diduga punya hubungan terlarang dengan atasan baru terdengar jelas, cukup untuk membuat telinganya panas. Namun ia menegakkan kepala. Ia tahu, jika ia menunjukkan kelemahan, maka gosip akan semakin menjadi-jadi.
Di ruangan kerjanya, Larissa mencoba mengalihkan pikiran dengan menenggelamkan diri pada tumpukan laporan. Tapi konsentrasinya buyar begitu suara ketukan terdengar di pintu. Raka masuk, membawa beberapa berkas yang harus ditandatangani. Senyum tipis muncul di bibir pria itu, namun tatapan matanya penuh kegelisahan. Larissa berusaha bersikap profesional, menunduk, mengambil berkas, dan menandatanganinya tanpa banyak bicara. Tapi jantungnya berdegup kencang, seakan hendak meloncat keluar.
“Larissa…” suara Raka akhirnya memecah keheningan. Ada nada ragu di sana, seolah ia sendiri tak yakin pantas menyebut nama itu lagi. “Boleh kita bicara setelah jam kerja?”
Larissa terdiam. Pertanyaan itu membuat hatinya bergetar, namun di sisi lain, amarah lama ikut menyusup. Ia mengangkat kepala, menatap Raka lurus-lurus. “Untuk apa? Rasanya semua sudah jelas, Rak. Kamu sudah punya hidupmu sendiri.”
Raka menelan ludah, wajahnya terlihat menegang. “Aku tahu. Tapi ada hal-hal yang tidak pernah kamu dengar dari mulutku. Hal-hal yang selama ini aku simpan sendiri.”
Ucapan itu menggantung, membuat Larissa semakin sulit bernapas. Ia ingin menolak, tapi sisi hatinya yang rapuh masih haus akan penjelasan. Akhirnya, dengan suara pelan ia menjawab, “Baik. Setelah jam kerja.”
Hari itu berjalan begitu lambat. Larissa mencoba menyibukkan diri, tapi pikirannya terus kembali pada janji pertemuan nanti. Setiap detik terasa menyiksa, sampai akhirnya senja datang membawa bayangan panjang di jalanan kota. Larissa melangkah ke sebuah kafe kecil di sudut jalan, tempat yang dulu sering ia datangi untuk menenangkan pikiran. Tidak lama kemudian, Raka datang. Penampilannya sederhana, hanya kemeja biru muda dan celana hitam, tapi sorot matanya yang penuh resah membuatnya tampak berbeda.
Mereka duduk berhadapan. Hening awal terasa menyesakkan, hanya ditemani suara sendok beradu dengan cangkir dari meja-meja sekitar. Larissa menggenggam erat tangannya di pangkuan, berusaha menahan gemetar. Raka membuka percakapan dengan napas panjang. “Aku ingin kau tahu, Larissa, dulu aku pergi bukan karena aku ingin. Aku dipaksa, karena ibuku tidak pernah merestui kita.”
Larissa menatapnya, mata berkilat menahan emosi. “Aku tahu itu. Aku juga tahu ibumu sudah menyiapkan jodoh untukmu. Tapi yang tidak bisa kuterima adalah… kenapa kamu tidak pernah melawan? Kenapa kamu biarkan aku menunggu dengan sia-sia?”
Nada suaranya meninggi, membuat beberapa pengunjung lain melirik ke arah mereka. Namun Larissa tak peduli. Semua luka yang ia simpan bertahun-tahun tumpah begitu saja. Raka terdiam, wajahnya tampak bersalah. “Aku waktu itu pengecut. Aku terlalu takut kehilangan keluargaku, terlalu takut melawan ibuku. Dan akhirnya… aku kehilanganmu.”
Air mata Larissa menetes tanpa bisa ditahan. Ia benci dirinya yang masih merasakan sakit, benci hatinya yang masih berdebar setiap kali mendengar suara Raka. “Dan sekarang? Kamu sudah punya istri, anak. Apa yang kamu harapkan dari pertemuan ini, Rak?”
Raka menggenggam meja, menundukkan kepala. “Aku tidak berharap banyak. Aku hanya ingin kau tahu… bahwa aku tidak pernah berhenti mencintaimu. Sampai sekarang pun perasaan itu tetap sama.”
Kata-kata itu menusuk jantung Larissa. Ia merasa ingin berteriak, ingin pergi, tapi tubuhnya seolah terpaku di kursi. Bagian terdalam dari dirinya ingin mempercayai Raka, tapi akalnya menolak mentah-mentah. “Jangan pernah ucapkan itu lagi, Rak. Karena setiap kali kamu bilang cinta, aku hanya ingat bagaimana kamu pergi meninggalkanku.”
Keheningan panjang kembali membungkus mereka. Larissa akhirnya berdiri, mengambil tas, dan menatap Raka dengan sorot mata yang sulit diartikan. “Aku sudah terlalu jauh melangkah sendirian. Jangan tarik aku kembali ke masa lalu.”
Ia melangkah pergi, meninggalkan Raka yang hanya bisa menatap punggungnya menjauh. Hatinya berkecamuk, antara keinginan untuk menyerah pada cinta lama dan tekad untuk melindungi dirinya sendiri dari luka yang sama. Malam itu Larissa berjalan menyusuri trotoar kota dengan air mata yang tak kunjung berhenti jatuh, menyadari bahwa pertemuan kembali dengan Raka justru membuka kembali luka lama yang belum pernah benar-benar sembuh.
Namun di balik rasa sakit itu, tumbuh sesuatu yang tak bisa ia cegah: sebuah rasa dendam yang perlahan mengakar, dendam kepada keadaan, kepada keluarga Raka, dan pada kenyataan pahit yang merampas kebahagiaan mereka. Dalam hatinya, Larissa bersumpah, ia tak akan lagi menjadi perempuan yang hanya menunggu dan berharap. Jika cinta harus menghancurkan, maka ia pun bisa menghancurkan dengan cara yang sama.
Malam semakin larut, lampu kota berkelip di kejauhan. Larissa berhenti di jembatan yang membentang di atas sungai, menatap air yang berkilau diterpa cahaya lampu jalan. Ia menghela napas panjang, mencoba untuk menenangkan hatinya. Tapi bisikan-bisikan masa lalu terus mengiang, dan membuatnya sadar bahwa perjalanan yang ia tempuh setelah ini tidak akan lagi sama. Rasa cintanya pada Raka belum mati, namun di baliknya, kini tumbuh tekad untuk melawan takdir yang dulu merenggut segalanya darinya.
Ia mengusap air mata, lalu tersenyum getir. “Jika dunia ini ingin bermain dengan perasaanku, maka aku pun akan ikut bermain,” bisiknya pelan. Dan malam itu, Larissa melangkah pulang dengan hati yang lebih dingin, membawa serta luka, cinta, sekaligus dendam yang mulai ia pelihara dalam diam.