Hari itu kantor terasa lebih ramai dari biasanya. Suara ketikan, dering telepon, dan bisikan antar karyawan bercampur menjadi satu. Larissa duduk di mejanya dengan wajah yang dipaksakan tenang. Namun di balik mata yang berusaha tegar, ada keresahan yang sulit ia sembunyikan. Setelah pertemuan pertamanya dengan Raka di kantor beberapa hari lalu, pikirannya tak pernah benar-benar damai. Ia berusaha keras untuk terlihat profesional, tapi teman-temannya sudah mulai memperhatikan perubahan sikapnya.
Biasanya, Larissa dikenal ramah dan terbuka. Kini ia lebih banyak diam, menjawab seperlunya, bahkan sesekali terlihat menahan emosi ketika nama Raka muncul dalam pembicaraan. “Kenapa belakangan ini kamu agak dingin, Ris?” tanya salah satu rekan kerjanya sambil bercanda. Larissa hanya tersenyum tipis, mencoba menutupi badai yang bergemuruh di dadanya. Tidak ada yang tahu, di balik semua ketenangan itu, ia sedang menahan ingatan yang tak ingin kembali.
Hari itu perusahaan mengadakan rapat besar. Sebuah proyek strategis diumumkan, proyek yang dianggap penting untuk masa depan perusahaan. Semua karyawan senior diminta terlibat, termasuk Larissa. Ia duduk dengan tenang, mendengarkan penjelasan pimpinan. Namun, saat nama penanggung jawab dari divisi lain disebutkan, jantung Larissa seolah berhenti berdetak: Raka.
Tubuhnya menegang seketika. Seakan dunia sedang mempermainkannya, menempatkan ia kembali dalam satu ruang dan satu tanggung jawab dengan pria yang pernah menghancurkan hatinya. Tidak ada jalan untuk menghindar. Ia harus menghadapi kenyataan ini.
Rapat pun dimulai. Raka dengan percaya diri menjabarkan ide-idenya. Kata-katanya terdengar meyakinkan, suaranya masih sama seperti dulu, lembut tapi tegas. Larissa mencoba menjaga ekspresi wajahnya tetap datar. Setiap kali Raka berbicara, ia menanggapi dengan singkat, seringkali dengan nada dingin. Beberapa rekan kerjanya mengira itu hanya sikap profesional, namun Raka bisa merasakan bahwa dinginnya Larissa bukan sekadar soal pekerjaan—itu personal.
Ketika rapat selesai, sebagian besar anggota tim keluar untuk istirahat. Tinggal Larissa dan Raka yang masih merapikan berkas. Hening menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara detik jam dinding. Raka menoleh, menatap Larissa dengan tatapan penuh kerinduan yang berusaha ia sembunyikan. “Larissa…” panggilnya pelan.
Larissa tidak menoleh, hanya sibuk dengan berkas di tangannya. “Kalau urusan proyek, kita bisa bahas nanti. Aku sedang tidak ingin membicarakan hal lain,” jawabnya dingin.
Raka melangkah mendekat, suaranya lebih rendah. “Aku tidak bisa pura-pura seakan tidak terjadi apa-apa. Aku tahu aku salah, aku tahu aku menyakitimu. Tapi tolong beri aku kesempatan untuk menjelaskan.”
Larissa berhenti sejenak, lalu menoleh dengan tatapan tajam. “Menjelaskan apa? Bahwa kamu pergi begitu saja? Bahwa keluargamu memilihkan perempuan lain untukmu, dan kamu menurut tanpa melawan? Atau kamu ingin menjelaskan kenapa kamu meninggalkan aku setelah aku menyerahkan segalanya padamu?”
Kata-kata itu menusuk hati Raka. Wajahnya menegang, rasa bersalah jelas tergambar di sana. Ia mencoba bicara, namun Larissa sudah lebih dulu menghela napas panjang dan melangkah pergi, meninggalkan Raka yang membeku di tempat.
Sore harinya, Larissa keluar dari kantor lebih cepat. Hujan deras mengguyur kota, membuat parkiran penuh dengan suara air yang jatuh. Ia berjalan cepat menuju mobilnya, berusaha menghindari basah. Namun langkahnya terhenti ketika sebuah tangan menahan lengannya. Raka berdiri di sana, basah kuyup, tapi matanya menatap Larissa dengan penuh kesungguhan.
“Larissa, dengar aku. Aku tidak pernah melupakanmu. Setiap hari aku dihantui penyesalan karena kehilanganmu. Aku tahu aku pengecut, aku tahu aku salah. Tapi aku tidak pernah berhenti mencintaimu,” ucap Raka dengan suara bergetar, bercampur derasnya hujan.
Larissa terdiam, dadanya bergemuruh. Air hujan bercampur dengan air mata yang hampir jatuh. Namun ia menegakkan kepala, menatap Raka dengan sorot mata yang tajam. Bibirnya bergetar saat ia berkata, “Kalau begitu, biarkan aku menjadi luka yang tidak akan pernah sembuh untukmu.”
Kalimat itu bagai petir yang menyambar. Raka terdiam, tidak mampu berkata apa-apa. Larissa menarik lengannya, membuka pintu mobil, lalu masuk dengan cepat. Ia menyalakan mesin dan melaju pergi, meninggalkan Raka yang berdiri di tengah hujan, menatap punggung mobil yang perlahan menghilang dari pandangan.
Di dalam mobil, Larissa menggenggam erat setir. Air matanya jatuh tanpa bisa ia cegah. Namun di sudut bibirnya, ada senyum tipis, senyum yang lahir dari luka yang telah berubah menjadi dendam. Ia berbisik lirih pada dirinya sendiri, “Kalau rasa sakit ini tidak bisa hilang, biarlah aku yang menjadikannya senjata.”
Malam itu Larissa kembali ke apartemennya dengan tubuh lelah, namun matanya masih menyala penuh bara. Pertemuan kedua dengan Raka bukan hanya membuka luka lama, tapi juga menguatkan tekadnya. Ia tahu, jalan di depan akan semakin rumit, tapi hatinya sudah bulat. Raka harus merasakan perih yang sama, bahkan lebih dari yang pernah ia rasakan.
Hujan di luar masih belum reda, seakan ikut menangis bersama kisah yang belum selesai. Namun di hati Larissa, badai baru saja dimulai.
Hari itu kantor terasa lebih ramai dari biasanya. Suara ketikan, dering telepon, dan bisikan antar karyawan bercampur menjadi satu. Larissa duduk di mejanya dengan wajah yang dipaksakan tenang. Namun di balik mata yang berusaha tegar, ada keresahan yang sulit ia sembunyikan. Setelah pertemuan pertamanya dengan Raka di kantor beberapa hari lalu, pikirannya tak pernah benar-benar damai. Ia berusaha keras untuk terlihat profesional, tapi teman-temannya sudah mulai memperhatikan perubahan sikapnya.
Biasanya, Larissa dikenal ramah dan terbuka. Kini ia lebih banyak diam, menjawab seperlunya, bahkan sesekali terlihat menahan emosi ketika nama Raka muncul dalam pembicaraan. “Kenapa belakangan ini kamu agak dingin, Ris?” tanya salah satu rekan kerjanya sambil bercanda. Larissa hanya tersenyum tipis, mencoba menutupi badai yang bergemuruh di dadanya. Tidak ada yang tahu, di balik semua ketenangan itu, ia sedang menahan ingatan yang tak ingin kembali.
Hari itu perusahaan mengadakan rapat besar. Sebuah proyek strategis diumumkan, proyek yang dianggap penting untuk masa depan perusahaan. Semua karyawan senior diminta terlibat, termasuk Larissa. Ia duduk dengan tenang, mendengarkan penjelasan pimpinan. Namun, saat nama penanggung jawab dari divisi lain disebutkan, jantung Larissa seolah berhenti berdetak: Raka.
Tubuhnya menegang seketika. Seakan dunia sedang mempermainkannya, menempatkan ia kembali dalam satu ruang dan satu tanggung jawab dengan pria yang pernah menghancurkan hatinya. Tidak ada jalan untuk menghindar. Ia harus menghadapi kenyataan ini.
Rapat pun dimulai. Raka dengan percaya diri menjabarkan ide-idenya. Kata-katanya terdengar meyakinkan, suaranya masih sama seperti dulu, lembut tapi tegas. Larissa mencoba menjaga ekspresi wajahnya tetap datar. Setiap kali Raka berbicara, ia menanggapi dengan singkat, seringkali dengan nada dingin. Beberapa rekan kerjanya mengira itu hanya sikap profesional, namun Raka bisa merasakan bahwa dinginnya Larissa bukan sekadar soal pekerjaan—itu personal.
Ketika rapat selesai, sebagian besar anggota tim keluar untuk istirahat. Tinggal Larissa dan Raka yang masih merapikan berkas. Hening menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara detik jam dinding. Raka menoleh, menatap Larissa dengan tatapan penuh kerinduan yang berusaha ia sembunyikan. “Larissa…” panggilnya pelan.
Larissa tidak menoleh, hanya sibuk dengan berkas di tangannya. “Kalau urusan proyek, kita bisa bahas nanti. Aku sedang tidak ingin membicarakan hal lain,” jawabnya dingin.
Raka melangkah mendekat, suaranya lebih rendah. “Aku tidak bisa pura-pura seakan tidak terjadi apa-apa. Aku tahu aku salah, aku tahu aku menyakitimu. Tapi tolong beri aku kesempatan untuk menjelaskan.”
Larissa berhenti sejenak, lalu menoleh dengan tatapan tajam. “Menjelaskan apa? Bahwa kamu pergi begitu saja? Bahwa keluargamu memilihkan perempuan lain untukmu, dan kamu menurut tanpa melawan? Atau kamu ingin menjelaskan kenapa kamu meninggalkan aku setelah aku menyerahkan segalanya padamu?”
Kata-kata itu menusuk hati Raka. Wajahnya menegang, rasa bersalah jelas tergambar di sana. Ia mencoba bicara, namun Larissa sudah lebih dulu menghela napas panjang dan melangkah pergi, meninggalkan Raka yang membeku di tempat.
Sore harinya, Larissa keluar dari kantor lebih cepat. Hujan deras mengguyur kota, membuat parkiran penuh dengan suara air yang jatuh. Ia berjalan cepat menuju mobilnya, berusaha menghindari basah. Namun langkahnya terhenti ketika sebuah tangan menahan lengannya. Raka berdiri di sana, basah kuyup, tapi matanya menatap Larissa dengan penuh kesungguhan.
“Larissa, dengar aku. Aku tidak pernah melupakanmu. Setiap hari aku dihantui penyesalan karena kehilanganmu. Aku tahu aku pengecut, aku tahu aku salah. Tapi aku tidak pernah berhenti mencintaimu,” ucap Raka dengan suara bergetar, bercampur derasnya hujan.
Larissa terdiam, dadanya bergemuruh. Air hujan bercampur dengan air mata yang hampir jatuh. Namun ia menegakkan kepala, menatap Raka dengan sorot mata yang tajam. Bibirnya bergetar saat ia berkata, “Kalau begitu, biarkan aku menjadi luka yang tidak akan pernah sembuh untukmu.”
Kalimat itu bagai petir yang menyambar. Raka terdiam, tidak mampu berkata apa-apa. Larissa menarik lengannya, membuka pintu mobil, lalu masuk dengan cepat. Ia menyalakan mesin dan melaju pergi, meninggalkan Raka yang berdiri di tengah hujan, menatap punggung mobil yang perlahan menghilang dari pandangan.
Di dalam mobil, Larissa menggenggam erat setir. Air matanya jatuh tanpa bisa ia cegah. Namun di sudut bibirnya, ada senyum tipis, senyum yang lahir dari luka yang telah berubah menjadi dendam. Ia berbisik lirih pada dirinya sendiri, “Kalau rasa sakit ini tidak bisa hilang, biarlah aku yang menjadikannya senjata.”
Malam itu Larissa kembali ke apartemennya dengan tubuh lelah, namun matanya masih menyala penuh bara. Pertemuan kedua dengan Raka bukan hanya membuka luka lama, tapi juga menguatkan tekadnya. Ia tahu, jalan di depan akan semakin rumit, tapi hatinya sudah bulat. Raka harus merasakan perih yang sama, bahkan lebih dari yang pernah ia rasakan.
Hujan di luar masih belum reda, seakan ikut menangis bersama kisah yang belum selesai. Namun di hati Larissa, badai baru saja dimulai.
Di kamarnya yang sunyi, Larissa berdiri menatap bayangan dirinya di cermin. Wajah itu masih cantik, tapi matanya kini menyimpan api yang tidak akan pernah padam. Ia menyentuh kaca, seolah sedang berbicara dengan dirinya yang lama. “Aku sudah mati sekali, saat dia pergi. Sekarang aku hidup kembali, bukan untuk mencintainya… tapi untuk memastikan dia menyesal karena pernah meninggalkanku.”
Larissa menutup mata, membiarkan semua kenangan masa lalu berputar cepat di kepalanya: tawa mereka, janji manis yang pernah terucap, malam ketika ia menyerahkan segalanya. Semua itu kini menjadi bara, bahan bakar untuk langkah berikutnya.
Ia tahu, mulai malam ini, tidak ada lagi ruang untuk ragu. Masa lalu yang hancur akan ia gunakan sebagai senjata. Dan cinta yang dulu suci, kini berubah menjadi pisau bermata dua, siap melukai siapa pun yang berdiri di hadapannya.
Larissa tersenyum getir pada bayangannya, lalu berbisik pelan, “Selamat datang di permainan yang kau ciptakan sendiri, Raka. Kau akan tahu rasanya hidup dengan luka yang tak pernah sembuh.”
Dengan tekad yang sudah bulat, ia berbalik, menutup lampu kamar, dan membiarkan kegelapan menemani malamnya. Tapi di balik gelap itu, sebuah cahaya berbahaya baru saja menyala—cahaya dendam yang tidak bisa dipadamkan.