Arsel benar-benar b******n tengik, cowok itu tidak memperbolehkan Ara keluar sedikit pun dari kamarnya. Setelah makan, tangan Ara memang dilepaskan ikatannya, tetapi Arsel terus berada di sampingnya seolah mengawasinya.
“Mas, aku mau keluar,” ujar Ara.
“Keluarnya di dalam saja, enak,” jawab Arsel.
“Begini nih kalau sekolah tasnya di kelas orangnya di kantin, gak masuk otak blas pelajaran dari guru. Namanya keluar ya di luar, kalau masuk ya ke dalam,” seloroh Ara.
“Tidak semua diajarkan di sekolah, Ara. Sama kayak keluar di dalam, itu insting manusiawi dari lelaki,” jawab Arsel seraya tersenyum sinting.
Ara tidak menanggapi Masnya, cewek itu hanya diam saja sembari berpikir cara kabur dari sini. Pasalnya orang tuanya terlihat tidak ada di rumah membuat Ara tidak bisa meminta tolong mereka.
Arsel mengambil laptop yang ada di nakas, pria itu mengecek pekerjaannya. Saat membuka benda elektronik itu, banyak email masuk dari asisten pribadinya. Saat Arsel asik mengotak-atik laptopnya, diam-diam Ara menggeser tubuhnya. Ara ingin minggat dari samping Arsel.
“Pelan-pelan yang penting sampai pintu,” batin Ara yang masih menggeser tubuhnya dengan teramat pelan. Namun, Arsel bagai kelelawar yang bisa mendengar gerak meski sedikit saja.
“Jangan jauh-jauh, Ara!” pinta Arsel memegang tangan Ara.
“Apa sih, Mas. Pegang-pegang begini,” ketus Ara menepis tangan Arsel.
“Ini masih tangan loh yang aku pegang,” ucap Arsel.
“Jangan m***m-m***m deh, Mas! Mas gak menghargaiku banget jadi seorang laki-laki. Aku ini wanita, Mas harus memuliakan wanita sama kayak Mas memuliakan Ibu Mas,” jelas Ara bertubi-tubi.
“Aku sangat memuliakanmu, Ara. Kalau tidak, tidak mungkin aku membiarkanmu tinggal di rumah ini, tidak mungkin juga aku membiayai makanmu, transportasimu ke sekolah dan tidak mungkin saat ini aku memberimu satu kartu yang uangnya gak habis-habis,” jelas Arsel.
“Sejak kapan pin atm ini hari lahirku?” tanya Ara memicingkan matanya. Akhirnya pertanyaan itu lolos juga dari bibir Ara.
“Sejak dulu semua juga tanggal lahir kamu. Tiga kartu atm pinnya tanggal lahir kamu, brankas juga tanggal lahir kamu,” jawab Arsel.
Ara membulatkan matanya mendengar ucapan Arsel, “A .. apa? Brankas? Aku mau!” pekik Ara melompat turun dari ranjang dan bergegas menuju ke brankas Arsel.
Ara tau tempat itu karena dulu sering nyapu kamar Kakaknya sebelum dilarang. Arsel membulatkan matanya dan ikut berlari mengejar Ara.
“Ara, jangan!” pekik Arsel terus mengejar sang adik. Namun, adiknya lebih cepat, gadis itu membuka brankas dengan tanggal lahirnya hingga brankas itu terbuka.
Belum juga Ara melihat isinya, Arsel sudah menutup kembali. “Jangan yang ini!” pinta Arsel yang kini raut wajahnya sangat panik.
Ara menatap curiga kepada Kakaknya, “Waah, apa yang saat ini Kakak sembunyikan?” tanya Ara.
“Tidak ada apa-apa. Cepat pergi!” titah Arsel mendorong pelan tubuh adiknya.
“Tadi Mas gak bolehin aku pergi, sekarang aku gak mau pergi,” jawab Ara malah merapatkan tubuhnya pada Arsel.
“Tadi keadaannya di ranjang, jadi kita harus mepet-mepet. Sekarang keadaan berbeda, kamu pergi dulu!” pinta Arsel.
“Gak mau pergi, maunya di sini saja,” jawab Ara memeluk lengan Arsel.
Sungguh Arsel sangat senang saat dipeluk Ara, kalau pun mau peluk cium dan cipok manja, Arsel suka. Sayangnya ini bukan waktu yang tepat.
“Mas, jangan pelit-pelit jadi orang. Itu pasti isinya uang yang banyak dan emas batangan, aku mau dong secuil saja emasnya,” ucap Ara.
“Ara, Mas kasih semuanya sama kamu. Kalau kamu mau rumah ini, Mas akan berikan padamu, tapi tidak dengan isi di brankas ini,” jelas Arsel.
“Semakin Mas larang, semakin aku penasaran,” kata Ara.
Arsel menatap Ara dengan pandangan lekat, “Kamu beneran mau melihatnya?” tanya Arsel.
“Heem,” jawab Ara seraya tersenyum.
“Tapi janji dulu, kamu gak boleh bilang sama siapa-siapa!” pinta Arsel.
Ara menyodorkan jari kelingkingnya pada Arsel bertanda janji, pun dengan Arsel yang langsung menautkan jari kelingkingnya.
“Kamu juga gak boleh mual dan gak boleh berteriak kalau melihat apa-apa di sini,” ujar Arsel.
“Iya-iya, Mas. Jangan kelamaan!” pinta Ara.
“Kamu tau kan, Ara? Orang itu gak mudah berbisnis, pasti ada jatuh bangunnya, daripada untungnya, pasti di awal sangat rugi. Untuk antisipasi agar tidak rugi besar, manusia harus berusaha. Ada jalan lurus ada jalan bengkok, nah Mas ini tipe yang ingin semuanya intens. Mas pakai jalur bengkok. Selama ini Mas kan sering berbagi, salah satu yang makan makanan dari Mas ada yang jadi tumbal pesugihan,” bisik Arsel bertubi-tubi.
“Semua kepala tumbal-tumbal itu terkumpul jadi satu di sini. Silahkan melihat!” ucap Arsel yang kini membuka lagi brankasnya.
“Aaaaa!” Ara berteriak dan segera kabur dari sana.
“Ara, kamu bilang kamu mau melihat. Ini aku kasih lihat,” ujar Arsel setengah berteriak.
“Gak sudi,” jawab Ara segera menuju pintu kamar Arsel, sayangnya pintu itu terkunci membuat Ara tidak bisa keluar.
Ara terus mencari-cari kuncinya ke penjuru arah, tetapi tidak ada kunci sama sekali di sana. Hingga langkah kaki terdengar.
“Ara, mau kunci? Ini ambil sendiri!” titah Arsel.
“Dimana kuncinya?” tanya Ara.
“Di sini,” jawab Arsel menunjuk saku di celana boxer yang dia kenakan. Ara tercekat melihat itu, Kakaknya itu benar-benar berniat melecehkannya.
Mau melawan? Ara takut Kakaknya lebih nekat lagi. Sekarang yang bisa Ara lakukan adalah berjalan ke ranjang dan duduk manis di sana.
“Bagus anak manis. Duduk tenang sedangkan aku akan bekerja di sampingmu,” ucap Arsel kepada Ara.
“Kenapa gak ke kantor?” tanya Ara.
“Di kantor gak ada kamu, jadi gak semangat,” jawab Arsel.
Ara memilih merebahkan dirinya karena dia sangat mengantuk, perempuan itu juga menutup tubuhnya dengan selimut.
“Kalau Mas macam-macam, aku akan memotong sosis milik Mas,” ancam Ara kepada Arsel.
“Aw takut,” jawab Arsel menutup tubuh bawahnya dengan tangan. Hal itu malah membuat Ara semakin kesal, karena takutnya Arsel hanya main-main saja.
Ara memejamkan matanya dan menutupi kepalanya dengan selimut, tetapi dengan pelan selimut itu malah turun. “Jangan ditutup, nanti kamu kehabisan napas,” ujar Arsel.
“Bodo amat,” jawab Ara.
“Jangan begitu, Ara. Kalau kamu kehabisan napas, sama saja kamu membunuhku. Separuh napasku ada di kamu, kalau kamu gak punya napas, napasku juga berkurang,” oceh Arsel. Ara memukul bantal dengan kuat karena kesal dengan Arsel.
Arsel kembali menatap laptopnya untuk mengerjakan pekerjaannya. Sesekali Arsel menatap Ara yang sudah tertidur pulas. Sungguh Arsel ingin begini setiap hari, ada Ara di sampingnya yang membuatnya senang, meski setiap saat mereka juga bertengkar.
Setelah selesai dengan pekerjaannya, Arsel menuju lagi ke brankas dan membukanya. Di brankas itu penuh dengan foto-foto kecil seorang gadis yang sangat manis. Arsel mengambil satu foto, itu foto dirinya yang tengah menggendong Ara. Obsesi seorang laki-laki pada perempuan itu nyata. Tidak peduli sekuat apa Arsel menekan perasaannya pada Ara, tetapi perasaan itu tetap ada.
Bahkan Arsel juga mencoba pacaran dengan perempuan lain untuk mengalihkan rasa sukanya, tetapi kembali lagi perasaannya hanya pada Ara. Arsel mengusap foto itu seraya tertawa. Di sudut brankas juga ada kotak beludru yang sudah lama dia beli.
“Andai kamu bukan adik angkatku, pasti semuanya jauh lebih mudah,” batin Arsel.