Bab 5

1065 Kata
Pagi itu Larissa bangun lebih cepat dari biasanya. Matahari bahkan belum sepenuhnya menembus tirai jendela apartemennya ketika ia sudah duduk di depan meja, menatap secangkir kopi yang masih mengepul. Semalaman ia tidak bisa tidur nyenyak, pikirannya terus dipenuhi wajah Raka, tatapan matanya di bawah hujan, dan kalimat penuh penyesalan yang nyaris membuat pertahanannya runtuh. Namun semakin ia mengingatnya, semakin keras hatinya menguat. Ia menyalakan laptop, membuka berkas proyek yang harus ia kerjakan bersama Raka. Jari-jarinya mengetik cepat, seolah ingin mengalihkan semua amarahnya pada lembar kerja itu. Namun di sela-sela kesibukan, bayangan Raka selalu muncul, membuat Larissa semakin geram. “Kau pikir aku akan jatuh lagi, Raka? Tidak. Kali ini aku yang akan membuatmu berlutut,” gumamnya pelan. Di kantor, suasana kembali ramai. Larissa berjalan dengan langkah mantap, mengenakan setelan sederhana namun elegan. Aura dinginnya membuat beberapa rekan kerja segan untuk menyapanya. Begitu memasuki ruang rapat, ia melihat Raka sudah ada di sana. Pria itu tampak rapi dengan jasnya, tapi ada sesuatu di matanya—semacam ketidaktenangan yang berusaha ia sembunyikan. Raka menoleh ketika Larissa masuk. Sekilas senyum muncul di wajahnya, tapi Larissa membalas hanya dengan anggukan singkat, lalu duduk di kursi paling ujung. Mereka berdua seperti dua kutub magnet yang pernah bersatu, tapi kini saling tolak dalam jarak yang tegang. Rapat dimulai, dan kali ini Larissa tidak hanya sekadar diam. Ia berbicara dengan lugas, memberi ide-ide tajam, bahkan menantang beberapa usulan Raka. Rekan-rekan kerja mereka terkejut melihat Larissa begitu berani, bahkan tidak ragu mematahkan argumen Raka di depan banyak orang. “Kalau kita pakai cara seperti yang Raka sarankan, risikonya terlalu besar. Aku lebih memilih jalur yang realistis dengan perhitungan matang. Proyek sebesar ini tidak boleh hanya didasarkan pada keberanian spekulatif,” ucap Larissa dengan suara tegas. Raka menatapnya, ada rasa bangga sekaligus getir di matanya. Ia tahu Larissa selalu pintar, selalu kuat. Namun sekarang, ketegasan itu terasa seperti tembok yang memisahkan mereka semakin jauh. Setelah rapat usai, beberapa rekan kerja memuji Larissa atas keberaniannya. Sementara itu, Raka hanya berdiri diam, menatap Larissa dari kejauhan. Hatinya bergemuruh, ingin sekali mendekat, tapi ia tahu setiap langkahnya bisa saja dianggap ancaman oleh wanita yang dulu ia cintai sepenuh hati itu. Siang hari, Larissa duduk sendirian di pantry kantor. Ia memandangi kopi di tangannya sambil termenung. Seorang rekan kerja menghampirinya, seorang pria bernama Arvino, yang dikenal ramah dan selalu ringan tangan membantu siapa pun. “Kamu hebat tadi di rapat,” kata Arvino sambil duduk di kursi seberang. “Aku bisa lihat semua orang terkesan dengan cara kamu menyampaikan argumen.” Larissa tersenyum tipis, “Terima kasih, Vin. Aku hanya melakukan bagianku.” “Tapi aku bisa lihat sesuatu di matamu. Kamu seakan sedang berperang, bukan hanya soal pekerjaan. Semoga aku tidak salah.” Kalimat itu membuat Larissa tercekat sejenak. Ia tidak menjawab, hanya meneguk kopinya dalam-dalam. Namun dalam hati, ia sadar bahwa Arvino menangkap sesuatu yang orang lain tidak lihat. Sore menjelang, Raka akhirnya memberanikan diri menghampiri Larissa di ruang kerjanya. “Larissa, aku ingin bicara. Lima menit saja.” Larissa mendongak dari laptopnya, menatap pria itu dengan tatapan tajam. “Aku sedang sibuk.” “Aku janji tidak akan ganggu lama-lama. Aku hanya ingin kau tahu… aku masih menyesali semuanya. Aku ingin menebus kesalahanku.” Larissa menutup laptopnya perlahan, lalu berdiri. Ia melangkah mendekati Raka, jarak mereka hanya sejengkal. Suaranya rendah namun menusuk, “Kesalahanmu terlalu besar untuk ditebus dengan kata-kata. Kau ambil sesuatu dariku yang tidak bisa dikembalikan. Jadi kalau kau pikir masih ada ruang untuk penebusan… kau salah besar.” Wajah Raka memucat. Ia ingin menjawab, tapi Larissa sudah berbalik, meninggalkannya dengan langkah mantap. Malam itu, Larissa berdiri di balkon apartemennya, menatap lampu-lampu kota yang berkelip. Ia tahu, luka di hatinya masih berdarah. Tapi kini, luka itu bukan kelemahan. Itu adalah bahan bakar, api yang akan ia gunakan untuk membakar semua kebahagiaan semu yang dimiliki Raka. Ia menggenggam pagar balkon erat-erat, lalu berbisik pada dirinya sendiri, “Permainan baru saja dimulai. Dan aku tidak akan berhenti sebelum dia hancur.” Sore itu meja kerjanya tampak rapi—hanya ada satu cangkir kopi setengah tandas, laptop yang baru saja dipakai, dan tumpukan dokumen yang menunggu tanda tangannya. Namun rapi tidak berarti tenang. Di balik penampilan yang teratur, pikirannya berputar seperti kipas yang tak berhenti: rencana kecil, langkah hati-hati, celah-celah di mana ia bisa menyusup tanpa terlihat. Larissa menatap jam di dinding. Jam berdetak tenang, kontras dengan detak jantungnya yang tidak mau redam. Ia mengingat kembali wajah Raka di parkiran, basah oleh hujan, menunggu dengan perasaan yang jelas tak ingin ia beri ampun. Kalimat yang keluar dari mulutnya—“biarkan aku menjadi luka yang tidak akan pernah sembuh untukmu”—masih bergema seperti gong di kepalanya. Bukan karena ia menyesal mengucapkannya, melainkan karena kata-kata itu mengikat tekadnya menjadi sesuatu yang konkret. Ia menyelipkan kembali pena di belakang daun telinganya, membuka file presentasi proyek, dan menatap daftar nama yang tertera. Kerja sama, waktu, tanggung jawab—semua itu kini adalah alat yang bisa ia gunakan. Larissa tidak akan mempermalukan Raka di depan umum. Ia bukan tipe yang mencari tontonan. Caranya lebih halus: menggoyang pijakan yang selama ini dianggap aman, membuat retakan kecil yang lama-kelamaan merobohkan pondasi. Di pojok pikirannya, ada rasa takut—bukan pada Raka, melainkan pada apa yang mungkin hilang dari dirinya sendiri jika ia tenggelam terlalu jauh dalam pembalasan. Namun malam itu ia menepis keraguan. Pembalasan bukan tujuan akhir; ini adalah ujian apakah ia masih memiliki kendali atas hidupnya. Larissa menutup laptop perlahan. Cahaya layar memudar, tetapi bayangan rencananya sudah terpatri jelas. Ia berdiri, merapikan meja, lalu berjalan menuju jendela. Kota mulai berkilau oleh lampu malam; bagi banyak orang itu tanda berakhirnya hari, tapi baginya itu pertanda lain—waktu untuk memulai langkah nyata. Dengan napas yang tenang namun pasti, Larissa berbisik pada dirinya sendiri, “Mulai besok, aku akan bergerak.” Larissa membuka jendela, membiarkan angin malam menyapu wajahnya. Dari kejauhan, suara klakson dan riuh kota terdengar samar, namun di telinganya hanya ada satu gema: nama Raka. Ia menatap langit gelap yang dipenuhi awan, lalu tersenyum getir. “Kalau dulu aku hanya tahu mencintaimu,” bisiknya lirih, “sekarang aku akan belajar cara terbaik untuk membuatmu menyesal telah memilih meninggalkanku.” Tatapan matanya tidak lagi sendu, melainkan tajam seperti pisau yang baru diasah. Hatinya mungkin sudah hancur, tetapi dari kepingan itulah ia membangun kekuatan baru. Dan di balik gemerlap lampu kota, Larissa tahu: langkah balas dendamnya sudah tidak bisa dihentikan lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN