14. Siapa Yang Takut?

1443 Kata
Pagi-pagi sekali Arsel sudah bangun untuk memasak di dapur. Cowok itu ingin menyenangkan hati Ara agar Ara semakin luluh dan mau diajak menikah. Arsel sudah memasak nasi di rice cooker. Sumpah demi apapun, Arsel sangat canggung saat memasak sendiri. Selama ini dia memang anak manja, sebelum Ibunya tinggal di luar negeri, Ibunya lah yang selalu memasak untuknya. Saat Ibunya tinggal sendiri, Ara yang selalu memenuhi kebutuhan makan Arsel. Ara selalu bangun pagi untuk membuat sarapan, makan siang Arsel memilih beli dan makan malam pun Ara juga yang memasak. Ara menempatkan posisinya sebagai adik yang baik kepada Kakaknya. Namun, Arsel ingin menghempaskan hubungan adik itu. Mereka satu kartu keluarga, dulu permasalahan itulah yang membuat Arsel menekan perasaannya agar tidak suka dengan Ara. Karena dia dan Ara satu kartu keluarga sebagai saudara. Namun, sekarang Arsel akan melakukan berbagai cara agar Ara tetap satu kartu keluarga dengannya, tetapi dengan status dia kepala keluarga dan Ara adalah istrinya. Brak! Tang! Sreng! Suara-suara dari dapur membuat Ara mengucek matanya. Perempuan itu masih mengantuk meski sudah tidur sangat nyenyak. Ara menatap ke sekelilingnya, dia masih tidur di ranjang Kakaknya karena Kakaknya tidak mengijinkannya keluar. Dengan cepat Ara keluar kamar yang untung tidak dikunci oleh Kakaknya, langkah gadis cantik itu menuju ke dapur. “Mas!” panggil Ara saat hidungnya mencium bau gosong. “Aku di sini, Ra,” jawab Arsel setengah berteriak. “Kenapa di dapur? Awas saja kalau berantakin dapur!” pekik Ara Arsel membulatkan matanya, cowok itu langsung membereskan kekacauan yang dia buat. Panci, piring, mangkuk yang digunakan, Arsel lempar ke wastafel, cowok itu juga mengelap meja makan dengan cepat dan menata makanan-makanan yang sudah dia buat ke sana. Tepat setelah selesai membereskan kekacauan, Ara memasuki dapur. “Tara … makanan sudah siap!” pekik Arsel menunjuk makanan di meja. Ara menatap makanan itu. Ada oseng kangkung yang terlihat sangat hijau, ada tempe yang terlihat matang sempurna, ayam bumbu tidak tau, bakwan jagung dan lain-lain. “Bangun jam berapa Mas kok sudah matang semuanya?” tanya Ara. “Setelah solat subuh langsung ke dapur,” jawab Arsel. Ara menatap ke wastafel. Saat melihat arah pandang Ara, buru-buru Arsel memegang kepala Ara dan mengarahkan ke meja makan. “Yang itu makanannya,” ujar Arsel. “Di wastafel kenapa—” “Gak ada apa-apa dan gak ada yang kenapa-napa di wastafel,” sela Arsel cepat kembali mengarahkan kepala Ara ke meja. Cowok itu juga menuntun Ara ke meja makan yang posisinya membelakangi wastafel. Arsel tidak mau Ara ngamuk setelah kekacauan yang dia buat. “Nih makanannya, aku ambilin khusus untuk kamu,” ucap Arsel menuangkan satu persatu lauk ke piring. “Tapi aku mau ke wastafel cuci tangan,” kata Ara. Arsel menuju wastafel dan mengambil air di mangkuk, setelahnya cowok itu menghampiri Ara lagi. “Ini, cuci tangan di sini!” titah Arsel pada adiknya. Ara merasa ada yang aneh dengan kakaknya, gadis itu juga merasa dapurnya sudah diobrak-abrik. Arsel yang panik pun mengambil makanan yang sudah dia siapkan. “Nih, makan! Biar aku yang menyuapi kamu.” Arsel menyuapkan makanannya dengan paksa ke bibir Ara. “Hmpphhh—” Ara membulatkan matanya saat merasakan masakan Arsel sama sekali tidak enak. Ara menepis tangan Arsel yang terus memaksa menyuapinya, gadis itu berlari ke tempat sampah dan memuntahkan makanan Arsel. “Masakan apa yang Mas masak?” tanya Ara dengan kesal. “Loh, tadi aku merasa makanan ini sudah enak banget,” ujar Arsel. “Enak apanya? Makanan itu dikasih ke ayam saja belum tentu mau makan,” seloroh Ara. “Itu juga kenapa dapurku jadi berantakan?” pekik Ara kencang saat dia melihat penampakan dapurnya yang sangat berantakan. “Ini gak berantakan. Ini bersih,” ucap Arsel. Hidung Ara kembang kempis mendengar ucapan Arsel. Jelas-jelas keadaan dapurnya sangat berantakan dan Kakaknya bilang kalau itu bersih. Arsel yang melihat sebentar lagi ada singa betina ngamuk pun segera menuju ke wastafel, “Iya, ini aku cuci,” kata Arsel segera mencuci piring, panci dan spatula yang menumpuk. “Itu lantainya juga jangan lupa beresin!” sentak Ara yang memerintah seenaknya. “Iya nanti dipel,” jawab Arsel yang dengan cepat mencuci piring. Seumur-umur Arsel tidak pernah mencuci piring, pokoknya yang Arsel tau cuma makan perut kenyang. Dan sekarang Arsel harus mencuci piring, sesekali piring itu akan terjatuh karena licin. “Kalau cuci piring tuh yang bener, Mas. Jangan bau sabun begini!” sentak Ara saat mencium piring masih bau sabun. “Kalau bau cinta kan kita berdua,” kata Arsel. “Gak usah bercanda!” sentak Ara lagi membuat Arsel kicep. Arsel bagai suami-suami takut istri, kini apapun yang dikatakan oleh Ara, Arsel melakukannya. Di depan pintu dapur, sejak tadi pria berpakaian rapi dengan jas hitam yang membalut di tubuhnya berdiri di sana. “Wah wah wah … sekalian dong, cuci piring rumahku,” ujar pria itu. Arsel menoleh, pria itu menatap Dani, asisten pribadinya. “Kenapa kamu kesini?” tanya Arsel sewot. “Melihat suami takut istri,” jawab Dani. “Siapa yang takut? Aku gak takut sama sekali. Nanti kalau aku menikah, pokok istri yang harus menurut dengan semua perintahku,” seloroh Arsel yang tidak mau harga dirinya dilukai. “Mas, itu kalau sudah selesai dicuci ya dikeringin!” pekik Ara membentak “Iya ini dikeringin,” jawab Arsel yang nyatanya takut dengan Ara. Begitu Arsel sok-sokan tidak takut. “Hahahaha ….” Dani tertawa terbahak-bahak melihat Arsel. Sungguh Arsel kesal setengah mati, kalau saja ini bukan demi Ara, Arsel tidak mau melakukan hal itu. “Ara, sudah selesai. Kamu bersiap gih nanti aku antar ke sekolah sebelum aku ke kantor,” ucap Arsel. Ara segera pergi dari dapur dengan perut yang lapar. Andai saja dia masak sendiri, sudah pasti dia kenyang. Dani menatap punggung Ara yang menjauh. “Kenapa sih Pak Arsel obsesi ke Ara?” tanya Dani. Arsel tidak menjawab, cowok itu segera mencuci tangannya. “Bagaimana proyek kita yang ada di Surabaya?” tanya Arsel. “Hanya ada masalah sedikit, makanya saya ke sini untuk menjemput Pak Arsel. Kita harus cepat berangkat,” jelas Dani. Arsel mengangguk dan segera ke kamarnya untuk bersiap-siap. Setelah beberapa saat Arsel dan Ara sudah siap dengan baju kerja masing-masing. Arsel menarik tangan Ara untuk ikut ke mobilnya. Sedangkan Dani segera duduk di bangku kemudi. “Mas, sebenarnya aku bisa berangkat sendiri,” ucap Ara. “Kan aku sudah bilang kalau kemana pun kamu pergi, kamu harus sama aku,” jawab Arsel duduk di samping Ara. Dani menjalankan mobilnya, mata pria itu menatap ke kaca tengah dimana dia bisa melihat Arsel sangat merapatkan tubuhnya pada Ara, padahal tempat masih luas. Tidak berapa lama mereka sampai di sekolah Ara, buru-buru Ara turun karena dia tidak betah berdekatan dengan Arsel. Saat Ara mau kabur, Arsel juga ikut keluar mobil dan memegang tangan Ara. “Ara, masih ingat kan apa yang gak boleh kamu lakukan?” tanya Arsel. Ara diam saja karena enggan menjawab. “Baiklah biar aku ulangi lagi. Kamu gak boleh kabur, gak boleh minggat, gak boleh deket sama Aksa atau guru pria lainnya. Pulang ngajar harus langsung pulang. Hari ini aku tidak bisa jemput kamu karena aku mau ke Surabaya,” jelas Arsel bertubi-tubi. “Nyinyinyinyi.” Ara mencebik-cebikan bibirnya. Arsel menatap bocah gembul yang baru turun dari mobil. “Alfath!” panggil Arsel menyuruh Alfath mendekat. “Waah, bau jajan nih,” kata Alfath dengan senang menghampiri Arsel. “Siap menghadap, Om,” jawab Alfath. “Alfath, kamu bantu Om jaga Bu Ara. Kalau dia deket-deket sama guru cowok, laporin ke Om. Kalau dia kabur, lapor juga ke Om. Nanti Om kasih imbalan jajan yang buanyak,” ucap Arsel. “Siap, Om,” jawab Alfath bertambah senang. “Gak yang tua, gak yang bocah, sama-sama sesat!” maki Ara segera kabur memasuki gerbang sekolahnya meninggalkan Arsel dan Alfath. Padahal mereka itu penculik dan korban, tetapi kenapa sekarang bisa seakrab ini? Arsel tersenyum manis menatap punggung Ara yang menjauh, hingga senyumnya hilang setelah mendapat teriakan dari Dani. “Cepat masuk mobil, Pak!” sentak Dani. Arsel pun segera naik ke mobil, cowok itu membuka kaca mobilnya untuk menikmati suasana pagi. Hingga mereka harus berhenti di lampu merah, Arsel menoleh ke kanan, bertepatan dengan itu dia melihat Wulan yang tengah naik motor sendiri, pun dengan Wulan yang menatap Arsel. “Arsel, kebetulan sekali kita ketemu. Aku mau ke kantor kamu,” ucap Wulan dengan senang. “Tapi aku gak mau ke kantor,” jawab Arsel. “Ada kerjaan di luar ya? Kalau begitu bekalnya aku kasih di sini saja. Nih buat kamu!” Wulan menarik tas kecil yang dia gantungkan ke motor, perempuan itu memberikannya pada Arsel. “Semoga kamu suka,” ujar Wulan lagi seraya menampilkan senyum semanis mungkin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN