Arsel membawa tubuh adiknya ke kamarnya, tidak lupa Arsel menutup pintu kamarnya dengan kaki. Ara masih memberontak karena wajah Kakaknya kali ini adalah wajah-wajah c***l.
“Mas, turunkan aku!” pekik Ara terus memberontak.
“Gak sabar banget jadi cewek. Ini Mas turunkan ke ranjang,” jawab Arsel.
Bulu kuduk Ara langsung merinding mendengar ucapan Kakaknya. Daripada melihat film horor, saat ini keadaan Ara jauh lebih horor.
Arsel menurunkan tubuh adiknya di ranjang, cowok itu juga mengukung tubuh adiknya agar tidak bisa kabur. “Ara, sejak semalam kemana saja kamu?” tanya Arsel mulai menginterogasi sang adik.
“Bukan urusanmu,” jawab Ara.
“Tentu saja urusanku. Kamu calon istriku!” sentak Arsel.
“Calon istri? Kamu gak salah, Mas? Ada Wulan di rumah ini, perempuan yang kamu cintai, yang selalu kamu bangga-banggakan dulu, selalu kamu—”
“Itu dulu, sekarang enggak,” sela Arsel.
“Aku hanya mau kamu jadi istriku. Jangan kabur-kaburan lagi, kalau ada apa-apa kamu bisa mengatakan padaku. Setiap masalah itu ada solusinya, Ara. Kita cari jalan tengahnya sama-sama. Kalau kamu minggat, namanya kamu mengambil jalan melenceng. Sesungguhnya melenceng itu gak baik, di kondisi malam pertama pun selalu memilih jalan tengah daripada samping,” oceh Arsel bertubi-tubi.
Ara membulatkan matanya mendengar ucapan Arsel, tidak bisa kah pria itu berbicara tanpa embel-embel m***m setelahnya?
“Kalau jalan tengahnya yang nyari kamu, yang ada sesat,” ketus Ara mendorong tubuh Arsel agar menjauh dari tubuhnya.
Namun, Arsel tidak beranjak sama sekali. Arsel sudah kangen adiknya padahal belum dua puluh empat jam adiknya pergi.
“Aku kangen sama kamu. Jangan minggat-minggat lagi, ya!” pinta Arsel memeluk tubuh Ara. Ara semakin tercekat saat merasakan pelukan Kakaknya. Tidak, lebih tepatnya tindihan Kakaknya.
“Mas, sesak!” pekik Ara memberontak.
“Aku gak lagi mencium kamu, Ara. Kenapa sesak?” tanya Arsel.
“Ibu, Ayah … Mas Arsel jahat!” teriak Ara meminta bantuan orang tuanya.
“Berteriaklah sampai tenggorokanmu sakit, Ibu dan Ayah sudah pergi,” jawab Arsel.
“Mas, kita gak boleh begini. Kita bukan suami istri, gak boleh deket-deket apalagi sampai peluk-peluk,” ujar Ara.
“Makanya kita menikah dengan cepat,” jawab Arsel.
“Tapi kamu menikahiku demi kamu membalaskan dendammu pada Wulan. Sekarang Wulan sudah kembali padamu, jadi gak ada gunanya kamu menikahiku!” teriak Ara dengan kencang berharap Kakaknya melepaskannya.
Arsel terdiam mendengar ucapan Ara. Ya, tadi Wulan bilang kalau perempuan itu ingin kembali kepadanya, tetapi sekarang Arsel tidak ingin dengan perempuan itu. Dia hanya ingin dengan Ara.
“Aku tetap mau sama kamu,” ujar Arsel mencium pipi Ara membuat Ara berteriak ketakutan. Arsel pria yang nekat, Ara takut kalau dia dinodai oleh Kakaknya.
Hingga suara perut keroncongan menghentikan aksi Arsel yang menginginkan lebih. “Kamu lapar?” tanya Arsel.
Ara tidak menjawab, cewek itu memalingkan wajahnya dari Arsel. Sedangkan Arsel tetap mengusung senyum manisnya. “Kamu tunggu di sini saja. Aku akan membawakan makanan untukmu,” ucap Arsel segera menjauhkan tubuhnya dari Arsel.
Ara ikut terbangun, tetapi belum bangun sepenuhnya Arsel sudah mendorong tubuhnya. “Siapa yang mengijinkan kamu bangun?” tanya Arsel menatap Ara dengan tajam.
“Aku sendiri. Ini tubuhku dan apapun yang aku lakukan tidak perlu meminta izin siapapun,” jawab Ara.
“Tapi karena kamu milikku, jadi semua atas seijinku,” ujar Arsel, cowok itu tetap menekan tubuh Ara agar Ara tetap telentang. Tangan laki-laki itu menarik laci dan mengambil dua dasi.
“Woy … apa yang kamu lakukan?” tanya Ara memekik. Dengan cepat Arsel mengikat tangan Ara.
“Dasar b******n, kurang ajar banget, kamu kayak gini sama saja melakukan kekerasan. Dasar kakak durjana!” pekik Ara lagi.
“Terimakasih pujiannya, Sayangku,” jawab Arsel mencium kening Ara setelah ikatan tangan gadis itu selesai.
Tidak sampai di situ, Arsel juga mengikat kaki Ara hingga Ara tidak bisa bergerak. Setelahnya Arsel meninggalkan Ara begitu saja.
“Mas Arsel, lepasin ikatanku, Mas!” pinta Ara meneriaki Arsel, tetapi Arsel keluar kamar tanpa merasa berdosa sama sekali.
Sungguh mengenaskan menjadi Ara. Baru saja dia pulang dari minggat, dan sekarang dia sudah diikat begini. Kini Ara merutuki Alfath yang menyuruhnya pulang, bocah pinta itu menasehati sesat dirinya.
Di dapur, Wulan sudah menata banyak makanan untuk dirinya dan Arsel. Semua makanan yang dia masak adalah kesukaan mantan kekasihnya yang kini ingin dijadikan suami oleh Wulan.
Wulan menatap ke pintu dapur menanti Arsel, perempuan itu cukup cemburu saat Arsel memilih menggendong Ara daripada bersama dirinya. Tadinya Wulan ingin ikut ke kamar Arsel, tetapi perempuan itu mengurungkan niatnya.
Suara langkah kaki membuat Wulan tersenyum, dia yakin itu adalah Arsel. Dan benar, Arsel masuk ke dapur dan mengambil piring.
“Arsel, aku sudah membuatkanmu makanan. Ayo makan sama aku!” pinta Wulan.
“Kamu masih di sini? Kenapa gak pulang?” tanya Arsel.
Wulan berdiri, perempuan itu memegang tangan Arsel dengan erat. “Arsel, aku ingin sama kamu,” rengek Wulan.
“Aku tidak ingin sama kamu,” jawab Arsel.
“Aku tidak mau kembali pada suamiku, Arsel. Dia melakukan KDRT sama aku. Setiap hari aku bangun dengan luka lebam di punggungku. Kalau kamu gak percaya, aku bisa memperlihatkan padamu,” seloroh Wulan ingin melepas bajunya.
“Jaga kelakuanmu!” titah Arsel memalingkan wajahnya.
“Biar kamu percaya padaku, Arsel. Kamu harus lihat!” pinta Wulan.
“Kalau kamu gak pergi, aku tidak segan-segan lagi denganmu,” ujar Arsel.
Wulan menatap Arsel dengan nanar. Dia pikir Arsel yang sangat bucin dengannya sangat mudah menerimanya kembali. Namun, dia salah besar.
“Mas Arsel, aku kebelet pipis!” Suara teriakan sangat nyaring terdengar membuat Wulan mencengkram ujung bajunya dengan kuat. Dia yakin kalau gadis itu lah yang membuat Arsel tidak lagi mau dengannya.
Arsel mengambilkan makanan untuk Ara dan bergegas pergi dari sana. Wulan menatap punggung Arsel dengan nanar. Ekspektasinya datang ke sini Arsel menerimanya dengan baik, lalu mereka makan kepiting saus padang bersama. Sayangnya Arsel memilih bersama Ara. Perempuan itu pun mengalah untuk saat ini dan memilih pergi.
Di kamarnya Arsel kembali mendekati Ara. “Nih, aku bawain makanan yang enak buat kamu,” ucap Arsel dengan senyum manis tersungging di wajahnya.
“Lepaskan dulu ikatanku!” pinta Ara.
“Aku emoh resiko,” jawab Arsel membantu Ara untuk duduk.
“Resiko apa sih, Mas?” tanya Ara.
“Resiko kamu kabur,” jawab Arsel. Cowok itu mulai menyuapi Ara dengan makanan yang dimasak mantan kekasihnya. Untuk kali ini Wulan berguna banget.
Ara ogah-ogahan menerima suapan dari Arsel, cewek itu memalingkan wajahnya. “Ara, ini masih aku suapin pakai sendok loh. Belum pakai bibir,” ucap Arsel.
“Iya iya, ini. Aaaa ….” Ara membuka bibirnya lebar. Arsel segera menyuapi Ara membuat Ara mendengus.
Lebih baik Ara mengalah dan membiarkan Arsel menyuapinya daripada menyuapi pakai bibir.
Arsel juga ikut makan dengan Ara. Ara menatap tangan Kakaknya yang menyuapi pria itu sendiri sekaligus dirinya. Kalau begini caranya bukankah mereka sudah seperti berciuman secara tidak langsung?
“Kamu kan kebelet pipis, mau aku bantuin ke kamar mandi?” tanya Arsel.
Ara menatap nyalang pada Kakaknya, dengan kencang perempuan itu menghantam kepala Arsel dengan kepalanya.
“Dughh!”
“Aghhhh!” Arsel berteriak kesakitan.
“Ara, kok kamu jahat banget sih bikin kepalaku sakit?” tanya Arsel tidak terima.
“Kamu juga jahat membuat tangan dan kakiku terikat. Begini harusnya aku belajar lagi biar bisa jadi guru yang baik, naik jabatan gaji banyak. Sekarang udah jadi guru magang, gak punya duit, malah diikat begini,” omel Ara bertubi-tubi.
Arsel menarik dompet di nakas, pria itu mengambil satu kartu atm berisi uang yang banyak. Maklum, orang kaya. Meski sedikit kaya setan.
“Karena kamu calon istriku, aku akan memberikan apapun yang kamu mau. Termasuk uang untuk kebutuhan kamu. Pin kartunya tanggal lahir kamu,” ujar Arsel memasukkan kartu ke saku seragam Ara. Ara berteriak karena Arsel menyentuh juga dadanya.
Sesaat kemudian Ara tercenung, Kakaknya bilang pin Atmnya tanggal lahirnya. Yang jadi pertanyaan, sejak kapan pin Atm itu tanggal lahirnya?