Hari-hari setelah pertemuan itu menjadi ujian terberat bagi Larissa. Ia mengira waktu sudah cukup untuk mengubur luka, namun kenyataan di lift pagi itu membuktikan sebaliknya. Semua usaha yang ia bangun bertahun-tahun seakan runtuh hanya dengan satu tatapan mata Raka.
Di kantor, Larissa berusaha menampilkan wajah profesional. Ia tidak ingin rekan-rekannya mencium kegelisahan yang ia rasakan. Setiap kali duduk di ruangannya, ia mengalihkan perhatian pada laporan-laporan yang menumpuk. Angka-angka dan strategi bisnis menjadi pelarian dari riuh perasaannya. Namun, di sela-sela kesibukan, pikiran tentang Raka terus saja menyelinap.
Larissa tahu, Raka bukan sekadar masa lalu. Kini mereka berada di gedung yang sama, dunia kerja yang sama, bahkan bisa saja proyek-proyek besar mempertemukan mereka. Itu membuatnya semakin gelisah. Ia harus menyiapkan diri, bukan hanya sebagai karyawan, tapi sebagai perempuan yang punya dendam terpendam.
Suatu sore, Larissa dipanggil ke ruang rapat untuk membahas rencana ekspansi perusahaan. Ia berjalan dengan langkah mantap, berusaha menutupi getar di dadanya. Saat pintu dibuka, matanya langsung bertemu dengan Raka yang duduk di ujung meja. Jantungnya serasa berhenti.
Raka mengenakan setelan abu-abu rapi, wajahnya serius, namun begitu tatapan mereka bertemu, ada getar aneh yang tak bisa disembunyikan. Larissa segera menunduk, menarik kursi tanpa banyak suara, lalu duduk di seberang ruangan. Ia tidak ingin terlihat goyah.
Sepanjang rapat, suara Raka mendominasi. Ia bicara dengan penuh wibawa, menyampaikan ide-ide segar yang membuat semua orang terkesan. Larissa mendengarkan dengan seksama, meski hatinya bergejolak. Di satu sisi, ia ingin membenci lelaki itu sepenuhnya. Di sisi lain, bagian dalam dirinya masih mengingat kelembutan yang pernah ia cintai.
Ketika rapat usai, para peserta perlahan keluar satu per satu. Larissa mencoba mengatur waktunya agar ia bisa pergi tanpa harus berinteraksi dengan Raka. Namun rencananya gagal. Saat ia merapikan dokumen, suara berat itu terdengar.
“Larissa… bisa kita bicara sebentar?”
Tubuhnya menegang. Ia menoleh, menatap mata yang dulu begitu akrab. Ada ketegangan yang sulit dijelaskan di antara mereka.
Larissa menghela napas, lalu menjawab datar, “Saya rasa tidak ada yang perlu dibicarakan.”
Namun Raka tidak menyerah. Ia mendekat, menjaga suaranya tetap rendah. “Tolong… sekali ini saja. Aku hanya ingin menjelaskan.”
Kata-kata itu membuat Larissa teringat malam penuh luka bertahun-tahun lalu. Semua janji yang runtuh, semua pengorbanan yang sia-sia. Ia mengepalkan tangan, berusaha menahan emosi.
“Menjelaskan apa? Bahwa kau sudah meninggalkan aku tanpa penjelasan? Bahwa kau sekarang berdiri di sini dengan cincin di jarimu dan seorang anak yang memanggilmu ayah?” suaranya dingin, penuh sindiran.
Raka terdiam sejenak, wajahnya penuh penyesalan. “Larissa, aku tidak pernah berhenti memikirkanmu. Kau harus tahu itu. Semua terjadi bukan karena keinginanku.”
Larissa menatapnya tajam. “Kau bisa menyebutnya apa saja, tapi hasilnya tetap sama. Kau memilih pergi. Kau memilih menikah dengan perempuan lain. Dan aku? Aku hanya tinggal dengan luka yang kau tinggalkan.”
Ruangan hening. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar. Raka tampak ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi Larissa segera berdiri, mengumpulkan dokumennya, lalu berjalan keluar tanpa menoleh.
Di lorong panjang gedung itu, Larissa merasakan dadanya sesak. Ia benci pada dirinya sendiri karena hatinya masih bergetar mendengar suara Raka. Ia benci karena tatapan mata lelaki itu masih mampu mengacaukan logikanya.
Malamnya, Larissa menatap langit dari balkon apartemennya. Lampu-lampu kota berkelip, namun matanya kosong. Ia mengingat kembali janji yang ia buat pada dirinya sendiri: tidak lagi menjadi gadis yang sama. Jika Raka kembali dalam hidupnya, ia akan memastikan lelaki itu merasakan perih yang lebih dalam.
Larissa meraih segelas anggur, meneguknya perlahan. Setiap tetesnya seperti menyalakan api di dadanya. “Baiklah, Raka,” bisiknya lirih, “kau ingin menjelaskan? Kau akan punya banyak waktu untuk itu. Tapi kali ini, aku tidak akan datang sebagai kekasihmu. Aku akan datang sebagai bayangan masa lalu yang tidak pernah bisa kau hapus.”
Hari-hari berikutnya, pertemuan mereka di kantor tak terhindarkan. Setiap kali mata mereka bertemu, ada ketegangan yang dirasakan semua orang, meski tak seorang pun mengerti alasannya. Larissa tetap menjaga wajah profesional, sementara Raka tampak berusaha mencari celah untuk mendekatinya.
Larissa tahu satu hal: permainan ini baru saja dimulai. Dan ia berniat untuk memainkannya sampai akhir.
Larissa menutup laptopnya malam itu, tapi matanya masih menatap kosong ke layar yang gelap. Bayangan Raka tidak mau pergi, menempel di pikirannya seperti noda yang tidak bisa dihapus. Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, mencoba mengusir rasa lelah yang semakin menekan.
Namun, semakin ia mencoba melupakan, semakin jelas pula sosok itu muncul. Wajah yang dulu ia cium dengan penuh cinta, suara yang dulu membisikkan janji, kini kembali hadir sebagai luka yang segar.
Larissa berdiri, melangkah ke depan cermin besar di kamarnya. Ia menatap sosok yang terpantul di sana—seorang perempuan yang telah belajar keras, membangun dirinya, namun tetap menyimpan bekas luka di dalam d**a. “Aku tidak akan kalah lagi,” katanya pada bayangannya sendiri.
Ia meraih lipstik merah di meja rias, mengguratkan warna di bibirnya dengan penuh ketegasan. Simbol kecil bahwa ia bukan lagi gadis yang sama. Larissa kini adalah seorang wanita dengan tujuan, dan tujuan itu jelas: membuat Raka merasakan kehilangan yang sama, bahkan lebih dalam.
Di luar, suara kota masih bising, mobil-mobil lalu lalang, lampu-lampu berkedip. Namun bagi Larissa, semuanya terasa hening. Malam itu ia tahu, pertemuan dengan Raka bukanlah akhir, melainkan awal dari babak baru dalam hidupnya.
Dan dalam kesunyian itu, ia berjanji: cinta yang pernah tulus kini akan berubah menjadi senjata.
Larissa berbaring di ranjang, tapi matanya enggan terpejam. Setiap kali ia mencoba tidur, tatapan Raka di ruang rapat tadi kembali menghantui. Tatapan penuh kerinduan bercampur penyesalan—tatapan yang dulu membuatnya merasa istimewa, tapi kini hanya terasa seperti racun.
Ia memeluk bantalnya erat, seolah ingin meremukkan rasa sakit yang kembali menusuk. “Aku sudah cukup tersiksa,” bisiknya lirih, hampir seperti doa. “Sekarang giliran dia yang merasakan apa artinya kehilangan.”
Pikirannya melayang pada masa lalu: senyum manis Raka, genggaman tangannya yang hangat, bisikan janji tentang masa depan. Semua itu kini menjadi bara yang membakar hatinya. Larissa sadar, ia tidak bisa membalik waktu. Tapi ia bisa menciptakan masa depan di mana Raka tidak akan pernah lagi merasa tenang.
Di kejernihan malam yang sunyi, Larissa merasakan sesuatu yang berbeda. Bukan lagi sekadar luka, bukan pula rindu yang tersisa. Yang ia rasakan adalah tekad yang mengeras, seperti batu karang yang tak tergoyahkan.
Ia menarik napas panjang, menatap gelap langit-langit kamarnya, lalu tersenyum tipis. Senyum yang bukan lagi milik gadis polos yang pernah ia kenal, melainkan senyum perempuan yang siap menyalakan badai.
Dan di balik senyum itu, lahirlah sumpah baruRaka tidak akan pernah bisa lari dari bayangannya.