Setelah akad diikrarkan pertanda sahnya pernikahan, Levi pun keluar kamar menuruni tangga diapit oleh bunda Rosa -ibu Levi dan nyonya Andreas. Levi sempat membisikkan sesuatu ditelinga Nyonya Andreas yang sontak membuat wanita itu langsung menatap k earah di mana mata anaknya Zio memandang. Lastra, sepanjang prosesi pernikahan yang digelar sederhana itu mata Zio tidak lepas hanya memandangi Lastra. Akhirnya Nyonya Andreas pun menyimpulkan sesuatu, bahwa anaknya Zio, sedang menaruh perasaan terhadap sekretaris yang sudah menemaninya selama ini.
Setelah serangkai prosesi digelar Nyonya Andreas langsung menghampiri Lastra yang saat ini sedang bingung memilih makanan yang akan disantapnya.
“Emang kenyang ya kalau cuma diliatin begitu?” Celetuk Nyonya Andreas yang kini sudah berada di belakang Lastra
“Ehh Nyonya Besar, silakan Nyonya duluan aja, saya masih bingung mau makan yang mana. Mau makan semuanya sih, tapi saya malu dilihat orang.” Ujar Lastra sambil terkekeh tanpa malu-malu.
“Ya ampun Last, beneran kamu mau semua, kalau mau nanti saya minta bungkusin sama pelayan, kamu bawa pulang aja”
“Eh beneran Nyonya? saya jadi enak banget kalau begini, maklum Nyonya anak kos, gak bisa lihat makanan enak dikit.” Kata Lastra dengan polosnya.
“Iya, ya udah, ayo kamu ambil yang mana aja, temanin saya makan di sana.” Sambil menunjuk sebuah meja yang sudah tertata rapi dengan kursi di sekelilingnya.
“Siap nyonya!”
Tak lama kemudian Lastra sudah duduk manis menemani Nyonya Andreas dan disusul oleh Bunda Rosa yang kini duduk mengapit Lastra.
“Kamu kapan rencana nikah Last?”
Sontak pertanyaan dari Nyonya Andreas membuat Lastra yang sedang mengunyah makananya tersedak seketika,
“Ayo ini diminum dulu, Last.” Bunda Rosa langsung menyodorkan minuman dan mengusap punggung Lastra. “gimana udah enakan?” Tanyanya.
Lastra mengangguk pelan. "Iya Bun, Makasih." Lastra berusaha tenang. Tidak biasanya ia merasa tertohok saat ditanya kapan nikah. Mungkin, ini hanya terbawa perasaan saja karena saat ini ia sedang berada di pernikaha Levi. Entah mengapa pernikahan yang ia hadiri saat ini, begitu mengusik relung hatinya. Tidak ada pesta meriah, malah terkesan sederhana akan tetapi justru itu yang membuat Lastra merasakan keintiman di dalamnya.
“Saya kok gak pernah berpikir untuk menikah ya, membayangkannya saja, saya tidak pernah.” Lastra menghela nafas berat, tatapanya sayu lurus memandang ke depan.
Nyonya Andreas menatap heran sekaligus menyelidik.
“Lho kok gitu Last, memang kamu gak mau ngerasain nikah?” Tanya bunda Rosa
“Iya ih, Levi aja udah nikah, pacar kamu kan banyak Last?" Goda nyonya Andreas.
“Saya lagi jomblo Nyonya.” Lalu menyuapkan makanan ke mulutnya. “Lagian ya Nyonya, Bunda … bahagia itu bisa kapan aja kan? gak nunggu harus nikah baru bahagia. Buktinya saya gak nikah tapi saya bahagia lho.” Lastra mencoba menjawab secara diplomatis.
“Lastra lagi patah hati sepertinya Mbak, coba aja nanti kalau jatuh cinta, punya pacar, pasti deh pengen buru-buru di lamar.”
Nyonya Andreas pun tertawa mendengar ocehan Bunda Rosa. Dan mereka pun melewati waktu dengan bergosip mengenai hal-hal unfaedah lainya.
**
Waktu sudah menunjukkan pukul satu siang, masih ada beberapa kerabat dekat yang berada di rumah Levi. Namunu, Lastra sudah lelah, dan ingin segera pulang untuk berbaring di ranjang empuknya di apartemen. Ia pun pamit kepada kedua mempelai dan beberapa keluarga inti, yang sedang berkumpul di ruang keluarga. Ada keluarga Levi, Hans serta keluarga Andreas di sana.
“Kenapa buru-buru sih Mbak?” Levi melepas pelukan dengan tidak ikhlas.
“Maaf ya cantik, aku ngantuk banget, selamat ya atas pernikahannya, moga langgeng, cepet-cepet kasih ponakan yang lucu ya ...” Ucap Lastra sembari terkekeh lalu mencubit pipi Levi dengan gemas.
“Eh bikin sendiri aja kenapa Last, kita mau pacaran dulu, iya gak Beb?" Hans menimpali sambil merangkul istrinya dan disambut gelak tawa keluarga.
Lastrapun hanya mencebik mendengar ucapan Hans, malas menanggapi.
“Pulang sama siapa Last?” Celetuk Bunda Rosa.
“Sama Abang ojol bund, Lastra pamit ya, makasih bungkusanya.” Lastra tersenyum manis, memeperlihatkan deretan gigi yang tersembunyi di balik bibir mungilnya.
Nyonya Andreas yang mendengarnya langsung menyela.
“Last, diantar Zio aja ya?" Nyonya Andreas lalu menoleh pada anaknya. "Zio! tolong antar Lastra pulang ya!”
Raut wajah Lastra berubah datar seketika mendengar kalimat Nyonya Andreas yang meminta Zio untuk mengantarkan pulang.
“Eh gak usah Nyonya, saya sudah pesen ojol, ni Abangnya sudah di depan.” Sambar Lastra sambil memperlihatkan ponsel yang digenggamnya sekilas kepada nyonya Andreas.
Zio dengan wajah datarnya tersenyum tipis melihat Lastra, dan langsung berdiri tanpa kata meninggalkan ruang keluarga dimana Lastra masih berpamitan dengan keluarga Hans.
Tak lama kemudian Zio kembali ke dalam ruangan. “Ayo Last saya antar, ojolmu sudah saya suruh pergi barusan.” Ucap Zio cuek.
Lastra hanya bengong mendengarnya. Nyonya Andreas lantas menepuk bahunya pelan dan menyadarkannya. “Ayo Last! buruan!”.
Zio tidak langsung mengemudikan mobilnya saat Lastra sudah duduk dan memasang sabuk pengamannya. Ia hanya memandang Lastra lekat-lekat dan hal itu membuat Lastra salah tingkah sekaligus tidak nyaman.
“Pak Zio, kenapa liatin saya gitu?”
ZIo tidak langsung menjawab. Jemarinya kembali menyusuri rambut bergelombang Lastra yang hari ini hanya di ikat setengahnya. Lalu ia tersenyum, membuat wajahnya terlihat semakin tampan di hadapan Lastra. “Kamu cantik.” Celetuknya
Seketika itu juga, wajah Lastra merona dan Zio dengan cueknya langsung menginjak pedal gas, melajukan mobilnya untuk mengantar Lastra ke apartemen gadis itu. Tanpa mau tau bahwa ucapannya barusan, sudah membuat jantung Lastra berdetak begitu cepatnya.