“Bagus, Wulan. Semakin hari kamu semakin menjadi. Tadi aku tau kalau kamu membuat sarapan saat pagi, tapi apa? Sarapan itu tidak kamu berikan padaku,” seloroh Vino yang kini menatap Wulan tajam.
Wulan tidak peduli ditatap oleh suaminya, pun dengan dirinya yang malah asik mainan hp. Wulan tengah memulihkan foto-foto kenangannya dengan Arsel saat dulu mereka pacaran.
“Buat siapa sarapan itu?” tanya Vino. Wulan tetap tidak menjawab apa-apa.
“Wulan, aku tengah bicara sama kamu!” sentak Vino menarik tangan Wulan hingga perempuan itu berdiri.
“Apa sih, Vino? Urusanmu apa sama sarapanku, hah?” tanya Wulan tidak suka.
“Kamu jadi istri durjana banget ya. Suami gak dimasakin buat sarapan, sekarang pulang pun kamu juga tidak membuatkanku apa-apa,” seloroh Vino.
“Kamu pernah intropeksi diri gak sih? Kamu gak kasih aku uang!” sentak Wulan.
“Ya tidak semua pekerjaan rame terus, Wulan. Kemarin aku sepi, nih sekarang aku ramai. Duit buat kamu,” ujar Vino menunjukkan uang tiga ratus ribu kepada Wulan.
“Vino, sekarang uang tiga ratus ribu bisa buat beli apa? Skincareku saja tidak cukup, Vino,” kata Wulan.
Vino mengacak rambutnya frustasi, rasanya Vino kesal setengah mati dengan istrinya. “Manusia macam apa yang dijodohkan sama aku,” maki Vino kesal.
“Aku juga tidak mau,” kata Wulan.
“Kamu sekarang bilang tidak mau. Tapi kemarin saat kita pertama menikah, siapa yang lebih bucin? Bahkan saat kita baru dikenalkan, kamu masih pacaran sama Arsel, kamu selalu menungguku di bengkel. Sekarang mulutmu bilang tidak mau. Munafik,” maki Vino bertubi-tubi.
“Aku pikir kamu punya segalanya dengan usaha kamu sendiri, tapi nyatanya kamu gak punya apa-apa!” hardik Wulan ditutup dengan suara tamparan yang sangat kencang.
Tubuh Wulan terhuyung sampai terduduk lagi di sofa. Perempuan itu merasa pipinya teramat panas karena tamparan suaminya. Belum juga Wulan sembuh dari terkejutnya, ini pipinya sudah dicengkram oleh Vino.
“Jangan karena aku hanya berpenghasilan kecil kamu bisa sesukamu, Wulan. Asal kamu tau, kamu juga beban banget di hidupku!” desis Vino semakin kencang mencengkram dagu Wulan sampai Wulan kesakitan.
“Ahhh … lepasin!” pinta Wulan. Semakin Wulan meminta melepaskan cengkraman tangan Vino, semakin pula Vino mengencangkan cengkramannya.
“Akhhhh!” Wulan semakin memekik kesakitan.
Wulan sering adu mulut dengan suaminya, dan kali ini suaminya melakukan kekerasan fisik. Vino yang sudah kalap dengan istrinya pun hanya ingin melukai sang istri. Vino melucuti pakaian istrinya dengan cepat dan memposisikan dirinya untuk berhubungan dengan Wulan. Tidak peduli kalau Wulan berteriak dan memberontak, Vino tetap memaksa istrinya. Bahkan Vino tidak mau repot-repot pindah ke kamar, pria itu melakukannya di sofa.
Suara desahan penuh kesakitan kini terdengar dari bibir Wulan. Air mata menetes membasahi wajah perempuan itu. Salah besar kalau Wulan meremehkan Vino. Bagaimanapun seorang laki-laki sangat mudah terluka harga dirinya. Sekarang mau Wulan menangis seperti apapun itu tidak membuat Vino iba dengannya.
Di sisi lain, Ara melakukan silent treatment kepada Arsel. Sejak kepulangan Asel, Ara memilih menonton tv seraya memeluk bantal sofa dengan erat. Arsel yang bingung dengan Ara pun hanya bisa duduk diam. Ara juga tidak memasak makanan apapun, padahal dia sudah percaya diri bahwa Ara memasak untuknya. Sedangkan Dani yang tidak mau disuruh ke Surabaya dengan cepat memilih pulang.
“Ara,” panggil Arsel.
Ara tidak menjawab, cewek itu terus menatap ke televisi. “Ara, aku janji kalau ke Surabaya, aku bawain kamu lapis kukus Surabaya,” ujar Arsel.
Ara tetap tidak mau menjawab, cewek itu kesal dengan kotak makan bertuliskan Arsel Wulan forever.
“Assalamualaikum.” Suara seorang laki-laki dan perempuan terdengar. Arsel menjawab salam orang tuanya dan mempersilahkan masuk.
“Apa perempuan itu sudah pulang?” tanya Joda kepada Arsel dengan sewot. Arsel mengangguk, Joda bernapas lega karena tidak melihat Wulan.
“Ara, Ibu belikan kamu makanan. Kamu suka kan bebek bumbu hitam. Nih makan.” Joda menghampiri anak perempuannya yang kini terlihat cemberut.
Ara membuka bibirnya tanpa mau disuapi oleh Joda. Joda segera membuka bebek hitam yang sudah ada nasinya, saat perempuan itu ingin menyuapi Ara. Bebeknya diambil alih oleh Arsel.
“Biar aku yang suapin,” ucap Arsel.
Bibir Ara dengan cepat langsung tertutup karena tidak mau disuapi oleh Kakaknya. “Ara, jangan gitu! Aku mau menyuapi kamu,” rengek Arsel.
“Irsil Wilin Firivir,” ejek Ara membuat Arsel, Arman dan Joda mengerutkan dahinya bingung.
“Apa maksudmu?” tanya Arel.
“Irsil Wilin Firivir tirkiwir-kiwir,” ejek Ara lagi sambil menjulurkan lidahnya.
Arsel pun mengingat sebuah kotak makan yang bertuliskan Arsel Wulan Forever. “Oh … kamu marah gara-gara kotak makan itu?” tanya Arsel kepada adiknya.
“Kotak makan itu memang dari Wulan, tadi dia memberiku saat kami bertemu di lampu merah–”
“Oh begitu ya. Sama mantan belum move on, sok-sokan deketin aku. Sampai lampu merah pun dijadikan kesempatan untuk memberikan bekal,” oceh Ara menghentikan ucapan Arsel.
“Bukan begitu, Ara. Aku saja gak memakan bekal dari wulan,” elak Arsel.
“Gak dimakan tapi dibawa ke—”
“Iya cuma kebawa saja, tapi sampai basi gak aku makan. Makanan terenak selain masakan Ibuku itu masakan kamu,” jelas Arsel menyela ucapan Arsel.
Tiba-tiba Arsel tersenyum sinting, “Ciee cemburu … cieee ….” Arsel mencolek-colek dagu Ara. Ara menepis tangan Kakaknya dengan cepat.
“Cemburu ya? Mas cuma milikmu kok. Ayo kita nikah!” ajak Arsel.
“Gak,” jawab Ara.
“Ara, kalau kamu mau tinggal di sini, pilihannya hanya tiga. Pertama kamu menikah denganku, kedua aku menikah dengamu dan ketiga kita menikah,” ujar Arsel seraya berdiri tepat di depan Ara membuat Ara tidak bisa melihat ke arah televisi.
“Ya itu sama saja!” pekik Joda dan Arman bersamaan.
Ara mendorong tubuh Arsel agar tidak di hadapannya. Tetapi Arsel malah duduk di sampingnya, “Ayo, Ara! Cepat pilih, kamu mau pilih yang pertama, kedua atau ketiga?” tanya Arsel.
“Memilih ke empat menikah dengan cowok lain,” ketus Ara.
“Jangan harap kaki dan tangan cowok itu utuh kalau berani menikahimu,” ancam Arsel.
Ara yang kesal pun menggigit tangan Kakaknya dengan kencang sampai Arsel mengaduh kesakitan. "Ara, kalau gigit jangan tangan! Di sini saja lebih enak!" pekik Arsel menunjuk dadanya. Bukannya menggigit d**a Arsel, Ara malah meninjunya dengan kencang.