Sore itu, panas matahari sudah mulai mereda, tapi aspal depan gedung kejaksaan masih menyisakan hawa gerah yang bikin kepala pening. Bening duduk di halte dengan wajah kucel, pundaknya jatuh ke belakang, dan kakinya sesekali menghentak lantai semen. Matanya sesekali menengok ke kiri-kanan, tapi tetap saja nihil, taksi yang ditunggunya tak kunjung datang.
Sudah hampir empat puluh menit ia di sana. Berkali-kali ia mencoba mengangkat tangan setiap kali mobil kuning melintas, tapi apesnya, selalu ada orang di dalam.
“Pada kemana sih taksi-taksi ini? Apa mereka konspirasi ya biar aku makin sengsara?” Bening menggerutu, rambut yang lepas dari kunciran ia tiup-tiup dengan kesal.
Hari ini rasanya tubuhnya remuk. Persidangan yang ia ikuti barusan menyedot energi habis-habisan, apalagi harus berhadapan lagi dengan sosok yang paling ia benci lihat wajahnya: Banyu. Jaksa kaku yang, sialnya, juga suaminya sendiri.
Bening menekuk wajah, mendengus panjang.
“Udahlah, kapan pun aku lihat dia, pasti bikin tensi darah naik. Mau jadi orang apa sih dia itu? Batu kali ya…” gumamnya sambil menepuk betis yang pegal.
Saat itulah suara halus mesin mobil berhenti tepat di depannya. Sebuah SUV hitam berkilau, dengan kaca jendela yang perlahan diturunkan. Dari dalam terdengar suara dalam, singkat, tegas.
“Masuk.”
Bening awalnya tak menggubris, matanya masih sibuk melototi jalan. Tapi begitu telinganya menangkap suara itu, kepalanya menoleh cepat. Mendongak.
“…Astaga. Mas Banyu.”
Pria itu duduk di balik kemudi, wajahnya tetap datar, seperti biasa. Bahkan di bawah cahaya senja, ekspresinya tetap tak berubah, dingin, cuek, seolah dunia di luar kaca mobilnya tak berarti apa-apa.
“Nggak perlu,” Bening buru-buru menepis, pura-pura santai padahal jantungnya berdetak lebih cepat. “Aku lagi nungguin taksi.” Ia kembali menunduk, menepuk betisnya sendiri yang makin kaku.
Namun rupanya Banyu bukan tipe orang yang bisa disuruh menunggu. Dalam hitungan detik, pintu mobilnya terbuka. Ia turun, melangkah mendekat dengan langkah tenang tapi mantap.
Bening langsung siaga begitu pria itu berada tepat di depannya. “Eh! Mau apa lagi kamu?!” serunya.
Banyu tidak menjawab. Tangannya meraih tas di genggaman kanan Bening, tas kerja yang berat karena laptop dan menariknya begitu saja.
“Eh! Hei! Balikin!” Bening sontak berdiri, matanya membelalak. Ia melangkah maju, tangannya hendak merebut tas itu lagi. “Banyu! Jangan seenaknya—!”
Pria itu tetap tak bergeming. Tatapannya dingin, suaranya rendah tapi cukup jelas menusuk.
“Semakin sore, orang-orang kejaksaan akan banyak yang pulang. Kalau kamu mau jadi pusat perhatian, silakan saja.”
Dengan itu, Banyu berbalik, membawa tas Bening tanpa menoleh lagi, lalu masuk ke mobilnya.
Bening berdiri terpaku, wajahnya panas karena malu sekaligus kesal. Matanya buru-buru menyapu sekitar, benar saja, ada beberapa pegawai kejaksaan yang baru keluar gedung, sempat melirik ke arahnya dengan tatapan penuh tanda tanya.
“Ya ampuuun… ini orang bener-bener cari masalah.” Bening menekap wajahnya dengan tangan. Mau tak mau, ia menarik napas panjang, menahan diri agar tidak berteriak di depan umum.
Karena Banyu pasti tidak akan pergi sebelum Bening ikut sama dia, jadi dari pada orang-orang tahu itu mobil Banyu dan ada Bening, lebih baik Bening langsung masuk.
Sesampainya di dalam mobil, Bening langsung pasang seatbeltnya, wajahnya benar-benar tidak bersahabat jika bersangkutan dengan Banyu.
Banyu menyalakan lampu sein, masuk ke jalur utama kota yang mulai ramai. Klakson-klakson bersahutan, motor berdesakan dari celah sempit, sementara mobil-mobil pribadi merayap tak sabaran. Di dalam kabin SUV itu, suasana hening, hanya suara AC dan radio kecil yang nyaris tak terdengar.
“Kalau lapar, di belakang ada roti isi,” ucap Banyu akhirnya, datar, tanpa menoleh.
Bening menyilangkan tangan di d**a, wajahnya menoleh ke jendela. “Aku nggak lapar!” sahutnya cepat, penuh gengsi.
Namun beberapa detik kemudian, tubuhnya sendiri mengkhianati. Perutnya meronta, mengeluarkan bunyi yang jelas, panjang, dan tidak bisa ditutupi lagi.
Grukkk…
Hening sesaat. Bening refleks menegakkan badan, matanya membesar.
Banyu masih fokus ke jalan, tapi garis tipis muncul di bibirnya. Senyum samar yang jarang sekali muncul.
Bening menoleh cepat. “Jangan senyum! Jangan!” serunya, pipinya sudah memerah.
Banyu menggeleng pelan, ekspresinya kembali datar, seolah tak ada apa-apa.
Dengan kesal, Bening meraih ke kursi belakang, tangannya mengobrak-abrik tas plastik yang ia temukan. “Ya udahlah! Wajar kalau aku lapar! Siapa juga yang kuat seharian ngadepin iblis di ruang sidang?”
Kalimat itu meluncur begitu saja, tanpa ia pikirkan. Begitu selesai bicara, Bening langsung menggigit bibirnya sendiri. Terlambat.
Banyu menoleh sebentar, tatapannya menusuk tapi tetap tenang.
Bening menggigit roti itu dengan muka masam. Padahal lapar, tapi gengsinya masih setinggi langit.
“Hmm… lumayan lah,” ujarnya, sambil tetap memelototi jalanan. “Tapi nggak bisa bikin kenyang kalau harus ngadepin iblis.”
Banyu melirik sekilas.
“Iblis?”
Bening menoleh cepat, menatapnya tajam. “Iya. Jaksa yang hobi banget ngegas orang di ruang sidang. Datar, nggak ada perasaan, ngomongnya kayak bacain pasal. Kamu kenal nggak?”
Banyu menatap lurus lagi, ekspresinya tak berubah.
“...”
“Ya ampun, pura-pura nggak kenal. Jangan-jangan jangan-jangan, itu kamu sendiri.” Bening menekankan nada suaranya, jelas menyindir.
Banyu masih diam, tangannya hanya merapikan posisi stir.
“Udah gitu, habis bikin orang lemes kayak habis lari maraton, sekarang sok-sok baik bawain roti. Apa jangan-jangan iblisnya punya hobi ngemanjain korban ya?” Bening menambahkan, mulutnya nyinyir tapi tetap ngunyah roti itu cepat-cepat.
Banyu akhirnya membuka mulut, suaranya pendek.
“Makan aja.”
Bening melotot. “Kok enak banget nyuruh-nyuruh, sih? Kamu pikir aku mau ngabisin roti kamu?!”
Banyu menoleh sebentar, datar sekali.
“Tadi lapar.”
Bening terdiam, roti setengah tergigit masih di tangannya. Pipi langsung terasa panas, apalagi karena perutnya barusan sempat berbunyi keras.
“...Aku cuma makan biar nggak mubazir!” balasnya buru-buru, suaranya meninggi.
Banyu kembali menatap ke depan. Bibirnya nyaris tak bergerak, tapi ada sesuatu di sana, ada garis tipis yang hampir menyerupai senyum.
“...”
Bening langsung cemberut. “Tuh kan, kamu senyum! Nyebelin banget! Aku nggak bercanda lho, Mas Banyuuu… kamu tuh emang iblis, iblis dingin!”
Bening mengunyah roti isi itu dengan wajah masam, matanya menatap lurus ke luar jendela. Sementara di dalam mobil, hening lagi-lagi mendominasi. Hanya deru mesin dan suara kendaraan di luar yang terdengar.
“Mas tahu nggak…” Bening tiba-tiba membuka suara, setelah meneguk air mineral dari botol kecil. “Aku tuh kalau liputan, paling nggak suka narasumber yang pelit ngomong. Masa aku nanya, jawabannya cuma iya atau nggak. Itu tuh bikin jurnalis trauma, tahu nggak?”
Banyu tak menoleh, hanya mengganti posisi tangan di kemudi.
“...”
“Dan tau nggak siapa contoh nyata narasumber paling ngeselin? Mas sendiri.” Bening menatap tajam ke samping, meski Banyu sama sekali nggak menoleh.
“...”
“Ya ampun, bahkan sekarang pun bener-bener dibuktiin! Aku ngomong panjang, Mas diem. Kayak nanya ke tembok. Nggak ada ekspresi, nggak ada suara, nggak ada empati.”
Banyu akhirnya bergumam pelan.
“Berisik, Bening.”
Bening langsung mendengus keras. “Hah?! Aku ini jurnalis profesional, Mas! Kalau aku berisik, itu demi menggali kebenaran.” Ia menepuk d**a bangga, lalu menambahkan dengan nada lebih sinis, “Kalau Mas, diemnya itu demi bikin orang sakit hati.”
Banyu menoleh sepersekian detik, lalu kembali lurus ke jalan. “Kamu lapar.”
Bening terbatuk saking kagetnya. “Apa hubungannya?!”
“Kalau lapar, kamu cerewet.”
Bening ternganga, lalu menepuk roti yang tinggal separuh. “Oh jadi semua ini salah roti, gitu? Mas, Mas… aku tuh bisa cerewet karena memang… ya emang aku cerewet!”
Banyu tidak menjawab. Tapi sudut bibirnya naik, tipis sekali.
Bening yang sigap langsung menunjuk wajahnya. “Nah! Tuh! Aku lihat! Mas senyum kan barusan! Jangan kira aku nggak notice!”
Banyu tetap menatap lurus, bibirnya sudah kembali datar.
“Halusinasi kamu.”
“Halusinasi apanya! Mas tuh kayak hewan langka, sekali senyum harusnya difoto, masuk headline, trending di portal berita. Judulnya: Jaksa Iblis Ternyata Bisa Senyum!”
Kali ini Banyu menghela napas, tenang sekali. “Kerjaanmu bikin berita, bukan bikin gosip.”
Bening mendengus, mulutnya manyun, tapi matanya berkilat puas. “Hah! Akhirnya Mas ngomong juga lebih dari tiga kata. Catet: prestasi hari ini.”
***
Setelah dua jam lamanya mereka terjebak di kemacetan Ibu Kota, akhirnya mereka sampai dan Banyu memarkir mobilnya di garasi rumah yang gelap, karena diantara dirinya dan Bening belum ada yang sampai di rumah, pun para pekerja di rumah Bening dan Banyu jika sudah sore hari mereka akan pulang, dan kembali lagi besok pagi.
Langit sudah sepenuhnya gelap, digantikan awan mendung yang tebal, menjanjikan hujan lebat yang akan turun malam ini. Tanpa banyak bicara, Banyu turun lebih dulu, mengambil tas laptop Bening dari kursi belakang. Begitu ia melangkah masuk, Bening masih duduk di dalam, enggan bergerak.
Hening.
“Mau di dalam sampai pagi?” tanya Banyu dengan suaranya yang datar. Ia berdiri di ambang pintu garasi. “Malam ini akan hujan.”
Bening mendengus. “Aku juga tau!” Ia melepas seatbeltnya dengan kasar, lalu keluar dari mobil dan menghentak pelan. “Nggak usah sok perhatian.”
Banyu tak menggubris. Ia melangkah masuk ke dalam rumah. Bening buru-buru menyusul, matanya waspada seolah Banyu adalah pencuri yang bisa tiba-tiba menghilang dengan barang-barangnya. Begitu masuk, ia langsung merebut tasnya, lalu berlari ke kamar mereka.
Rumah itu terasa dingin dan kosong. Sebuah kotak putih besar yang tergeletak di ruang tamu menjadi satu-satunya benda yang menarik perhatian. Bening meliriknya, tapi tak bertanya. Ia langsung masuk ke kamar, mengunci pintu. Beberapa saat kemudian, suara kunci diputar, dan Bening menyandar di balik pintu, napasnya memburu. Ia mendengar langkah Banyu yang menjauh, sepertinya menuju dapur.
“Apa-apaan sih dia itu? Sok baik. Kayak lupa aja tadi pas persidangan kayak gimana.” gumam Bening, tangannya meremas ujung blus yang ia pakai. Ia melihat pantulan dirinya di cermin, tampak lelah dan kacau. Rambutnya berantakan, dan pipinya masih sedikit merona akibat pertengkaran di mobil.
Karena lelah, Bening tak peduli lagi dengan apa yang dilakukan Banyu di luar. Ia melepas sepatu, lalu menghempaskan tubuhnya ke kasur. Namun, perutnya kembali protes, berbunyi nyaring. Roti isi dari Banyu sudah lama habis. Ia menarik napas panjang, menghela kesal.
Ia tahu Banyu takkan mengganggu. Sejak lama, mereka punya semacam perjanjian tak tertulis, jika Bening masuk kamar, Banyu tak akan mengusik. Hubungan mereka memang seformal itu. Bening mengambil bantal, menutupi wajahnya, mencoba mengusir rasa lapar dan penat.
Tak lama kemudian, terdengar suara ketukan pelan di pintu.
“Bening.” Suara Banyu, rendah dan singkat. “Makan malam.”
Bening tak menjawab.
“Pintu ini bisa aku dobrak.”
Mendengar ancaman itu, Bening langsung berdiri. “Nggak usah! Aku nggak mau makan!”
Hening.
“Aku tahu kamu lapar,” ucap Banyu, suaranya kini terdengar di balik pintu.
“Nggak!”
“Kamu bisa sakit.”
Seketika, Bening terdiam. Suara itu, nada bicara Banyu yang sedikit lebih lembut, membuatnya teringat pada momen-momen yang dulu. Sebentar… momen dulu? Mereka tidak memiliki momen manis selama empat tahun menjalin rumah tangga. Yang ada hanya suara ketus Banyu.
Dengan sebal, Bening membuka pintu. Ia melihat Banyu berdiri di depannya, mengenakan kaus polos hitam dan celana pendek selutut. Rambutnya sedikit berantakan, tidak lagi kaku seperti di ruang sidang. Penampilannya yang sederhana itu kontras dengan wajahnya yang tetap datar, tapi matanya… ada sesuatu di sana. Semacam kecemasan yang tersembunyi.
‘Dia ganti di ruang kerja?’ batin Bening ketika melihat suaminya sudah berganti pakaian.
Lalu berjalan mendekat ke arah Banyu.
“Cuma sup ayam,” ujar Banyu, seolah ia bisa membaca pikiran Bening.
Bening berjalan melewati Banyu, mengabaikannya dan menuju meja makan. Di sana, sudah tersaji mangkuk berisi sup ayam yang masih mengepulkan asap. Aromanya langsung menusuk hidung Bening, membuat perutnya kembali meraung. Di sebelahnya, ada segelas air putih dan obat maag.
“Aku nggak butuh obat!” protes Bening, walau ia mengambil obat itu.
“Kamu punya maag,” Banyu berjalan mendekat.
“Aku juga tau!” Bening menyahut cepat, lalu duduk.
Mereka makan dalam diam. Bening sibuk menyendok supnya, sementara Banyu hanya memperhatikan. Di luar, tetes hujan mulai turun, membasahi jendela, menciptakan melodi yang menenangkan. Awalnya satu per satu, lalu semakin deras. Suara petir juga sesekali menyambar, menerangi ruangan sesaat, lalu kembali gelap.
Bening memelankan suapannya. Supnya… enak. Gurih, hangat, dan bumbunya pas. Bening sampai sempat mengerjap kecil, karena ini jelas di luar dugaan. Selama ini ia tahu betul, Banyu bukan tipe orang yang turun ke dapur. Bahkan mie instan pun ia ragukan bisa Banyu masak dengan benar.
Ini pertama kalinya Bening merasakan masakan Banyu, dan lidahnya jelas bilang sup itu istimewa. Tapi gengsi mencegahnya mengaku. Ia hanya menunduk, terus menyendok pelan-pelan, berusaha menyembunyikan kalau dirinya menikmati setiap suapan.
Di sudut matanya, ia bisa merasakan tatapan Banyu yang datar, seolah sedang menunggu komentar darinya. Bening cepat-cepat berdeham, pura-pura cuek.
“Ya lumayan lah… buat ukuran sup darurat.”
Banyu tidak menjawab, hanya menatapnya.
“Aku… aku nggak bilang enak, ya! Aku cuma bilang… sup ini nggak seburuk yang aku bayangin.” Bening buru-buru meralat, wajahnya memerah. Banyu tetap datar, tapi garis di bibirnya kembali muncul. Tipis, samar, tapi Bening melihatnya.
Setelah makan, Bening kembali ke kamar. Ia mencuci muka, lalu berbaring lagi di kasur, tapi matanya tak bisa terpejam. Ia terus teringat kotak putih di ruang tamu. Rasa penasarannya memuncak. Perlahan, ia bangun, lalu berjalan mengendap-endap ke ruang tamu.
Banyu sedang duduk di sofa, memegang sebuah map. Kepalanya menunduk, tampak serius. Sisi Banyu yang ini jarang sekali ia lihat. Di kantor, Banyu selalu formal, kaku, dan dingin. Di rumah, ia memang pendiam, tapi jarang sekali terlihat selembut ini.
Bening mendekat perlahan, lalu mengintip. Map itu berisi… berkas perceraian.
Jantung Bening langsung berdebar kencang. Berkas itu berisi nama mereka berdua. Semua sudah terisi, lengkap dengan tanda tangan Banyu. Di baris untuk tanda tangan Bening, masih kosong. Bening terpaku. Ia tidak bisa bernapas. Selama ini ia mengira dia lah yang akan memutuskan hal itu, bukan Banyu yang berinisiatif lebih dulu.
Banyu mendongak, menyadari kehadiran Bening. Mata mereka bertemu. Banyu tidak menyembunyikan berkas itu. Tapi ia lupa bahwa berkas itu sejak pagi masih ia taruh di meja.