Bab 3

2625 Kata
Banyu melangkah keluar dari gedung kejaksaan ketika senja sudah hampir habis ditelan malam. Angin lembab kota membawa bau asap kendaraan, bercampur samar dengan aroma hujan yang menggantung. Tangannya menenteng map berisi berkas, wajahnya tetap datar meski tatapan orang-orang di koridor tadi masih terngiang. Di area parkir, mobil hitam miliknya menunggu. Ia membuka pintu, meletakkan map di kursi penumpang, lalu masuk dan menyalakan mesin. Dentuman halus mesin segera mengisi keheningan yang menyelimuti dirinya. Ia melaju perlahan keluar dari halaman kantor. Jalanan dipenuhi lampu kendaraan yang berderet seperti ular tak berujung. Dari radio mobil, penyiar berita tengah membacakan headline malam itu dan nama Banyu Pradipta kembali disebut, dikaitkan dengan artikel yang sedang viral. Tangannya sempat terhenti di atas tombol radio. Namun, bukannya mematikan, ia justru membiarkannya mengalir. Ekspresinya sama sekali tak berubah, seakan suara itu hanyalah latar kosong. Sesekali cahaya lampu jalan menyoroti wajahnya, membuat garis tegas pada rahang yang tetap kaku. Beberapa kali ponselnya bergetar di saku jas, tanda ada panggilan masuk. Tanpa melihat layar, ia hanya menekan tombol kecil di setir untuk menolaknya. Suara dering terus berulang, tapi ia tak bergeming. Mobil terus melaju, menembus padatnya lalu lintas yang perlahan mengendur ketika memasuki kawasan perumahan elit. Dari balik kaca, gedung-gedung tinggi berganti dengan deretan pepohonan dan rumah-rumah besar yang berjajar rapi. Banyu menghela napas dalam-dalam, bukan karena letih, melainkan kebiasaan untuk mengosongkan diri dari semua riak yang menempel sepanjang hari. Baginya, perjalanan pulang adalah jeda yang hening, seperti ruang kosong di antara hiruk-pikuk kantor dan dinginnya rumah. Akhirnya mobilnya berbelok memasuki jalan yang lebih sepi. Di ujungnya, berdiri rumah besar bercat putih dengan pagar besi hitam yang kokoh. Lampu teras sudah menyala terang, memberi tanda bahwa ada tamu yang menunggu. Banyu memarkir mobil di halaman, mematikan mesin, lalu turun dengan langkah tenang. Sepatunya menjejak lantai batu, terdengar berat dalam kesunyian. Langkah kaki Banyu terdengar berat ketika ia memasuki halaman rumah. Lampu teras sudah menyala, menandakan ada tamu yang lebih dulu datang. Begitu pintu dibuka, asistennya segera menyambut dengan wajah cemas. “Pak Banyu, Ayah mertua Bapak sudah menunggu di ruang tamu,” ucapnya hati-hati. Banyu mengangguk pelan. “Baik.” Ia melangkah masuk. Aroma ketegangan langsung menyergap. Di ruang tamu, duduklah Pak Wiratama, ayah Bening sekaligus juga ayah mertuanya, dengan wajah merah padam menahan amarah. Di sampingnya, Bening duduk kaku, wajahnya dingin, tapi sorot matanya tajam menusuk ke arah lantai, jelas menolak menoleh sedikitpun pada Banyu. Tak ada sambutan. Tak ada senyum. Hanya keheningan penuh ketegangan. “Duduklah dulu, Banyu,” suara Pak Wiratama berat, seakan menahan amarah yang siap meledak. Banyu menurunkan map dari tangannya, menaruhnya perlahan di atas meja. Dengan gerakan tenang, ia duduk di kursi seberang. Tatapannya tetap dingin, tidak sedikit pun bergerak ke arah istrinya yang duduk kaku di sisi ayahnya. Bening sendiri memilih menunduk, jemarinya saling mengait di pangkuan, seolah menahan diri untuk tidak meledak lebih cepat. “Mbok Asih,” suara Banyu terdengar datar. “Buatkan teh panas dan sedikit camilan untuk kami bertiga.” Mbok mengangguk cepat, lalu menghilang ke dapur. Begitu pintu dapur tertutup, suasana ruang tamu langsung meletup. “Kamu ini keterlaluan, Bening!” suara Pak Wiratama menggema, telunjuknya menuding ke arah putrinya. “Artikel macam apa itu? Apa kamu pikir dunia pers itu mainan, hah?! Kamu menulis seenaknya, menyeret nama suami kamu sendiri, dan bikin geger satu negeri!” Bening mendongak, rahangnya mengeras. Tatapannya membara menantang ayahnya. “Bening menulis fakta, Ayah. Apa salah kalau rakyat tahu kebenaran? Apa salah kalau Bening menyoroti kejanggalan hukum?” “Fakta?!” bentak ayahnya, matanya melotot. “Kamu masih terlalu muda untuk tahu mana yang fakta, mana yang sekadar emosi! Baru belajar menulis berita sudah berani menuduh tanpa dasar lengkap! Hapus artikel itu malam ini juga, dan buat permintaan maaf terbuka!” “Tidak!” suara Bening meninggi, tubuhnya maju sedikit dari kursi, nyaris bergetar menahan emosi. “Bening nggak akan narik tulisan itu, apalagi meminta maaf! Justru karena Bening jurnalis, Bening punya kewajiban menulis yang orang lain nggak berani!” Pak Wiratama mendengus kasar, lalu berdiri. Kursi yang ia duduki berderit keras ke belakang. Wajahnya memerah, urat di lehernya menegang. “Kamu berani melawan Ayahmu sendiri, hah?! Bening!” Bening ikut bangkit berdiri, air matanya berkilat di sudut mata tapi suaranya tetap lantang. “Kalau Ayah lebih peduli pada nama besar dan citra keluarga daripada suara rakyat, maka biar Bening sendiri yang berdiri untuk mereka!” Suara keduanya saling menindih, membuat ruangan seakan berguncang oleh amarah. Di sisi lain meja, Banyu tetap duduk tegak. Matanya hanya mengamati, seakan bukan bagian dari pusaran pertengkaran itu. Ia tidak bicara, tidak melerai. Satu-satunya suara darinya hanyalah hembusan napas pelan yang terdengar jelas di sela teriakan ayah dan anak. Ketegangan memuncak ketika langkah kaki Mbok Asih kembali terdengar dari arah dapur, membawa nampan berisi minuman. Tapi bahkan dentingan cangkir porselen di atas meja tidak mampu meredakan api yang sedang menyala. Suasana tegang itu sempat buyar oleh kedatangan Mbok, membawa nampan berisi teh panas dan beberapa kue. Dengan sopan ia meletakkan semuanya di meja, lalu mundur dengan canggung, sadar dirinya masuk di saat yang genting. Banyu masih belum membuka suara. Ia hanya meraih cangkir, meniup sebentar uap panas, lalu menyeruput teh itu perlahan. Gerakannya tenang, seolah-olah pertengkaran besar di hadapannya hanyalah percakapan sehari-hari. Pak Wiratama melirik menantunya, berusaha menahan amarah yang kian menumpuk. “Banyu, kamu jangan diam saja. Katakan sesuatu! Kalau istri kamu tetap keras kepala begini, apa yang akan kamu lakukan?” Bening menoleh cepat, sorot matanya membakar, menatap tajam ke arah Banyu. Seolah ia menantang pria itu untuk berdiri di pihaknya, atau setidaknya mengakuinya. Namun, Banyu hanya meletakkan cangkirnya kembali ke meja dengan gerakan santai, seolah perdebatan itu tidak lebih dari obrolan ringan. Tatapannya datar, tak ada riak emosi sedikit pun. “Hal seperti ini biasa saja, Yah. Artikel remeh. Nanti akan lenyap dengan sendirinya. Publik mana mau mempercayai tulisan seorang jurnalis muda yang bahkan tidak sepenuhnya paham hukum?” Kata-kata itu meluncur datar, tanpa tekanan, tapi bagai pisau dingin yang langsung menancap ke d a da Bening. Wajah Bening memerah, matanya membelalak tak percaya. Tangannya mengepal erat di pangkuannya. “Kamu… meremehkan pekerjaanku?! Kamu sama saja meremehkan suara rakyat?!” Banyu menoleh sebentar, menatapnya singkat. Sorot matanya tetap dingin, tak terguncang sedikit pun oleh kobaran amarah istrinya. “Kalau suara rakyat hanya berupa amarah tanpa dasar hukum, itu bukan lagi kebenaran. Itu sekadar opini kosong,” ujarnya tenang, seolah sedang mengoreksi anak kecil yang salah bicara. Bening terperanjat, bibirnya bergetar menahan kata-kata. Tapi api di dadanya semakin menyala. Ia maju sedikit, tubuhnya condong ke arah suaminya. “Kamu pikir semua bisa diukur pakai pasal? Kamu pikir rakyat peduli sama bunyi undang-undang kalau mereka lapar, kalau uang mereka dikorupsi?! Hukum yang kamu bangga-banggakan itu dingin, Mas! Nggak punya hati!” Banyu justru menyandarkan punggungnya ke sofa, meraih cangkirnya lagi, lalu meniup permukaan teh sejenak sebelum menyeruputnya perlahan. Sama sekali tidak terganggu oleh teriakan di depannya. “Kalau kamu ingin main api dengan tulisanmu, silakan. Tapi jangan samakan emosimu dengan kebenaran,” sahutnya santai. “Kebenaran tidak butuh orang-orang yangg teriak-teriak dan sekadar menulis artikel kosong.” “Enak banget kamu ngomong!” Bening balas membentak, matanya berkilat marah. “Kalau kamu bener-bener peduli sama hukum, kamu harusnya berdiri untuk rakyat, bukan untuk pasal kaku yang kamu sembah!” Banyu meletakkan cangkir kembali, kali ini senyum tipis nyaris tak terlihat muncul di bibirnya. Senyum yang lebih mirip sinis daripada ramah. “Kalau hukum hanya dipakai untuk memuaskan emosi massa, itu bukan lagi hukum. Itu panggung. Dan aku bukan pemain sandiwara.” Bening sontak terdiam sepersekian detik, dadanya naik turun menahan marah. Ia merasa seperti sedang meninju dinding es, dan semakin keras ia memukul, semakin sakit balikannya, tapi dinding itu tetap tidak retak. Pak Wiratama menghela napas panjang, lalu mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Rautnya penuh lelah, namun sorot matanya masih keras. Ia menatap bergantian pada Bening dan Banyu, lalu berdiri perlahan. “Sudah cukup.” Suaranya berat, menggetarkan ruang tamu. “Ayah tidak mau tahu bagaimana caranya. Tapi kamu, Bening… jaga nama baik keluarga ini. Dan itu berarti kamu juga harus jaga nama baik suamimu.” Bening membuka mulut hendak membantah, tapi tatapan ayahnya membuat kata-kata itu terhenti di tenggorokan. “Kamu pikir tulisanmu itu hanya urusan pribadi? Tidak.” Pak Wiratama menggeleng tegas. “Nama keluarga kita ikut dipertaruhkan. Mau tidak mau, suka tidak suka, kamu harus pikirkan itu.” Bening menunduk, rahangnya mengeras. Ada api yang masih menyala di matanya, tapi ia tak lagi bersuara. Pak Wiratama mengambil jasnya yang terlipat di sandaran kursi. Dengan gerakan cepat ia mengenakannya kembali. “Ayah pulang sekarang. Ingat baik-baik kata Ayah: jangan permalukan keluarga sendiri. Dan jangan pernah lagi menulis sesuatu yang bisa menjatuhkan suamimu.” Ia menoleh sekilas pada Banyu yang duduk tegak, masih dengan ekspresi dingin tak tergoyahkan. “Banyu, kendalikan istrimu. Apa pun alasannya, keluarga ini tidak boleh jadi bahan tontonan orang banyak.” Banyu hanya menunduk singkat, menerima ucapan itu tanpa komentar. Pak Wiratama melangkah keluar dengan langkah tegas. Pintu ruang tamu terbuka lalu tertutup kembali, meninggalkan keheningan yang berat. Di sofa, Bening mengepalkan tangannya erat, dadanya berdegup kencang. Sementara Banyu, tanpa berkata apa pun, kembali meraih cangkirnya, menyeruput teh yang sudah mulai dingin dengan tenang, seakan yang baru saja terjadi hanyalah percakapan biasa. *** Bening melangkah cepat menaiki tangga, setiap langkah seperti dihantam bara. Begitu masuk ke kamarnya, ia membanting pintu dan bersandar di sana, dadanya naik-turun menahan amarah. Semua orang menyudutkannya. Ayahnya, yang seharusnya paling memahami dirinya, justru berpihak pada Banyu. Sejak dulu. Sejak ia dan Banyu masih kecil. Ia berjalan gontai ke arah ranjang, duduk di pinggiran, menatap kosong ke lantai. Wajahnya masih dipenuhi riasan tipis, gaun kerjanya masih melekat. Tidak ada tenaga tersisa untuk berganti pakaian, apalagi menghapus make up. Pikirannya melayang ke masa lalu. Ayahnya yang selalu begitu bangga pada Banyu. Bahkan sejak remaja, Banyu selalu dibawa ke rumah setiap akhir pekan. Katanya, “Biar ada teman buatmu, Bening.” Padahal, semua orang tahu Ayahnya ingin punya anak laki-laki. Dan kehadiran Banyu yang pintar, dingin, tapi selalu unggul, menjadi semacam jawaban. Bibi di rumah pernah berbisik padanya, “Ayahmu itu sayang sekali sama Banyu, Nak. Kayak punya anak laki-laki sendiri.” Memang benar. Banyu disekolahkan sampai ke luar negeri. Bening tahu, itu juga karena kepintarannya sendiri, tapi tetap saja… hatinya terasa diremehkan. Meski begitu, dulu ia tak pernah merasa iri. Justru… dulu ia sempat mengagumi. Ia masih ingat betul, masa SMP hingga SMA, Banyu selalu jadi nomor satu. Nilainya sempurna, prestasinya tak terbantahkan. Ia begitu percaya diri, tapi tidak pernah arogan. Wajar saja Ayahnya bangga. Dan wajar saja dirinya, Bening kecil yang sempat jatuh cinta pada sosok itu. Namun cinta itu lama-lama berubah jadi bara. Bara yang kini membakar habis semua sisa kagum yang dulu pernah ia simpan. Suara pintu kamar terbuka membuat lamunannya buyar. Banyu masuk dengan langkah tenang, melepaskan jasnya dan menggantungnya di kursi. Tatapannya sekilas menyapu Bening yang masih duduk di tepi ranjang. Ia terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu yang jauh, dalam, dan Banyu tidak berusaha mengusik. Saat Banyu meletakkan jam tangannya di meja samping ranjang, suara tak kecil terdengar. Bening tersentak, segera menoleh. “Kenapa kamu masih punya muka untuk tidur di kamar yang sama denganku, Mas?” suaranya dingin, penuh racun. Banyu hanya mengangkat bahu, tak berkata apa-apa, lalu melangkah masuk ke toilet. Bening mendengus, memalingkan wajahnya. Tak lama, suara pintu toilet terbuka. Banyu keluar dengan rambut sedikit basah, lalu berjalan santai menuju ranjang. Namun sebelum ia benar-benar duduk, Bening segera bangkit dan masuk ke toilet. Ia tidak mau ada percakapan lebih lanjut. Banyu tidak mengejar. Ia hanya duduk, menyandarkan punggung pada headboard ranjang, lalu meraih sebuah buku hukum yang sudah terbuka di meja samping. Jemarinya tenang membalik halaman, matanya fokus, seakan dunia luar tak pernah ada. Beberapa menit kemudian, Bening keluar. Ia sudah berganti pakaian tidur seadanya, lalu langsung merebahkan diri di sisi ranjang. Punggungnya membelakangi Banyu, sikapnya jelas menolak keberadaan pria itu. “Keluarlah,” ucapnya dingin. “Aku tidak mau melihat wajah Mas Banyu malam ini.” Banyu tidak bergeming. Ia hanya menutup bukunya, mematikan lampu baca, lalu ikut merebahkan diri. Dengan gerakan tenang, ia menarik selimut hingga menutupi tubuh mereka berdua. Bening mendesah kesal, langsung menepis selimutnya. “Aku bilang pergi. Mas Banyu budeg, ya?” “Tidak.” Suara Banyu datar. “Aku dengar jelas.” “Kalau dengar, kenapa nggak pergi?” Bening menoleh cepat, menatapnya dengan mata yang menyala. Banyu balas menatap sekilas, wajahnya tetap dingin. “Ini kamarku juga.” Bening hampir meledak. “Kamar kita, tapi aku nggak mau sekamar sama kamu!” Banyu mengangkat bahu tipis, lalu menoleh kembali ke langit-langit. “Kalau begitu, kamu saja yang keluar.” Bening tercekat, tak percaya ia bisa dibalas sedatar itu. “Mas—!” Namun sebelum sempat melanjutkan, Banyu sudah memiringkan tubuhnya, menyelipkan lengannya di pinggang Bening. Gerakannya tenang, tapi tegas, membuat tubuh Bening tertarik mendekat. “Mas!” protes Bening, wajahnya panas seketika. “Aku nggak mau! Lepas!” “Hm.” Banyu hanya bergumam pendek, seperti sedang menanggapi anak kecil yang merengek. “Terserah kamu mau ngomel sampai subuh. Aku tetap tidur.” Bening terdiam, tubuhnya kaku, jantungnya berdegup kencang tak karuan. Ia ingin melawan, tapi justru terperangkap dalam pelukan dingin yang entah kenapa terasa terlalu nyata. Di balik punggungnya, Banyu memejamkan mata. “Kamu terlalu banyak bicara malam ini.” “Mas Banyu!” seru Bening lagi, setengah berbisik karena napasnya tercekat. Tidak ada jawaban. Yang terdengar hanya napas tenang Banyu yang seakan benar-benar sudah tertidur, sementara Bening terjebak dalam pelukan yang tidak bisa ia hindari dan itu membuatnya semakin kesal sekaligus… entah kenapa, dadanya terasa sesak dengan perasaan yang tidak ingin ia akui. “Tidurlah,” suara Banyu rendah, nyaris seperti gumaman. Bening menggigit bibirnya, tubuhnya kaku. Ia ingin menepis, ingin melepaskan diri. Tapi hatinya justru berdegup kencang, kacau oleh campuran amarah, benci, dan entah kenapa ada perasaan lain yang berusaha ia bunuh habis-habisan. Ia membiarkan matanya terpejam rapat, menahan diri agar tidak meneteskan air mata. Namun beberapa detik kemudian, suara Banyu kembali terdengar. Masih rendah, pelan, tapi jelas menusuk telinganya. “Jangan sampai kamu kehilangan kariermu hanya karena artikel malam ini.” Bening membuka mata lebar-lebar, terkejut. Ia ingin membalas, tapi Banyu melanjutkan, tenang, seakan berbicara sambil setengah mengantuk. “Dulu, Bening kecil punya cita-cita ingin jadi jurnalis. Semua orang dengar. Semua orang di sekolah tahu. Sekarang sudah terwujud. Jadi jangan sampai cita-cita yang tidak semua orang bisa miliki itu lenyap seketika… hanya karena kamu keras kepala.” Bening terdiam. Dadanya terasa makin sesak. Ia tidak menyangka, Banyu mengingat begitu jelas hal yang pernah ia ucapkan bertahun-tahun lalu. Ia ingat persis, saat itu dirinya masih kelas dua SD, sedang duduk di bangku kecil dengan rambut dikepang dua. Guru bertanya cita-cita murid-murid di depan kelas, dan ia dengan lantang berkata, “Aku mau jadi jurnalis! Biar bisa nulis banyak berita!” Semua anak kecil tertawa, karena kebanyakan memilih cita-cita umum seperti dokter atau polisi. Tapi Banyu, yang kala itu sudah SMA dan sering diajak Ayahnya main ke rumah, justru diam, hanya meliriknya singkat dengan ekspresi datar. Bibi rumah sempat menggoda, “Lihat tuh, Banyu. Adik kecilmu itu sudah tahu mau jadi apa, kamu kalah.” Dan sejak saat itu, setiap akhir pekan ketika Banyu datang, Bening selalu mengulang-ulang cita-citanya, berharap suatu hari bisa benar-benar membuktikan diri. Sekarang, mendengar kalimat itu keluar dari bibir Banyu, hatinya bergetar aneh. Ia tak tahu harus merasa tersentuh atau justru semakin terluka. Air matanya hampir jatuh, tapi ia buru-buru menahannya. Ia tidak ingin terlihat rapuh di depan pria itu. Dengan suara yang nyaris bergetar, ia hanya bisa membalas lirih, “Kenapa… Mas Banyu masih ingat?” Tidak ada jawaban panjang. Banyu hanya bergumam pendek, “Tidur saja.” Setelah itu, keheningan kembali menyelimuti kamar. Tapi untuk Bening, kata-kata itu terus berputar di kepalanya, membuatnya makin sulit memejamkan mata.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN