Bab 2

1689 Kata
Malam itu, ruang kerja Bening dipenuhi bunyi ketikan laptop yang nyaris tak berhenti. Jemarinya menari cepat di atas keyboard, wajahnya tegang penuh emosi. Setiap kalimat yang ia susun seperti peluru yang diarahkan tepat ke sosok dingin bernama Banyu. Judul artikelnya sudah jelas: “Jaksa Muda Meloloskan Kepala Desa Korupsi: Ada Apa di Balik Keputusan Banyu Pradipta?” Kalimat demi kalimat ia tulis dengan penuh amarah, mengutip fakta sidang, suara warga, hingga kutipan kuasa hukum. Tapi di antara baris-baris yang obyektif, terselip nada personal yang menyengat. “Publik berhak bertanya, apakah penegakan hukum benar-benar ditegakkan, atau hanya menjadi permainan kata di meja sidang. Jaksa Banyu Pradipta memilih melepaskan terdakwa dengan alasan ‘ancaman’, sementara warga harus menelan pahit kehilangan dana pembangunan. Keputusan ini menodai kepercayaan publik pada hukum.” Bening berhenti sejenak, mengusap wajahnya. Ada perasaan puas, tapi juga getir. Ia tahu, artikel ini akan mengundang kontroversi. Ia tahu, nama Banyu akan jadi sorotan. Namun, tidak ada sebaris pun di artikelnya yang menunjukkan keterhubungan pribadi. Karena bagi Bening, Banyu bukan siapa-siapa selain simbol dari dinginnya hukum. “Bening, lo beneran mau naikin ini?” suara Dita, rekan satu timnya, terdengar khawatir dari meja sebelah. “Lo nyerang jaksa yang baru naik daun itu? Dia katanya bukan sembarang orang.” Bening menoleh cepat. “Terus? Apa gue harus diem aja lihat maling dilepasin? Kalau semua wartawan mikir kayak lo, siapa yang berani nulis kebenaran?” Dita mengangkat tangan, menyerah. “Gue cuma bilang… hati-hati. Lo tahu sendiri, jaksa muda itu lagi banyak dilirik. Tulisan lo bisa bikin ribut satu kejaksaan.” Bening mendengus, lalu kembali menunduk. “Kalau ribut demi keadilan, biarin.” Beberapa rekan lain ikut melirik, berbisik-bisik. Ada yang memuji keberaniannya, ada juga yang menggeleng, merasa Bening terlalu nekat. “Gila, tajem banget tulisannya,” celetuk Rio, jurnalis kriminal yang duduk dua meja dari Bening. “Gue salut sih, tapi… apa lo nggak takut? Itu jaksa lagi diangkat-angkat sama media nasional. Bisa aja lo dituntut balik.” “Justru karena semua orang angkat nama dia makanya gue harus nulis. Supaya publik lihat sisi lainnya,” balas Bening cepat, matanya masih menatap layar laptop. “Lo kayak nggak sayang karier sendiri,” gumam Mira, fotografer yang baru pulang liputan. “Bener, rakyat butuh suara. Tapi lo juga mesti jaga diri. Kalau lo tumbang, siapa yang bakal terusin perjuangan lo?” Bening berhenti mengetik, menatap Mira sebentar. “Kalau semua orang mikir aman, nggak akan ada yang berubah.” Dita, yang sejak tadi mengawasi, mendesah panjang. “Ya ampun, Bening. Gue ngerti idealisme lo. Tapi kadang idealisme bisa jadi bumerang. Apalagi kalau lo nekat nyebut nama jaksa segala. Itu orang yang lagi ditanganin kasusnya, katanya bukan pejabat desa kaleng-kaleng, loh. Dia punya posisi, punya jaringan.” Rio menyeringai kecil, mencoba mencairkan suasana. “Atau jangan-jangan lo baper sama orangnya? Dari tadi gue perhatiin, nama si Banyu lo ulang-ulang banget.” Bening sontak menoleh tajam. “Apa maksud lo?!” Rio mengangkat tangan cepat, terkekeh. “Heh, gue cuma bercanda. Santai, jangan galak gitu. Tapi serius, Ben, tulisannya bakalan bikin redaksi panas.” Bening mendengus, menutup laptop sejenak. “Kalau redaksi panas cuma karena kebenaran, berarti ada yang salah sama kita.” Suasana seketika hening, hanya terdengar bunyi kipas angin di langit-langit. Semua orang tahu, Bening bukan tipe yang gampang dihalangi. Dan kalimatnya barusan seperti garis perang yang ditarik jelas di lantai redaksi. Tak lama kemudian, pintu ruang redaksi terbuka keras. Seorang pria berusia akhir tiga puluhan masuk dengan wajah serius, kemeja lengan panjangnya masih digulung ke siku. Dialah Raka, pimpinan redaksi yang dikenal ambisius sekaligus perfeksionis, usianya masih muda untuk posisinya, tapi otoritasnya di ruang redaksi tak terbantahkan. Kertas print-out artikel Bening sudah ada di tangannya, kusut karena diremas. “Bening!” suaranya lantang, membuat semua orang menoleh. “Apa-apaan ini? Siapa yang kasih izin lo nulis headline kayak gini?” Bening bangkit dari kursinya, menatap balik tanpa gentar. “Itu fakta, Kak. Semua ada di sidang. Semua orang lihat.” “Fakta?” Raka menepuk-nepuk kertas itu di meja, matanya menyipit. “Lo nyebut nama jaksa, lo nuduh dia ‘meloloskan’. Lo sadar nggak konsekuensinya? Redaksi kita bisa dituntut pencemaran nama baik. Ini bukan investigasi lengkap, Ben. Ini tuduhan telanjang!” Bening maju selangkah, matanya menyala. “Kalau media cuma jadi corong aman, lalu siapa yang jadi suara rakyat? Warga desa itu kehilangan uang, mereka nggak dapat keadilan. Masa kita harus pura-pura nggak lihat?!” Suasana ruangan menegang. Beberapa jurnalis yang tadinya berbisik langsung terdiam, menahan napas. Raka menatap Bening lama, wajahnya campuran antara frustrasi dan khawatir. “Lo ngerti nggak, artikel kayak gini bisa bikin kantor ini digeruduk. Bisa bikin investor mundur. Bahkan bisa bikin lo sendiri habis di meja hukum.” Bening mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. “Kalau gitu, gue bakalan cari media lain yang berani. Atau lebih baik, gue publikasiin sendiri di kanal pribadi. Publik harus tahu, Kak. Kalau kita takut terus, kita sama saja jadi bagian dari masalah.” Ruangan mendadak senyap. Kata-kata Bening menggema di antara meja-meja kerja. Raka mengusap wajahnya kasar, lalu mendesah panjang. Ia tahu betul, Bening keras kepala. Sejak awal kariernya, perempuan itu selalu menulis dengan hati dan nyali, bukan sekadar akal-akalan angka klik. Dan di balik kekesalannya, Raka tidak bisa menolak fakta: idealisme Bening adalah nyawa media ini. Akhirnya, ia meletakkan kertas kusut itu ke meja. Suaranya berat tapi jelas. “Oke. Artikel ini naik. Tapi tanggung jawab penuh ada di lo, Bening. Kalau ada masalah hukum, lo yang maju duluan. Jangan seret kantor.” Bening mengangguk tegas, tanpa ragu sedikit pun. “Oke.” Dan malam itu, artikel itu benar-benar tayang. Headline besar dengan nama Banyu Pradipta menghiasi halaman depan portal berita mereka. Di sudut ruangan, Bening menatap layar monitor, napasnya terasa lega sekaligus menantang. Ia tahu badai akan datang, dan ia siap menyambutnya. *** Di kantor kejaksaan, pagi itu suasana lebih ramai dari biasanya. Sejumlah staf dan jaksa muda saling berbisik sambil menatap layar ponsel. Nama Banyu Pradipta terpampang di berbagai portal berita. Namun, pria itu tetap berjalan santai menyusuri koridor dengan map berkas di tangan. Wajahnya sama datarnya seperti biasa, seakan headline besar yang memojokkannya sama sekali tidak berarti. Seorang jaksa muda, Arif, memberanikan diri menghampiri. “Pak Banyu…” suaranya terdengar ragu. “Kami semua sudah baca berita itu. Nama Bapak jadi sorotan. Apa Bapak tidak mau memberikan klarifikasi ke media?” Langkah Banyu terhenti sejenak. Ia menoleh singkat. Tatapannya dingin, hanya sepersekian detik, tapi cukup membuat Arif refleks menelan ludah. “Kalau ada yang butuh klarifikasi,” jawabnya datar, “semua sudah tertulis dalam berita acara sidang. Media bisa membacanya.” Arif menunduk, tersenyum kaku. “Tapi… publik menganggap Bapak meloloskan kepala desa. Kalau dibiarkan, citra kejaksaan bisa—” “Publik bisa menilai sesuka mereka,” potong Banyu tanpa menaikkan nada suara. “Hukum tidak berjalan dengan ‘citra’. Hukum berjalan dengan bukti.” Arif tercekat, lalu mundur setengah langkah. “Baik, Pak.” Ia tidak berani menimpali lagi. Suasana koridor makin hening. Namun dua staf lain yang berdiri di dekat meja administrasi ikut berbisik, lalu salah satunya memberanikan diri angkat suara. “Pak…” ujar Rina, staf administrasi yang biasanya ramah, kali ini terdengar hati-hati. “Kalau boleh jujur, semua orang di kantor sedang gelisah. Berita itu… bikin nama Bapak jadi pusat perhatian. Bahkan orang luar telepon ke resepsionis, nanya kebenarannya.” Banyu menoleh sebentar, tatapannya lurus menusuk, tapi tetap tanpa emosi. “Apakah resepsionis bagian dari tim hukum?” Rina terdiam, wajahnya memerah. “Ti-tidak, Pak.” “Kalau begitu, biarkan hukum berjalan sesuai jalurnya. Sisanya bukan urusan kalian.” Rina buru-buru menunduk. “Baik, Pak.” Seorang jaksa lain, Andri, yang sedari tadi hanya memperhatikan dari jauh, akhirnya bersuara. “Tapi, Pak Banyu… kalau boleh saran, seandainya Bapak buat pernyataan resmi, mungkin tekanan dari luar bisa sedikit reda. Atasan juga pasti lebih tenang.” Banyu kembali berjalan, hanya melontarkan satu kalimat singkat sambil melewati mereka. “Tenang bukan tujuan hukum, Andri. Kalau itu kebenaran, saya bisa jawab iya.” Langkah kakinya bergema di lantai koridor yang tiba-tiba terasa terlalu sunyi. Tatapan segan, bisik-bisik tertahan, semua mengikuti punggungnya yang menjauh. Tidak ada yang berani melanjutkan percakapan. Seakan-akan satu kalimat darinya sudah cukup untuk membungkam seluruh ruangan. Tak lama kemudian, seorang staf mengetuk pintu ruangannya. “Pak Banyu, Kepala Seksi Intelijen memanggil Bapak.” Banyu masuk ke ruang pimpinan. Ruangan itu beraroma kopi dan penuh berkas hukum. Pak Suryo, pria awal lima puluhan dengan wajah keras, duduk di balik meja. Di depannya, tablet menampilkan artikel dengan judul mencolok. “Banyu,” suara Suryo berat, “apa yang saya baca ini benar? Media menulis kamu meloloskan terdakwa.” Banyu berdiri tegap, suaranya tetap datar. “Itu artikel media, Pak. Bukan dokumen resmi.” Suryo mengetukkan jarinya ke meja. “Jangan main-main. Nama kamu jadi bulan-bulanan. Dewan sudah bertanya ke saya. Kamu sadar, ini bisa mencoreng institusi?” “Yang saya lakukan sesuai bukti dan hukum,” jawab Banyu, tanpa nada emosional sedikit pun. Suryo mencondongkan tubuhnya. “Kamu tidak peduli pada citra kejaksaan?” “Citra dibangun dari integritas hukum, bukan opini media.” Mata Suryo menyipit. “Kamu tahu konsekuensinya kalau tekanan politik makin besar? Kamu bisa saja ditarik dari kasus ini.” “Kalau itu keputusan, saya terima,” sahut Banyu dingin. Keheningan menyelubungi ruangan. Suryo akhirnya menghela napas berat, lalu bersandar. “Kamu ini keras kepala, Banyu. Ingat, dunia hukum bukan sekadar pasal. Ada dinamika publik yang harus dijaga.” Banyu menatap lurus, tanpa bergeming. “Tugas saya menuntut berdasarkan bukti, Pak. Bukan menenangkan publik.” Suryo menatapnya lama, lalu melambaikan tangan. “Sudahlah. Pergi. Lanjutkan pekerjaanmu.” “Baik, Pak.” Banyu memberi hormat singkat, kemudian keluar ruangan dengan langkah tenang. Di koridor, tatapan segan rekan-rekannya kembali mengiringi. Tak ada yang berani menyapa lebih jauh. Bagi Banyu, semua itu hanya riak kecil. Yang penting baginya tetap sama, yaitu hukum yang dingin, kaku, tanpa ruang untuk perasaan. Ponselnya tiba-tiba bergetar di saku. Ia mengeluarkannya, menatap layar sebentar. Nomor itu bukan asing, seseorang yang hanya menghubunginya kalau ada urusan penting. Banyu menempelkan ponsel ke telinga. “Ya.” Suara di seberang terdengar tegas, tidak bertele-tele. “Banyu, saya di rumah kamu sekarang.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN