Prolog
“Saya terima nikahnya Bening Anindira binti Beni dengan mas kawin tersebut, tunai.”
Suara Banyu terdengar tenang, nyaris datar, tanpa getaran apa pun. Pendek. Dan pasti. Seolah-olah ia sedang membacakan pasal hukum di persidangan, bukan kalimat sakral untuk akad nikah yang akan mengikat hidupnya seumur hidup.
Hening sesaat, sebelum serentak saksi dan hadirin berseru, “Sah! Sah!”
Suara itu bergema, mengisi seluruh ruangan. Seorang bapak tua di barisan depan spontan mengangkat tangan, mengucap, 
“Alhamdulillah.” 
Beberapa ibu-ibu di belakang langsung bersorak pelan, tak bisa menahan senyum. 
“Selamat ya!” terdengar dari sudut kiri, disusul tawa kecil yang cepat-cepat ditutup tangan agar tak terdengar terlalu gaduh.
Riuh rendah itu membuat suasana jadi lebih hangat, tepukan tangan kecil yang ditahan-tahan demi menjaga kekhidmatan acara tetap bergaung. Beberapa tamu bahkan mengangguk-angguk, puas dengan kelancaran ijab kabul yang tak perlu diulang.
Di sisi lain, Bening justru masih melongo. Tisu yang ia genggam sejak tadi kini sudah kusut tak karuan, penuh coretan lipstik dan bekas keringat di telapak tangannya. Mata bulatnya melirik ke arah laki-laki di sampingnya, suaminya sekarang.
‘Ya ampun… ini beneran sah? Aku… nikah? Sama dia?’
Jantungnya berdegup kencang, lebih kencang dari suara bedug masjid di hari Lebaran. Tangannya gemetar, bahkan lututnya nyaris kehilangan tenaga. Sementara pria di sampingnya, sosok dingin dengan jas hitam dan tatapan tajam itu hanya duduk tenang, seperti batu karang yang tak tergoyahkan.
“Mas Banyu…” bisiknya pelan, separuh tak percaya, matanya masih mencari sedikit tanda kalau ini bukan mimpi.
Banyu hanya menoleh sekilas. Sekejap saja. Tatapan dinginnya menusuk, tanpa emosi, sebelum akhirnya ia kembali menunduk. Tangannya merapikan kancing jas, gerakannya rapi dan kaku, seakan lebih peduli pada simetri lipatan pakaian daripada istrinya yang hampir pingsan di sebelahnya.
Tidak ada senyum. Tidak ada tatapan romantis. Tidak ada gumaman ‘alhamdulillah’ yang biasanya keluar penuh haru dari seorang pengantin pria.
Bening mengerjapkan mata cepat-cepat, merasa d a da sesak. ‘Astaga… orang-orang lain habis ijab kabul tuh biasanya senyum lebar, ada yang sampai nangis terharu, minimal genggam tangan pasangannya lah. Eh, ini? Baru juga lima menit jadi suami, mukanya udah kayak pengacara yang kalah perkara.’
Ia menggembungkan pipi, menoleh pelan ke arahnya. “Mas… kamu sadar nggak sih, barusan kamu nikahin aku?”
Banyu tak mengangkat wajah, hanya terdengar suaranya yang datar, “Iya.”
Iya?
Bening hampir saja menjatuhkan tisunya ke lantai. 
‘Ya Allah, ini orang serius banget… jawabannya satu kata semua! Ini suami apa Google Translate mode hemat kata?!’
Bening menggembungkan pipinya. 
‘Dingin banget. Orang nikah tuh biasanya senyum, kan? Minimal senyum lah. Ini mah kayak orang habis sidang skripsi, tinggal nunggu tanda tangan dosen penguji.’
Ketika penghulu menyodorkan buku nikah, tangan Bening langsung terasa licin oleh keringat dingin. Ia buru-buru mengambil pulpen, mencoba menempelkan tanda tangannya. Tapi garis yang terbentuk malah miring jauh, hampir menyentuh pinggir kotak.
“Ya ampun, belepotan,” gumamnya lirih, menutup wajah dengan sebelah tangan.
Banyu, yang duduk di sampingnya, akhirnya bersuara untuk pertama kali setelah ijab kabul. Nada suaranya datar, tak memberi ruang kompromi.
“Fokus.”
Bening menoleh cepat, matanya membelalak. “Halo? Aku grogi, Mas. Nikah sekali seumur hidup loh. Eh—ya semoga sekali seumur hidup.”
Kalimat terakhir keluar begitu saja, membuat pipinya langsung memanas.
Beberapa tamu di barisan depan spontan menahan tawa, ada yang menutup mulut dengan kerudung, ada yang pura-pura batuk.
Sementara itu, Banyu hanya mengambil pulpen dengan tenang. Tangannya stabil, presisi, dan dalam hitungan detik ia sudah menorehkan tanda tangan yang begitu rapi, lurus, seolah hasil cetakan komputer. Ia lalu meletakkan pulpen kembali di meja, gerakannya penuh kontrol.
Bening mendengus kecil. “Lihat tuh. Bagus banget. Rapi. Kayak cetakan komputer.”
Ia memelototinya dengan bibir manyun, jelas-jelas iri sekaligus kesal.
Banyu menoleh sekilas, tatapannya dingin dan datar seperti biasa. “Kamu bisa belajar kalau mau.”
“Eehh, ini akad nikah, Mas, bukan kelas kaligrafi.”
Kalimat itu meluncur begitu saja, membuat suasana jadi riuh kecil. Saudara-saudara Bening di kursi tamu nyaris meledak tertawa, sementara ibunya hanya bisa menggeleng lemah, entah pasrah atau pusing menghadapi anak semata wayangnya yang selalu blak-blakan bahkan di momen sakral.
Ketika acara doa selesai dan musik lembut mulai mengalun, Bening masih belum bisa diam. Ia menoleh lagi ke arah laki-laki dingin di sampingnya.
“Mas Banyu.”
“Hm?”
“Aku beneran istri kamu sekarang.”
Banyu mengangguk tipis, nyaris tak terlihat. “Iya.”
“Dan kamu beneran suami aku sekarang.”
“Ya.”
Bening mengedip cepat, lalu memiringkan kepala. “Terus… kamu nggak mau senyum dikit gitu? Kayak… pasangan di drama-drama Korea.”
Banyu tetap menatap lurus ke depan, wajahnya tanpa ekspresi. “Aku bukan aktor drama.”
“...”
Bening membisu, tapi hanya sepersekian detik. Setelah itu ia mendesis pelan, pipinya menggembung. 
‘Astaga, hidupku resmi jadi drama, tapi lawan mainku… batu es.’
Ia melirik lagi ke arah suaminya, berharap ada sedikit reaksi. Tapi Banyu tetap tenang, dingin, seperti patung marmer yang diletakkan di pelaminan.
Dan untuk pertama kalinya, Bening menyadari satu hal penting, mulai hari ini, rumah tangganya akan jauh lebih dingin daripada AC ballroom pernikahan mereka.
Namun tanpa disadari, dari sudut matanya, Banyu sempat melirik sebentar ke arah Bening. Gadis itu masih cerewet, pipinya merona, rambutnya disanggul anggun dengan hiasan melati. Untuk sesaat, ada bayangan kecil senyum yang nyaris muncul di bibirnya, tapi buru-buru ia tahan.
Karena bagi Banyu, hari ini bukan hari cinta. Ini hanyalah perjanjian, formalitas semata.
Sementara bagi Bening, ini baru awal dari perjalanan panjang, menjadi istri sah seorang pria dingin yang bahkan di hari pernikahan mereka, lebih banyak diam daripada bicara.
***
Acara resepsi sudah usai. Musik orkestra berhenti, para tamu undangan pulang satu per satu, meninggalkan ballroom yang kini jauh lebih lengang. Dekorasi bunga masih terpasang indah, lampu kristal menggantung megah di langit-langit, sementara aroma kopi dan kue manis masih samar tercium dari meja hidangan.
Di tengah ballroom yang mulai sunyi itulah, keluarga inti masih berkumpul, duduk santai di kursi-kursi yang tersisa.
Bening masih sumringah. Gaun putih panjangnya sudah ditukar dengan kebaya sederhana berwarna pastel, tapi senyumnya tetap semekar bunga. Ia duduk di kursi untuk tamu, tertawa renyah bersama sepupu-sepupunya yang usil.
“Beniiing, suamimu cool banget!” celetuk salah satu sepupu sambil menyikutnya.
Bening nyaris tersedak teh. “Cool apaan? Batu es kali! Dari tadi nggak senyum sama sekali, tau!”
Tawa pecah di sekitar mereka.
Di sudut ballroom yang mulai lengang, Banyu duduk tegak. Tangannya bertaut, wajahnya tetap datar, menatap kosong ke arah gelas teh yang sudah setengah dingin di meja kecil di depannya. Suara tawa Bening dan sepupu-sepupunya terdengar samar dari kejauhan, tapi ia tak menoleh, seolah dirinya hanyalah orang asing yang terselip di tengah pesta keluarga besar.
Beni, ayah Bening, menghampiri perlahan. Pria paruh baya itu menarik kursi di sebelahnya, lalu duduk dengan tenang. Suaranya berat, tapi terjaga agar tidak terdengar siapa pun.
“Banyu.”
Banyu menoleh singkat. “Ya, Om.”
Beni menghela napas panjang. Matanya menatap menantunya dengan sorot serius, berbeda jauh dari wajah ramah yang tadi ia tunjukkan di hadapan para tamu.
“Mulai hari ini, Bening jadi tanggung jawabmu. Aku tahu pernikahan ini… awalnya hanya perjodohan. Tapi aku minta satu hal. Jangan pernah sakiti hatinya. Dia cuma punya aku, dan sekarang… kamu.”
Sejenak hening. Musik lembut dari pengeras suara masih terdengar samar, bercampur dengan tawa kecil keluarga di sisi lain ruangan.
Banyu menatap Beni lekat-lekat. Rahangnya mengeras, nada suaranya terdengar dingin, ketus, tanpa tedeng aling-aling.
“Kalau tahu akhirnya seperti ini… mungkin dulu saya akan pilih beasiswa lain.”
Beni terdiam sepersekian detik, lalu mendadak tertawa lepas. Tepukannya keras mendarat di bahu menantunya itu. “Hahaha! Kamu ini, Banyu. Sudah jadi menantu masih aja kaku. Anggap saja ini takdir yang terbaik.”
Dari kejauhan, Bening masih asyik bercanda dengan sepupu-sepupunya, tak menyadari percakapan berat antara ayahnya dan suaminya baru saja terjadi.
Banyu kembali diam, tatapannya lurus ke depan. Tak ada penyesalan di wajahnya, tak ada niat untuk meluruskan ucapannya.
Dan di balik tawa santai Beni, ada sesuatu yang menggantung di udara, sebuah rahasia yang tak satu pun dari mereka ungkapkan hari itu.
Beni berdiri sambil menepuk ringan bahu Banyu dan memanggil Bening yang masih bercengkrama dengan saudara-saudaranya.
“Bening, sepertinya Banyu sudah cukup lelah. Nak, lebih baik kalian naik dulu ke kamar hotel.”
Suara tegas namun hangat itu membuat Bening menoleh cepat ke arah ayahnya. Beni berdiri tegak dengan jas hitamnya, salah satu tangan dimasukkan ke saku celana, sementara tangan lainnya sedikit terangkat, memberi isyarat halus pada putrinya. Tatapannya tidak keras, justru penuh pengertian, seperti seorang ayah yang tahu batas wajar setelah seharian putrinya menjadi pusat perhatian.
Bening menggigit bibir bawah, lalu mengangguk pelan. “Iya, Pa,” jawabnya lirih, suaranya bercampur rasa malu karena sadar semua sepupunya mulai melirik-lirik dengan ekspresi menggoda.
“Ayo, Bening. Jangan bikin Mas Banyu nahan lama-lama,” celetuk salah satu sepupunya dengan tawa yang langsung disambut ejekan kecil dari yang lain.
Bening mendelik, pura-pura marah, lalu meninju pelan lengan sepupunya. “Apaan sih kalian! Dasar usil.”
Beni tersenyum tipis melihat interaksi itu, tetapi tetap menggerakkan tangannya, memberi tanda agar Bening segera beranjak. Dengan wajah sedikit merona, Bening pun berdiri dari kursi. Tangannya sempat meraih tangan sepupunya, menggenggam sebentar, lalu ia berkata, “Ya udah, aku naik duluan, ya. Kalian jangan ribut-ribut terus di sini.”
“Siap, Princess!” sahut mereka serempak, menambah panas di pipi Bening.
Banyu hanya diam sejak tadi, duduk dengan tubuh tegak dan ekspresi yang nyaris datar. Namun, begitu Bening berdiri dan melangkah ke arahnya, ia ikut bangkit, merapikan jasnya dengan satu tarikan tangan.
Beni menepuk bahu menantunya dengan ringan. “Jaga anakku, Banyu.”
Banyu hanya mengangguk singkat, tidak banyak kata, lalu mengikuti langkah Bening menuju lift dengan aura tenang sekaligus dingin yang kontras dengan riuh keluarga tadi.
Mereka berjalan menuju lift. Derap langkah sepatu Banyu terdengar mantap, sementara Bening masih sempat melambai-lambaikan tangan ke kerabat yang tersisa. Sesekali ia menoleh, seakan masih ingin berlama-lama di keramaian. Begitu pintu lift menutup, suasana jadi lebih sunyi, hanya suara dengung mesin yang terdengar samar.
“Mas,” Bening menoleh hati-hati ke arah suaminya, matanya berusaha mencari celah pada wajah datar itu. “Capek, ya? Dari tadi kan bolak-balik salaman terus, terus masih sempat senyum-senyum juga. Aku aja pegel banget.”
Banyu hanya mengangkat sebelah alis, tidak menjawab panjang.
Bening tidak menyerah. Ia terkikik kecil, lalu mulai bercerita, “Eh, tadi lucu banget deh, Mas. Si Rani sama Ayu sampai rebutan mau foto sama aku. Katanya mereka nggak nyangka aku beneran nikah.” Ia berhenti sebentar, matanya berbinar seperti sedang mengingat ulang momen tadi. “Terus, tau nggak, pimpinan redaksi aku juga datang. Pak Herman. Aku sampai kaget banget, soalnya beliau jarang banget mau hadir di acara kayak gini. Terus temen-temen redaksi juga hadir, pada heboh semua. Mereka bilang nggak nyangka aku dulu yang sering jadi bahan gosip di kantor malah sekarang yang duluan nikah.”
Suasana lift masih sunyi, hanya suara Bening yang mengisi ruang sempit itu. Banyu hanya bergumam singkat, sekadar tanda kalau ia mendengar.
Bening menggigit bibirnya sebentar, lalu melanjutkan dengan nada lebih pelan, “Aku malah jadi kikuk tadi, Mas. Ngerasa kayak jadi pusat perhatian banget. Apalagi ada Pak Arifin, dosen kampusku dulu. Bayangin aja, aku yang dulu sering dimarahin beliau gara-gara telat masuk kelas, sekarang malah disalamin selamat menikah. Rasanya absurd banget.”
Banyu menoleh sebentar, hanya sekilas, lalu kembali menatap ke depan. Ia tidak banyak bicara, membuat Bening seperti sedang berbicara pada dinding lift. Tapi ia tetap saja melanjutkan ceritanya, mencoba mengisi kekosongan dengan tawanya sendiri.
Bening tertawa sendiri, matanya berbinar.
Banyu hanya menoleh singkat, lalu mengangguk kecil. “Hmm.”
Respon itu seadanya, hambar, tapi Bening tetap antusias.
“Nah, terus temen SMA aku juga datang. Si Andra, inget nggak? Dia yang dulu pernah—”
“Bening.” Suara Banyu datar, membuat gadis itu refleks menutup mulut.
“Apa?” tanyanya polos.
“Bicaramu nggak ada habisnya.”
Bening mendengus, tapi senyumnya tetap bertahan. “Ya maaf, aku cuma seneng aja. Jarang-jarang kan bisa cerita ke kamu.”
Lift berdenting, pintu terbuka. Mereka melangkah ke dalam kamar hotel yang sudah disiapkan. Begitu masuk, Banyu langsung melepas jas dan berjalan lurus tanpa banyak bicara.
Bening sibuk menaruh buket bunga dan goodie bag di meja, lalu melepas heels yang sejak sore membuat kakinya pegal. Ia menghela napas lega, tubuhnya terasa lebih ringan.
“Ya ampun, Mas… tadi tuh aku sampai dikepung wartawan kampus. Untung pimpinan redaksi ikut datang, jadi aku nggak terlalu salah tingkah. Malah dia sempat godain, katanya jangan sampai aku lebih sibuk ngurus rumah tangga terus lupa nulis.” Bening terkekeh pelan, tangannya merapikan gaun di bagian pinggang.
Ia beranjak duduk di tepi kasur, jemarinya memainkan buket bunga yang kini sudah diletakkan di samping. “Terus, si Rani sama Ayu juga nggak kalah heboh, sampai rebutan foto segala. Aku beneran kayak public figure dadakan deh tadi.”
Bening menoleh, separuh berharap ada komentar dari Banyu. Tapi sunyi. Ruangan hanya dipenuhi suara AC yang menderu lembut.
Keningnya berkerut. “Mas?” panggilnya lirih. Barulah ia menyadari, Banyu tak ada di dekatnya.
Dengan langkah ringan, ia bangkit dan mendorong pintu toilet yang ternyata tak terkunci.
“Mas, aku mau—” suara Bening terputus sendiri.
Langkahnya kaku di ambang pintu, napasnya tercekat.
Matanya membesar, menangkap pemandangan yang tak semestinya ia lihat. Banyu sudah setengah telanjang, kemeja putih itu menjuntai dari bahu, memperlihatkan d a da bidang yang berkilat samar oleh cahaya lampu. Kaos tipis di baliknya pun sedang ditarik, menyingkap garis otot perut yang begitu jelas.
Cahaya putih lampu kamar mandi jatuh tepat ke tubuhnya, menajamkan bayangan di tiap lekukan. Bening refleks menelan ludah, wajahnya memanas seketika. Tangannya yang masih menggenggam gagang pintu tiba-tiba dingin, sementara jantungnya berdegup begitu keras sampai ia yakin bisa terdengar.
Banyu menoleh perlahan. Sama sekali tidak ada keterkejutan di wajahnya. Tenang, bahkan terlalu tenang. Senyum tipis yang nyaris sinis muncul di sudut bibirnya. Tatapan matanya menusuk, mendongak seakan menantang.
“Keluar,” suaranya berat, datar, penuh kontrol. Ia berhenti menarik kaos, hanya berdiri dengan sorot tajam itu. “Kalau kamu tidak ingin malam pertamamu terjadi di kamar mandi.”