Aku menekuri ujung jemariku, tanpa hiasan, tanpa warna dengan terpotong selalu pendek. Tidak ada satu pun perhiasan yang menghiasinya selain sebuah jam tangan seharga empat ratus ribu, yang kubeli saat sedang ada diskon ditanggal kembar. Aku bertahan menatap pada satu titik selama beberapa menit sampai tengkukku mulai terasa mengeluh pegal. Mengangkat kepala, aku menatap sekitar dan baru menyadari jika Athaar membawaku ke dekat lapangan bulu tangkis yang ada tidak jauh dari kontrakanku. Sejak dia tiba-tiba muncul saat aku sedang duduk depan minimarket, lalu tanpa permisi menarik tanganku begitu saja, membawaku pergi dengan alasannya ingin bicara. Entah pembicaraan apa yang akan ada antara kami, satu yang membuatku juga ikut membisu karena perasaan lelahku, ditambah harus menghadapinya,