17. Tidak Tau Diri

1146 Kata
Seorang pria tampan keluar dari mobil seraya mengancingkan jas hitam yang membalut tubuhnya, pria itu tersenyum cerah menatap perusahaan tempatnya melakukan ritual ngepet. “Ahh … senangnya mendapatkan semua yang diimpikan,” ujar Arsel dengan senang. “Harta, Tahta, Sayang Ara,” tambah Arsel lagi. Kali ini mood Arsel melonjak naik karena tanpa bertengkar Ara mau diantar ke sekolah. Sayangnya Arsel tidak bertemu si gentong, jadi tidak bisa bertanya tentang kegiatan Ara. Kendati demikian Arsel tetap senang. Aranya berubah menjadi gadis penurut. “Pak, cepet jalan!” titah Dani yang berdiri di samping Arsel. “Jalan ke pelaminan?” tanya Arsel tanpa menatap Dani. “Bukan, jalan ke neraka j*****m,” jawab Dani. Arsel langsung menatap asisten pribadinya. “Sembarangan kalau ngomong. Cowok soleh alhamdulillah kayak aku ini, cocoknya masuk surga,” seloroh Arsel. “Masuk surga? Heh, Pak. Anda itu sudah mendzolimi adik sendiri. Bayangkan saja kalian tumbuh bersama menjadi adik kakak, lalu Pak Arsel mau menikahi adik sendiri. Tidak kah semuanya menjadi canggung?” tanya Dani bertubi-tubi. “Dan yang Bapak lakukan itu sudah diluar nalar,” tambah Dani. Sungguh Dani merasa kesal dengan Arsel yang menceritakan bahwa pria itu menggoda Ara dengan memasukkan kartu atm ke saku atas Ara. Sebagai laki-laki sejati dan bertanggung jawab Dani sangat tidak suka mendengar ucapan Arsel. “Apa yang diluar nalar?” tanya Arsel. “Ya jelas kelakuan Pak Arsel. Memasukkan kartu ATM ke saku atas seorang cewek sama saja menghina,” seloroh Dani. Arsel tersenyum sinting, Dani tidak tau saja kalau Arsel sering diam-diam masuk ke kamar Ara. Arsel menyukai Ara sejak dia remaja, tetapi semua perasaannya dia alihkan untuk menyayangi Ara sebagai adik, hingga dia memutuskan pacaran dengan Wulan lalu kebablasan suka dengan perempuan itu. Namun, seberapa suka dia dengan Wulan, dan seberapa kesal dia ditinggal kawin, tetapi Arsel tetap sayangnya sama Ara. “Cepatlah masuk sebelum orang-orang mengira Anda stres!” sentak Dani. Arsel langsung berjalan menuju ke lobi, perasaannya masih sangat baik. Hingga seorang perempuan menghadang Arsel. “Hai!” sapa perempuan itu dengan ramah. Arsel berjalan ke kanan tidak ingin menanggapi perempuan itu. Namun, saat Arsel berjalan ke kanan, perempuan itu juga ikut ke kanan. Saat ke kiri, perempuan itu juga ke kiri. “Apa sih maumu, Wul?” tanya Arsel. “Aku mau melamar kerja di sini,” jawab Wulan. “Tidak ada lowongan,” jawab Arsel. “Tolong, Arsel. Aku tidak punya penghasilan apa-apa. Aku mau kerja di sini,” rengek Wulan. “Dari banyaknya tempat kerja yang membuka lowongan. Kenapa kamu malah memaksa kerja di sini?” tanya Dani yang kini mengambil alih. “Aku … aku —-” “Oka-aku, di sini bukan tempatnya orang yang loadingnya lama. Cepat minggat!” titah Dani. Wulan menatap Dani dan Arsel bergantian, “Arsel, hanya kamu yang bisa menolongku. Lihat pipiku, tanganku, bahkan leherku. Semua ini kekerasan dari suamiku. Kalau aku tidak mendapatkan penghasilan yang banyak, aku tidak—” “Terserah kamu saja. Kasih suratnya ke Dani!” sentak Arsel mendorong pelan tubuh Wulan dan bergegas pergi. Arsel tidak mau Ara salah paham lagi kalau dia dekat dengan Wulan. Perkara makan saja Ara mendiamkannya sangat lama. “Arsel, tunggu!” pinta Wulan ingin mengejar Arsel. Dengan cepat Dani memegang tangan Wulan agar tidak menyusul Arsel. “Aku tidak ada urusan denganmu!” desis Wulan menatap Dani dengan tajam. “Aku juga malas berurusan dengan gadis busuk sepertimu,” jawab Dani. “Tapi karena bosku minta surat lamaran diberikan padaku, jadi mau tidak mau aku harus berurusan denganmu,” tambah Dani mengambil alih map yang dibawa oleh Wulan. Pria itu membuka map dan membaca beberapa lembar kertas di sana. Ada surat lamaran kerja, cv dan portofolio. “Baiklah, kamu diterima,” ujar Dani. “Diterima jadi sekretaris?” tanya Wulan dengan binar kebahagiaan., “Iya, terus kamu selingkuh sama CEO. Melakukan one night stand lalu kamu dinikahi dan hidup bahagia setelahnya? Halu, Wul. Halu!” maki Dani bertubi-tubi. “Hidup kok penuh halu. Sana ke belakang, kamu diterima jadi petugas kebersihan,” tambah Dani. Wulan tercekat mendengar ucapan Dani, “Mana bisa begitu?” tanya Wulan tidak terima. “Ya bisa. Kamu mau kerja apa enggak? Kalau mau kerja jadi petugas kebersihan, kalau kamu gak mau kerja, ya sana pulang!” sentak Dani yang tidak ada sabar-sabarnya sama sekali. “Tapi—” “Putuskan dalam tiga detik!” titah Dani. “Ya ya … baiklah. Aku mau,” seloroh Wulan yang takut diusir dari perusahaan ini. Tidak apa-apa menjadi tenaga kebersihan, yang penting dia bisa dekat dengan Arsel. “Apa yang aku miliki sebelumnya harus kembali lagi padaku,” batin Wulan. Di jam sepuluh siang, Ara sudah pulang dari mengajarnya. Guru yang sudah diangkat menjadi PNS ada rapat, sedangkan dia yang menjadi guru magang dipersilahkan pulang. Bukannya pulang, saat ini Ara dan Pak Aksa sedang berjalan-jalan di sebuah mall. Aksa tidak ikut rapat, pria itu memaksa Ara untuk mengikutinya. “Pak, sebenarnya kenapa kita ke mall? Saya tidak ingin beli apa-apa,” tanya Ara yang kini canggung. “Jangan terlalu formal, Ara. Panggil saja nama atau ‘Mas,” jawab Aksa. “Oh iya, aku mengajakmu ke sini untuk membantuku membelikan hadiah untuk orang tuaku. Hari ini mereka merayakan anniversary pernikahan,” jelas Aksa. Ara mengangguk, perempuan itu menatap baju-baju yang bagus. Ara tertarik dengan gaun simpel berwarna ungu, dengan iseng perempuan itu melihat tax harga. Ara langsung melepaskan tangannya dari baju itu saat harganya lebih mahal dari gaji guru. “Kenapa, Ara? Kamu suka?” tanya Aksa. “Eh, enggak. Pak. Aku guru magang, mana bisa beli baju seperti itu. Gaji saja tiga bulan sekali,” jawab Ara. “Aku belikan untukmu,” ujar Aksa. “Tidak perlu!” tolak Ara menggeleng. “Tidak apa-apa. Aku tetap membelikan untukmu,” ujar Aksa lagi dengan kukuh. Pria itu mengambil baju yang tadi dipegang Ara dan memberikan kepada pramuniaga. “Wah, kaya banget Pak Aksa,” batin Ara. “Kamu mau beli apa lagi, Ara?” tanya Aksa. “Pak, kita kesini untuk membelikan hadiah orang tua Pak Aksa,” kata Ara. “Tidak apa-apa kalau kamu mau lagi. Aku bisa membelikannya untukmu,” tambah Aksa. “Bu– bukankah kita sama-sama guru magang ya?” tanya Ara kikuk takut membuat Aksa tersindir. Aksa hanya tersenyum, memang dia guru magang, tetapi dia juga pengusaha. Tentu saja bukan perintis, melainkan pewaris. Hanya meneruskan usaha Ayahnya dan kini uangnya sudah banyak untuk caper dengan Ara. Karena tidak mau dibelikan apapun lagi dengan Aksa, Ara segera memilihkan hadiah yang cocok untuk orang tua Aksa yang dia sendiri belum pernah ketemu. “Bagaimana kalau hadiahnya ini saja? Baju couple untuk orang tua. Mereka pasti senang,” ujar Ara dengan asal. “Seleramu sama seperti ibuku, ungu muda,” ucap Aksa seraya tersenyum. Ara mengangguk dan mengambilkan baju itu untuk Aksa. “Ara, nanti ikut aku temui orang tuaku ya, aku mohon!” pinta Aksa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN