Suasana ruang redaksi pagi itu lebih riuh dari biasanya. Terdengarn bunyi notifikasi ponsel, terus bisik-bisik, hingga tawa kecil bercampur jadi satu. Beberapa jurnalis berkumpul di meja Bening, memegang ponsel sambil membaca komentar netizen.
“Gila, si Bening, dia jadi trending nomor dua di Twitty,” ujar Rio sambil terkekeh, matanya tak lepas dari layar. “Semua orang ngomongin duel si Bening sama si jaksa idola itu.”
Mira ikut menimpali sambil menyandarkan tubuh ke meja kerja Bening. “Idola apaan? Netizen malah pada muji dia cool banget. Cuma Bening yang berani ngadepin. Gue salut sih… tapi ya itu, gue takut karir Bening dipersulit.”
Bening baru saja keluar dari ruang meeting, wajahnya masih tegang. Di tangannya ada map berisi print-out artikel yang tadi dibahas bersama pimpinan redaksi dan tim legal. Ia berjalan cepat menuju mejanya, dan bukannya duduk pelan, ia justru meletakkan dokumen itu ke meja dengan suara buk! yang cukup keras hingga membuat beberapa kepala otomatis menoleh.
“Gimana hasil meeting tadi, Bening?” tanya Dita hati-hati, duduk di kursi sebelah. “Gue lihat muka lo kayak baru keluar ruang interogasi.”
Bening menarik napas kasar. “Hasilnya? Mereka mau gue take down artikel itu. Katanya terlalu berisiko, terlalu tajam, bisa nyeret kantor kalau sampai ada gugatan.” Suaranya penuh sindiran, jelas-jelas tidak puas.
Rio bersiul pelan. “Serius? Jadi harus diturunin, nih?”
“Ya itu yang mereka minta,” jawab Bening ketus. Ia meraih kursinya dan menjatuhkan tubuhnya di sana. “Tapi menurut gue, itu cuma alasan buat nutup mulut gue. Mereka lebih peduli reputasi kantor daripada suara rakyat.”
Bisik-bisik kecil segera terdengar dari meja sebelah. Dua junior baru, yang memang dari tadi mengikuti gosip itu, sengaja berkomentar agak keras.
“Eh, menurut lo, Bening bakal kejar terus semua kasus yang ditangani si Jaksa Banyu, nggak?”
“Pasti lah. Udah kayak musuh bebuyutan. Mukanya aja kalau lihat dia langsung merah.”
Bening mendongak tajam, alisnya terangkat. “Heh, ati-ati ngomongnya,” sindirnya dingin tanpa menoleh langsung. “Biar jelas aja ya! Gue nggak pernah suka sama cara dia kerja. Dingin, kaku, kayak robot. Hukum itu buat manusia, bukan buat dipuja-puja kayak kitab suci.”
Kalimat itu meluncur lantang, membuat seisi ruangan mendadak hening. Beberapa orang saling pandang dengan mata melebar, seolah baru menyaksikan deklarasi perang resmi.
Dita menatap Bening cemas, lalu berbisik, “Lo serius ngomong kayak gitu di depan semua orang? Itu bakalan makin-makin nyulut gosip.”
Bening menghela napas panjang, lalu menyalakan kembali laptopnya dengan gerakan cepat. “Biarin. Kalau mereka mau bilang gue cari sensasi, silakan. Yang jelas, gue nggak akan berhenti nulis soal si Jaksa tengil itu.”
Ruangan tetap hening, hanya terdengar ketikan Bening yang cepat, menusuk sunyi seperti derap peluru.
Suara batuk kecil terdengar dari ujung ruangan. Pak Surya, jurnalis senior yang sudah belasan tahun malang melintang di dunia pers, mendekat dengan tangan bersedekap. Wajahnya datar, tapi jelas-jelas menyimpan ketidaksukaan.
“Ben, gue ngerti semangat lo. Tapi langkah yang lo ambil itu… gila.” Ia menekankan kata terakhir dengan nada sarkastik. “Lo masih hijau, karier lo baru mulai, udah berani nabrak nama besar. Lo pikir dunia jurnalistik itu cuma soal idealisme doang? Lo kira lo bisa selamat kalau si jaksa itu beneran nuntut balik?”
Beberapa rekan kerja langsung menunduk pura-pura sibuk, tapi telinganya jelas terpasang.
Pak Surya melanjutkan, kali ini suaranya lebih menusuk. “Dulu banyak jurnalis muda kayak lo. Berapi-api, sok berani, pengen nulis ‘kebenaran’ versi mereka sendiri. Tapi tau akhirnya gimana? Kariernya mentok, jadi bahan gosip, terus hilang. Media itu keras, Ben. Nggak ada tempat buat orang yang nggak tahu cara main aman.”
Bening berhenti mengetik, rahangnya mengeras. Ia menoleh perlahan, menatap balik seniornya itu. “Kalau main aman, Pak, berarti kita cuma nulis apa yang atasan mau. Apa gunanya jadi jurnalis kalau cuma ngejilat kekuasaan?”
Kalimat itu bikin beberapa orang spontan menahan napas. Suasana makin panas.
Pak Surya tersenyum miring, tatapannya dingin. “Cepet banget lo ngegas. Gue cuma ngingetin aja, ya jangan sampe lo jadi korban dari mulut lo sendiri. Dunia ini nggak peduli lo idealis atau nggak. Yang mereka peduli cuma rating, klik, dan… siapa yang paling kuat.”
Bening menegakkan punggung, jemarinya menekan tombol enter dengan suara nyaring. “Kalau begitu, biar aja dunia tahu gue nggak takut sama yang ‘kuat’. Termasuk si Jaksa Pradipta itu.”
Ruangan kembali senyap. Beberapa rekan saling pandang dengan wajah tegang, sadar mereka baru menyaksikan pertarungan verbal antara idealisme muda melawan sinisme senior.
Saat itu juga, pintu kaca ruang redaksi terbuka, menampakkan sosok Raka, pimpinan redaksi mereka. Dengan nada tegas, ia menepuk pintu dan berkata, “Oke, cukup debatnya. Siang ini ada sidang korupsi proyek jalan tol. Gue mau ada yang turun liputan. Siapa yang siap?”
Belum sempat orang lain bergerak, tangan Bening sudah terangkat tinggi. “Gue. Gue mau dateng.”
Ruangan seketika kaku. Semua tahu betapa panas hubungan Bening dengan jaksa yang akan memimpin sidang itu.
Raka menatap tajam, alisnya bertaut. “Apa-apaan, lo nggak ikut. Selama artikel kemarin belum diturunin, kamu tetap off dari liputan terkait Banyu.”
“Pak, gue bisa handle. Artikel itu bakal gue turunin sekarang. Jadi siang ini gue tetap pergi.” Bening menjawab cepat, suaranya tegas, tak memberi ruang kompromi. Ia sudah menyalakan laptop, jari-jarinya lincah menekan tombol.
“Bening…” Raka menekan nada suaranya, mencoba mengingatkan. “Jangan keras kepala. Gue ngerti idealisme lo, tapi kantor ini juga punya aturan main. Kalau lo nekat, yang kena bukan cuma lo, tapi kita semua.”
Klik. Bening menekan tombol terakhir, lalu menutup laptopnya dengan suara buk! yang memecah hening. “Artikelnya udah turun. Jadi nggak ada alasan lagi untuk nahan gue. Jadi gue mau turun liputan siang ini.”
Beberapa rekan menghela napas panjang, sebagian menggeleng pelan. Mira menutup wajah dengan telapak tangan, Rio bersiul lirih, sementara Dita hanya bisa menunduk, pasrah. Bahkan Pak Surya, yang biasanya nyinyir, cuma berdehem pendek seolah malas berdebat lagi.
Raka terdiam beberapa detik, tatapannya menusuk Bening, tapi akhirnya ia juga hanya bisa menghela napas panjang. “Terserah Lo, Ben. Kalau lo jatuh, jangan bilang kantor nggak pernah ngingetin.”
Bening berdiri, meraih tas dan buku catatannya dengan wajah teguh. “Gue nggak akan jatuh, Pak. Yang jatuh itu mereka yang main kotor.”
Dan sekali lagi, semua orang di ruangan hanya bisa saling pandang, menahan komentar. Di antara mereka, yang paling berat napasnya justru Raka sendiri, ia tahu keras kepalanya Bening bisa jadi pedang bermata dua, yaitu menyelamatkan, atau menghancurkan.
***
Di koridor kejaksaan, bisik-bisik masih belum reda sejak pagi. Artikel tentang Banyu yang viral itu jadi bahan obrolan di hampir setiap meja.
“Jurnalis muda itu bener-bener cari ribut sama Pak Banyu,” bisik seorang staf administrasi, menunduk pura-pura merapikan dokumen.
“Iya, berani-beraninya nuduh di depan publik,” timpal yang lain. “Untung Pak Banyu tenang aja. Kalau jaksa lain, mungkin udah meledak.”
“Menurutku sih, dia cuma cari sensasi. Wartawan baru, kan? Lagi butuh panggung. Nggak usah ditanggapi.”
Bisik-bisik itu terhenti seketika ketika pintu ruang rapat terbuka. Banyu masuk dengan langkah mantap, membawa map tebal di tangannya. Wajahnya datar, nyaris tanpa ekspresi. Semua orang otomatis duduk lebih tegak.
Arif, salah satu jaksa muda, mencoba mengumpulkan keberanian. “Pak…” suaranya sedikit bergetar, “semua orang ngomongin artikel itu. Apa Bapak nggak mau kasih klarifikasi?”
Banyu hanya mengangkat kepalanya sebentar, lalu menutup map berkas dengan gerakan tenang. “Tidak ada yang perlu diklarifikasi. Semua sudah tercatat dalam dokumen sidang.”
Suaranya datar, nyaris tanpa intonasi. Seisi ruangan mendadak hening. Justru sikap dingin itu membuat orang makin yakin: Banyu benar-benar tidak peduli pada jurnalis itu.
Namun Andri, jaksa muda lainnya, masih mencoba. “Tapi Pak… kalau berita ini terus bergulir, bisa merusak citra kejaksaan. Publik bisa salah paham.”
Tatapan Banyu terangkat, menusuk tajam tapi tetap tanpa emosi. “Kalau citra dibangun dari gosip, berarti tidak ada nilainya. Hukum tidak bekerja dengan citra. Hukum bekerja dengan bukti.”
Seolah kalimat itu palu sidang, Andri langsung menunduk, kehabisan kata.
Banyu menghela napas singkat, lalu berdiri tegak. “Cukup soal itu. Jadwal kita hari ini apa?”
Seorang staf buru-buru membuka catatan. “Siang ini ada sidang lagi, Pak. Kasus korupsi dana proyek infrastruktur jalan tol.”
Banyu mengangguk tipis. “Bagus. Siapkan semua berkasnya sekarang. Jangan ada yang tertinggal. Kita harus masuk ruang sidang dalam kondisi siap.”
Nada datarnya tidak keras, tapi cukup untuk memotong sisa gumaman di ruangan. Semua langsung bergerak. Suara kertas berdesir, map dibuka, laptop dinyalakan, jemari sibuk menyalin data. Seolah kalimat singkat itu menjadi komando tak terbantahkan.
Banyu sendiri hanya berdiri tenang, merapikan dasi dan jas hitamnya sebelum beranjak keluar. Tatapannya lurus, seakan ia sama sekali tidak terusik oleh gosip yang barusan memenuhi kantor.
Pengadilan negeri siang itu jauh lebih padat dari biasanya. Kasus korupsi proyek jalan tol menarik banyak perhatian, bukan hanya dari kalangan hukum, tapi juga masyarakat yang merasa jadi korban. Kamera televisi berjejer di luar gedung, wartawan berdesakan, sementara warga duduk di kursi pengunjung dengan wajah tegang.
Sorak-sorai kecil terdengar setiap kali pintu ruang sidang terbuka. Panas matahari bercampur dengan hawa sumpek ruangan, membuat suasana semakin riuh.
Di barisan media, Bening sudah duduk dengan pulpen di tangan, buku catatan terbuka. Tatapannya tajam, penuh konsentrasi, menunggu momen yang ia incar. Sejak tadi, ia sudah bertekad begitu Banyu keluar dari ruang sidang, ia tidak akan membiarkan pria itu lolos tanpa pertanyaan.
Bisikan kecil dari rekan wartawan terdengar.
“Itu dia si Jurnalis yang nulis artikel kemarin.”
“Wih, katanya lagi duel sama Jaksa Banyu. Berani juga tuh cewek.”
“Lo yakin dia nggak takut? Nama Banyu kan lagi naik banget.”
Bening pura-pura tidak mendengar, meski rahangnya sedikit mengeras. Jemarinya menekan pulpen lebih erat, dadanya berdegup keras menanti detik yang ia tahu akan jadi sorotan.
Sidang korupsi proyek jalan tol itu dimulai tepat pukul satu siang. Ruang sidang penuh sesak dengan kursi pengunjung tidak menyisakan tempat kosong, kamera media berderet di belakang, sementara para wartawan siap dengan catatan mereka. Kasus ini memang cukup besar.
Hakim membuka sidang dengan suara tegas, lalu memberi kesempatan pada jaksa penuntut. Banyu berdiri, dengan jas hitam dan dasi terpasang rapi, lalu mulai membuka map tebal di tangannya. Suaranya dingin, datar, tapi tegas ketika membacakan kronologi perkara. Ia menyebut jumlah kerugian negara, aliran dana, hingga nama-nama pihak yang terlibat.
“Dengan ini, Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa atas pasal…,” suara Banyu menggema, setiap kata seolah dipahat dengan presisi.
Beberapa warga berbisik geram, sementara wartawan sibuk menulis cepat.
Giliran pengacara pembela berdiri. Nada suaranya berbeda, lebih emosional, lebih banyak retorika. Ia menekankan bahwa bukti-bukti masih lemah, bahwa kliennya hanyalah kambing hitam. Ruangan sempat riuh, sebagian penonton tak bisa menahan tawa sinis, sebagian lagi bersorak.
Setelah itu, hakim memanggil saksi-saksi. Satu per satu memberikan keterangan, sebagian menguatkan dakwaan jaksa, sebagian justru memberi celah bagi pembela. Banyu tetap tenang di kursinya, sesekali menunduk mencatat, sesekali melirik dokumen yang sudah dipersiapkan.
Ketukan palu hakim menutup jalannya sidang sore itu. “Sidang ditunda dan akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda pemeriksaan tambahan.”
Begitu hakim berdiri dan meninggalkan ruangan, suasana kembali riuh. Wartawan langsung berebut keluar, mencari posisi terbaik di depan pintu sidang. Para pengunjung berbisik-bisik, sebagian kecewa karena tidak ada keputusan langsung.
Bening sudah siap di barisan media. Sejak awal sidang ia tidak berhenti menulis, menandai setiap kalimat Banyu, bahkan setiap gestur kecil yang dianggapnya penuh kepalsuan. Jantungnya berdetak kencang, dan kali ini ia tidak berniat menunggu lama.
Begitu Banyu melangkah keluar ruang sidang, kerumunan langsung bergerak ke arahnya. Lampu kamera menyala, dan mikrofon ditodongkan. Dan sebelum ada yang sempat membuka mulut, suara lantang Bening memecah kerumunan.
“Jaksa Banyu! Lagi-lagi Anda menunda tuntutan. Apa artinya ini? Bukankah Anda justru memberi ruang bagi koruptor untuk bebas berkeliaran?”
Beberapa wartawan terhenyak, buru-buru menyalakan perekam. Suara gumaman memenuhi ruangan.
Banyu baru saja melangkah beberapa langkah dari ruang sidang ketika suara lantang Bening kembali memecah riuhnya kerumunan.
“Pak Jaksa, rakyat menunggu kejelasan, bukan sekadar penundaan. Apa Anda bisa menjamin para pelaku tidak akan melarikan diri selama sidang ini terus ditunda?”
Sorak kecil dan gumaman langsung terdengar. Wartawan lain buru-buru menodongkan mikrofon, sebagian kamera bergeser fokus ke arah Bening.
Banyu berhenti, menoleh perlahan. Tatapannya tetap tenang, nyaris tak terbaca. “Jurnalis seharusnya tahu bedanya jaminan dengan praduga. Tugas saya memastikan proses hukum berjalan sesuai aturan, bukan memberi janji kosong untuk memuaskan publik.”
Bisik-bisik makin ramai. “Wah, ketus banget jawabnya.”
“Berani banget tuh cewek nanya gitu.”
Bening tidak mundur. Ia melangkah maju, matanya menajam. “Aturan? Atau sekadar alasan untuk memperlambat keadilan? Korupsi ini sudah jelas merugikan banyak orang. Kenapa masih butuh waktu panjang untuk bertindak tegas?”
Banyu mengangkat map di tangannya, suaranya tetap datar. “Keadilan yang terburu-buru bukanlah keadilan. Jika Anda ingin cepat, silakan tulis fiksi. Tapi ini pengadilan, bukan panggung sandiwara.”
Ruangan kontan riuh. Beberapa wartawan menahan napas, ada yang menelan ludah gugup, sementara kamera menyorot wajah keduanya. Tidak ada yang berani menyela; semua mata menyaksikan duel terbuka antara seorang jurnalis muda yang penuh api dan jaksa yang berdiri membeku seperti es.
Di mata publik, mereka kembali tampak sebagai musuh abadi.
Namun di balik tatapannya yang dingin, Banyu sempat berpikir singkat dan benar-benar memperhatikan. Bening tidak seperti jurnalis lain yang biasanya akan gentar atau memilih mengalihkan pertanyaan ketika dibentur jawabannya. Wanita itu tidak mundur, justru semakin maju setiap kali ia coba tekan dengan kalimat hukum yang tegas.
‘Dia tidak akan berhenti hanya dengan satu bantahan,’ pikir Banyu dalam hati. Bibirnya tetap rapat, wajahnya tetap tanpa ekspresi, tapi di balik itu ia sadar, bahwa Bening, istrinya itu bukan lawan yang mudah disingkirkan.