Bab 1

1528 Kata
Ruang sidang siang itu ramai oleh bisik-bisik pengunjung yang menunggu putusan. Ada seorang jurnalis muda bernama Bening duduk di bangku yang memang khusus untuk media, ia mencatat cepat dengan pena yang nyaris tak berhenti bergerak. Mimik wajahnya begitu serius, dan matanya mengikuti setiap detail jalannya sidang. Di sampingnya, Dita, rekan sesama jurnalis dari media lain menyikut pelan lengan Bening yang sedang mencatat. “Eh, kayaknya si kepala desa bakal bebas, deh,” bisiknya sambil menahan senyum sinis. Bening menoleh cepat. “Bebas? Lo liat sendiri kan, buktinya segambreng. Mana mungkin.” Dita mengangkat bahu. “Ya, tapi coba perhatiin tuh jaksa.” Ia melirik ke arah Banyu yang duduk dengan ekspresi dingin. “Dari tadi dia kalem banget, kayak nggak niat nuntut.” Bening menahan napas, dan matanya ikut tertuju ke arah pria itu. Benar juga, raut wajahnya sama sekali tidak menunjukkan tekanan atau keberpihakan. Hanya datar. “Kalau sampai dia beneran ngelepasin kepala desa itu,” gumam Bening pelan, “gue bakal jadi orang pertama yang nulis dia main mata sama terdakwa.” Dita tertawa kecil. “Hati-hati, jaksa itu katanya pinter banget, baru naik daun. Bisa-bisa lo malah salah tuduh.” Bening mendengus. “Cih. Pinter atau nggak, kita liat aja sebentar lagi. Hukum harusnya jelas, kalau salah ya dihukum.” Kasus yang ia liput hari ini cukup besar, yaitu korupsi dana desa. Terdakwanya seorang kepala desa yang menurut bukti publik, seharusnya sulit untuk lolos. Ada transfer mencurigakan, saksi yang menguatkan, bahkan rekaman suara. Semua sudah jadi konsumsi media. Di mata Bening, kasus ini jelas. Tak ada alasan bagi terdakwa untuk bebas. Namun, bukan hanya kasus itu yang menarik perhatiannya. Ada satu sosok di kursi penuntut yang membuatnya terpaku sejak awal, yaitu jaksa muda bernama Banyu. Posturnya yang tegap dengan wajahnya yang datar begitu sulit ditebak tentang apa yang ada di kepalanya. Jubah hitam yang ia kenakan tampak rapi, bahkan suaranya tetap tenang ketika berbicara, tanpa nada yang berlebihan. Begitu sederhana, tapi cukup membuat semua orang sangat memperhatikannya. “Berdasarkan fakta hukum dan pertimbangan yuridis,” suara Banyu menggema di ruangan, “Jaksa Penuntut Umum memutuskan untuk tidak melanjutkan tuntutan terhadap terdakwa.” Ruangan langsung gaduh. Beberapa warga desa yang hadir sebagai saksi saling berbisik, sebagian bahkan berteriak kecil karena tidak terima. Di sisi lain, Bening meremas pulpennya sampai nyaris patah. ‘Apa?! Membebaskan orang yang sejelas ini bersalah?’ Kalimat itu seperti petir di siang bolong. Warga desa yang duduk di belakang bangkit berdiri, berteriak-teriak tidak terima. “Dia maling uang desa kami!” “Jangan dibebasin begitu saja!” Hakim kembali mengetukkan palu. “Tenang! Sidang ini harus tertib!” Tak lama, salah satu kuasa hukum warga desa berdiri dari bangkunya. Suaranya keras, jelas ditujukan ke majelis hakim. “Yang Mulia, kami dari tim kuasa hukum warga desa menyatakan keberatan. Bukti yang kami serahkan sudah lebih dari cukup untuk menjerat terdakwa. Keputusan Jaksa Penuntut Umum ini jelas merugikan warga yang menjadi korban.” Ruangan makin ricuh. Beberapa warga yang hadir ikut bersuara, meski langsung ditegur panitera agar menjaga ketertiban, bahkan ada yang berteriak, “Kami ini korban, Yang Mulia! Uang pembangunan habis, jembatan tak jadi dibangun, kami yang sengsara!” Banyu tetap berdiri tenang, tidak sedikit pun terpengaruh oleh riuhnya ruangan. Matanya hanya tertuju ke majelis hakim, seolah komentar di sekitarnya tidak ada artinya. Hakim mengetuk palu tiga kali, berusaha menenangkan suasana. “Keberatan dari pihak kuasa hukum warga akan dicatat dalam berita acara. Silakan menempuh upaya hukum sesuai mekanisme yang berlaku. Untuk sekarang, persidangan diskors.” Di kursi terdakwa, kepala desa itu menangis tersedu, meski tangisnya jelas terlihat dibuat-buat. Hakim mengetuk palu tiga kali, menyatakan sidang diskors. Suasana ruang sidang langsung ramai, beberapa wartawan buru-buru keluar untuk mengirim berita cepat. Kuasa hukum warga kembali duduk dengan wajah penuh kecewa, sementara warga desa yang hadir hanya bisa menggeleng dan menggerutu pelan. Bening menatap ke arah meja penuntut. Sosok Banyu tetap berdiri tenang, tanpa sedikit pun menunjukkan raut bersalah. Justru ketenangan itulah yang semakin membuat darah Bening mendidih. Wartawan lain juga berbisik-bisik, bahkan beberapa menulis cepat dengan wajah penuh tanya. Namun hanya Bening yang langsung berdiri, menahan emosi yang hampir meledak. Matanya membakar ke arah Banyu. Namun hanya Bening yang langsung berdiri, menahan emosi yang hampir meledak. Matanya membakar ke arah Banyu. Ia berjalan cepat ke meja penuntut, meninggalkan wartawan lain yang masih sibuk mencatat. “Jaksa Banyu?” suara Bening terdengar ketus. Banyu sempat berhenti, lalu menoleh sekilas. “Ya. Ada yang bisa saya bantu, Saudari…?” “Bening. Jurnalis,” ucapnya cepat, seakan ingin memastikan namanya tertancap di kepala pria itu. “Anda baru saja membebaskan maling uang rakyat. Apa penjelasan Anda? Bukankah bukti sudah jelas? Atau… ada sesuatu di balik ini?” Beberapa orang di sekitar mereka ikut melirik penasaran. Banyu menutup mapnya dengan tenang, kemudian menatap ke arah Bening, singkat tapi menusuk. “Kalau Anda jurnalis, seharusnya paham proses hukum tidak sesederhana apa yang terlihat di permukaan,” jawabnya datar. Bening mengerutkan kening. “Permukaan? Bukti transfer, saksi, rekaman suara dan semua sudah ada. Lalu, Anda bilang itu belum cukup?” “Cukup, untuk menunjukkan dia menerima uang. Tapi tidak cukup untuk menghukumnya sebagai pelaku utama,” balas Banyu, nada suaranya tetap tenang meski jelas-jelas ia tidak senang diinterogasi begitu. Bening hampir tak percaya dengan jawabannya. “Jadi, Anda lebih percaya pada alasan dia dipaksa? Itu klise, Pak Jaksa. Semua koruptor pasti bilangnya begitu.” “Kalau begitu,” Banyu menatapnya lebih lama kali ini, “tugas Anda sebagai jurnalis adalah mencari tahu lebih banyak, bukan buru-buru menuduh.” Bening terdiam sesaat, tapi dadanya terasa panas. Ia yakin ada yang janggal dengan pria dingin di depannya ini. Bening maju setengah langkah mendekat ke arah Banyu, suaranya makin ketus. “Kalau memang benar ada ancaman, kenapa tidak disampaikan secara terbuka di ruang sidang? Publik punya hak untuk tahu, bukan cuma majelis hakim.” “Tidak semua hal bisa diumbar di depan publik,” sahut Banyu singkat. Tatapannya lurus menembus balik mata Bening, tapi ekspresinya tetap datar. “Dan… saya tidak punya kewajiban menjelaskan pada media sebelum waktunya. Semua sudah tercatat dalam dokumen persidangan.” “Dokumen?!” Bening hampir tertawa, tapi nada suaranya penuh sindiran. “Orang-orang percaya pada Anda untuk menegakkan hukum, tapi Anda malah bersembunyi di balik dokumen.” Banyu menyela, suaranya rendah tapi tegas. “Undang-undang Tipikor Pasal 11 jelas menyatakan, jika penerimaan gratifikasi terjadi karena ancaman serius, penerima bisa bebas dari tuntutan. Fakta di sidang menunjukkan kontraktor mengancam keselamatan anak terdakwa. Ada rekaman sebagai bukti, tapi tidak bisa dipublikasikan karena menyangkut anak di bawah umur. Itu sebabnya ia dibebaskan.” Kata-katanya membuat Bening terdiam sepersekian detik. Suasana di sekitar mereka seolah ikut hening. Rasional, jelas, dan memang sah menurut hukum. Tapi di telinganya, semua itu terdengar dingin, kaku, seolah tidak ada ruang bagi rasa keadilan masyarakat. Bening mengepalkan tangannya. “Anda bicara soal aturan, tapi bagaimana dengan warga desa yang kehilangan uang? Bagaimana dengan hak mereka atas keadilan? Apa mereka cuma harus menerima begitu saja, karena undang-undang bilang begitu?” Banyu tetap tenang. “Saya tidak bilang mereka harus menerima. Saya bilang, kalau ingin menghukum orang yang benar-benar bersalah, jangan berhenti di kepala desa. Cari pelaku lain yang memang ikut di kasus ini.” “Kontraktor? Bisa jadi itu salah kontraktornya, kan? Dan kalau kontraktornya tidak pernah ditemukan?” Bening menimpali cepat. “Apa warga harus puas dengan jawaban kosong, sementara kepala desa tetap bebas jalan-jalan di desanya?” Kali ini Banyu menarik napas sebentar, lalu menatapnya lebih tajam. “Hukum tidak berjalan dengan ‘puas atau tidak puas’. Hukum berjalan dengan bukti dan aturan. Itu prinsip yang harus saya pegang.” Bening mendengus, menahan emosi. “Prinsip Anda terlalu kaku, Pak Jaksa. Seakan-akan hukum hanya soal pasal, bukan soal manusia.” “Dan Anda terlalu emosional, Nona Jurnalis,” balas Banyu cepat, nadanya tetap datar tapi menusuk. “Berita bukan soal amarah pribadi, tapi soal fakta.” Bening tercekat, lalu menggertakkan gigi. Perdebatan ini jelas belum selesai, tapi Banyu sudah merapikan berkas dan melangkah pergi. Ia hanya meninggalkan satu kalimat terakhir yang membuat Bening semakin terbakar. “Karena tugas saya bukan menyenangkan publik. Tugas saya menegakkan hukum.” Bening berdiri kaku di tempat, tatapannya mengikuti punggung Banyu yang menjauh. Ada dorongan kuat untuk membalas, tapi kata-kata itu terlanjur mengunci lidahnya. Ia menelan ludah, menatap pria itu dengan perasaan campur aduk. Namun sebelum benar-benar membiarkan pria itu pergi, Bening bersuara lagi. “Pak Jaksa,” panggilnya, nadanya dingin. Banyu berhenti, menoleh setengah, sekadar melirik. Bening menggenggam erat bukunya. “Kalau Anda yakin benar dengan keputusan ini… beranikah Anda menjamin warga desa tidak akan jadi korban lagi? Bahwa kontraktor itu akan benar-benar ditangkap?” Banyu diam sejenak, menatapnya lurus tanpa berkedip. “Tugas saya menuntut berdasarkan bukti, bukan membuat janji. Kalau kontraktornya tertangkap, saya akan pastikan dia diadili. Itu saja.” Bening mendengus, nyaris tertawa sinis. “Jawaban khas birokrat. Selalu aman, tapi tidak menenangkan siapa pun.” Banyu menutup percakapan itu dengan nada dingin. “Kalau semua orang bekerja sesuai perannya, keadilan akan sampai pada tempatnya. Jurnalis menulis, jaksa menuntut. Jangan campur.” Kata-kata itu terdengar seperti teguran. Tanpa menunggu reaksi lagi, ia melangkah pergi. Dan di detik itu juga, Bening sadar bahwa ia benar-benar membenci sosok bernama Banyu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN