15. Ternista

1125 Kata
Setengah hari ini Ara sangat tidak jenak mengajar, pasalnya ada satu bocah yang dijanjikan banyak jajan oleh Arsel. Dan bocah si suka makan itu terus menatapnya seolah mengawasinya dengan benar. Ara bergerak ke kanan, mata Alfath ikut gerak ke kanan, Ara bergerak ke kiri, mata Alfath juga ke kiri. “Alfath, fokus dengan pelajaran!” pinta Ara. “Sudah fokus, Bu,” jawab Alfath. “Sejak tadi saya menjelaskan kamu hanya fokus ke saya, tidak fokus ke papan tulis,” ujar Ara. “Aku fokus dua-duanya kok,” jawab Alfath. “Di kata kerja dan di kata tempat harus dibedakan. Di kata kerja harus disambung, sedangkan di kata tempat harus dipisah. Contohnya disapu, karena kata kerja maka penggunaan katanya disambung, sedangkan di Yogyakarta kata tempat harus dipisah,” jelas Alfath bertubi-tubi sebelum diminta menjelaskan. Kalau soal kepintaran, Alfath memang tidak pantas diragukan. Bocah itu mengerti dengan jelas apapun yang dijelaskan guru meski bocah itu tampak tidak mendengarkan. “Ya, baiklah,” jawab Ara akhirnya. “Hadiahnya mana, Bu?” tanya Alfath. “Hah? Hadiah apa?” tanya Ara bingung. “Biasanya Bu Ara kalau memberikan pertanyaan pada anak-anak, Bu Ara juga memberikan hadiah jajan. Aku juga mau hadiahku!” pekik Alfath. Ara menepuk keningnya, dia lupa kalau jajanan ringannya habis, jadi hari ini dia tidak membawa. “Hadiahmu besok,” jawab Ara. Alfath mengangguk, yang penting mendapatkan hadiah. Hingga, saat istirahat anak-anak kelas dua berhamburan keluar kelas. Ada yang menuju ke kantin, ada juga yang main di lapangan. Anak-anak memang kebanyakan tidak betah di dalam kelas, sama halnya Alfath yang sangat tidak betah. Di kelas pun Alfath ingin cepat berlari ke kantin, tetapi kali ini ada yang berbeda dari si bocah sesat itu. “Alfath, kenapa kamu tidak ke kantin?” tanya Ara. “Males,” jawab Alfath. Seorang pria memasuki kelas dua seraya tersenyum, “Selamat pagi, Bu Ara,” sapa Pak Aksa dengan senyum yang mengembang di bibirnya. “Selamat pagi juga, Pak,” jawab Ara yang tampak malu-malu. Alfath terus mengawasi gerak-gerik kedua guru itu. Demi makanan yang banyak, Alfath harus menjalankan tugasnya dengan benar. “Bu Ara tampak cantik hari ini,” goda Pak Aksa mendekati Ara. “Woyyyy!” Alfath berteriak nyaring mmbuat Ara dan Aksa tersentak. “Alfath, kenapa kamu berteriak?” tanya Ara panik. Alfath berdiri dari duduknya, bocah itu segera menghampiri Bu Ara dan mendorong Aksa agar menjauh. Aksa bingung dengan polah bocah itu. “Alfath, gak boleh dorong-dorong. Tidak sopan!” tegur Ara. Alfath tidak menjawab, bocah itu memeluk lengan Ara dengan erat membuat Aksa iri, pria itu juga ingin melakukannya. Hingga suara perut keroncongan berbunyi. Ara tertawa kecil karena malu perutnya bunyi. “Bu Ara, ayo ke kantin. Aku yang traktir makan!” ajak Aksa. “Idih si caper,” ejek Alfath kepada Aksa. “Kenapa sih ni anak?” tanya Aksa dalam hati. Tidak biasanya si Alfath julid kepada dirinya. Suara ketukan pintu terdengar membuat ketiga orang itu menoleh. “Permisi, ada paket makanan untuk Bu Ara,” ujar pria yang memakai jaket khas pengantar makanan. Ara mengerutkan dahinya karena merasa tidak pesan makanan apa-apa, kendati demikian gadis itu menyuruh masuk sang pengantar makanan. “Selamat pagi, untuk Bu Ara dapat paket sarapan. Silahkan, Bu!” pengantar makanan itu memberikan dua kantong plastik. Setelah pengantar makanan pamit, Ara membukanya. Sebuah kertas ada di atas tempat makan, Ara mengambilnya. “Maafkan tadi masakan Mas gak enak. Sekarang nikmati sarapannya, dari Mas Arsel tersayangnya Ara.” Ara tercekat membaca secarik kertas itu, perempuan itu meremasnya dengan pelan. Sekarang Ara tidak tau harus berekspresi seperti apa, tetapi diam-diam pipi Ara memanas karena perlakuan manis Masnya. Di sisi lain Arsel dan Dani sampai di Surabaya, mereka segera mengecek proyek pembangunan restoran bintang lima yang target selesai bulan depan. Banyak proyek yang dibangun Arsel di Surabaya, membuatnya dan Dani harus mengecek satu persatu. “Dani, bagaimana pesanan sarapan untuk Ara?” tanya Arsel. “Sudah beres, Pak,” jawab Dani. Arsel mengangguk, mereka melanjutkan mengecek proyek hingga selesai pukul tiga sore. Arsel merenggangkan otot tubuhnya yang terasa kaku sambil keluar dari bangunan yang setengah jadi. “Pak, mau dipesankan hotel sekarang? Saya sudah melihat ada empat hotel berbintang yang masih ada. Pak Arsel bisa istirahat di sana,” ujar Dani. “Kita langsung pulang,” jawab Arsel membuat Dani membulatkan matanya. “A– apa? Langsung pulang?” tanya Dani meyakinkan dirinya bahwa tidak salah mendengar. “Iya. Aku sudah merindukan Ara,” jawab Arsel. “Yang benar saja, Pak! Kita dari Yogyakarta ke Surabaya membutuhkan waktu tiga jam setengah. Lalu tanpa istirahat kita langsung meninjau dari satu proyek ke proyek lainnya. Dan belum selesai menghirup napas segar, Pak Arsel mengajak kembali ke Yogyakarta?” oceh Dani bertubi-tubi. “Kamu kan personal asisten, ya tugasnya dua puluh empat jam. Ayo jalan!” ajak Arsel. “Akhhhhh!” Dani menjambak rambutnya frustasi. Kaki Dani masih gemetar karena jalan gak berhenti-henti, dan sekarang harus nyetir selama tiga jam lagi. “Kalau kamu gak mau nyetir, saya saja yang nyetir.” Arsel merebut kunci mobil di tangan Dani dan menuju mobilnya. Dani merasa bosnya sangat durjana hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa memikirkan betapa capeknya dia. Kini mau tidak mau pun Dani harus pulang bersama Arsel. Perjalanan jauh kembali mereka tempuh. Biasanya kalau keluar kota, Arsel memilih menginap di hotel sekalian memanjakan diri di pemandian air hangat, tetapi kali ini Arsel tetap nekat kembali. Tadi Arsel bilang kalau dia yang menyetir, tetapi setelah satu jam menyetir cowok itu tidak betah dan menyuruh Dani yang melanjutkan. Berangkat dari Surabaya, mereka sampai ke Yogyakarta setengah tujuh malam. Sesampainya di rumah, Arsel segera turun dari mobilnya dengan senyum yang mengembang. “Dani, ayo mampir dulu! Sekalian kamu makan malam di sini, pasti Ara sudah masak yang enak-enak!” ajak Arsel. Dani menyeret langkahnya mengikuti Arsel. Sebelum Arsel membuka pintu rumahnya, Ara sudah membukanya. Senyum di bibir Arsel semakin mengembang karena dia bagai suami yang datang disambut istri. “Ara, aku pulang!” pekik Arsel merentangkan tangannya bersiap dipeluk Ara. “Mas kan dari Surabaya, mana oleh-olehnya?” tanya Ara. Arsel gelagapan mendengar ucapan sang adik. “Mas, aku pengen lapis legit khas Surabaya. Pengen brownies kukus, pengen—” “Dani, ayo kembali ke Surabaya untuk beli makanan kesukaan Ara!” ajak Arsel kepada Dani menyela ucapan Ara. Dani memelototkan matanya. “Akhhhhh!” Seketika Dani berteriak sekencang-kencangnya untuk melampiaskan emosi. Kalau boleh memilih Dani ingin Arsel tetap menganggap Ara sebagai adiknya, karena saat Arsel menganggap Ara calon istrinya, kebucinan Arsel membuat Dani ternista. “Masak beneran gak bawa oleh-oleh sih, Mas? Aku cek mobilmu coba.” Ara menuju ke mobil Kakaknya, saat membuka pintu dia menemukan kotak makan berwarna kuning. Ara mengambilnya, tulisan kecil membuat Ara menatap nyalang benda itu. “Wulan Arsel forever.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN