Bab 7

1696 Kata
Bening panik, buru-buru melangkah mundur, hampir tersandung karpet. Tangannya sempat menyambar sisi meja untuk menahan diri agar tidak jatuh. “Aku… aku cuma… mau ambil air,” katanya terbata, suara seraknya terdengar terlalu jelas di ruang tamu yang sunyi. Ia berbalik menuju dapur dengan langkah cepat, tapi hanya beberapa langkah, tubuhnya berhenti. Ada dorongan aneh dalam dirinya untuk menoleh lagi. Jantungnya berdetak begitu keras, seakan ingin pecah menembus dadanya. Dengan ragu, Bening memalingkan wajah, menunggu, berharap Banyu akan berkata sesuatu. Setidaknya satu kata, penjelasan singkat, apapun. Namun yang ia dapat hanya pemandangan Banyu yang menutup map itu perlahan, gerakannya tenang, tanpa ekspresi. Map itu ia letakkan kembali di meja, lalu ia menyandarkan tubuh ke sofa. Wajahnya tetap datar, dingin, sama sekali tak terganggu. Seolah tak ada yang terjadi. Bening menggigit bibir bawahnya, matanya bergetar menatap sosok suaminya itu. Ada ribuan kata yang memenuhi lidahnya, ingin ia lontarkan, tapi lidahnya kaku. Gengsi menahannya untuk bertanya. Takut menahannya untuk menggali lebih dalam. Kakinya berbalik lagi, kali ini benar-benar menuju kamar. Jantungnya masih menghantam rusuk, telapak tangannya dingin penuh keringat. Begitu pintu kamar terkunci, Bening langsung menyandar lemah, kepalanya terantuk pelan pada permukaan kayu. Tangannya menekan dadanya, seakan bisa menahan gemuruh yang liar di dalam sana. “Kenapa dia punya itu…?” bisiknya, nyaris tak terdengar. Tenggorokannya tercekat. “Dari kapan? Maksudnya apa…? Dia mau apa dariku?” Matanya menatap kosong ke arah lantai. Ingatan-ingatan kecil berkelebat: dinginnya Banyu di meja makan, tatapan menusuknya di ruang sidang, ketidakpeduliannya setiap malam. Semua potongan itu kini seperti menemukan kepingan baru: berkas perceraian. Bening berjalan ke arah ranjang dengan langkah gontai, lalu menjatuhkan diri ke kasur. Ia menarik selimut, menutup setengah wajahnya, tapi tubuhnya tetap bergetar. Di luar, suara hujan semakin deras. Tetes air menghantam jendela dengan irama yang tak beraturan. Petir sesekali menyambar, membuat cahaya putih berkelebat di balik tirai. Suasana kamar semakin mencekam. Bening memeluk bantal erat-erat, matanya panas. Tapi ia menolak menangis. Ia menolak memberi ruang bagi Banyu untuk membuatnya rapuh. Namun dalam hati kecilnya, ada rasa takut yang tak bisa ia bantah. Takut kehilangan. Takut bahwa, tanpa sadar, ia ternyata masih ingin Banyu ada. Hujan di luar semakin menjadi, seolah langit sengaja menutup rapat rahasia yang baru saja ia lihat. Dan Bening tahu, malam ini ia takkan bisa tidur nyenyak. Sekitar pukul sebelas malam, Banyu baru masuk ke kamar, ia langsung melihat Bening yang meringkuk di bawah selimut. Pikirannya kembali bertanya, apakah Bening sempat lihat isi berkas yang ditaruhnya itu, atau tidak. Akhirnya Banyu memilih untuk ikut berbaring di sebelah istrinya itu. Kasur sedikit melesak menyesuaikan berat tubuhnya. Udara kamar terasa dingin oleh sisa hujan yang masih turun di luar, namun kehangatan samar muncul ketika jarak mereka semakin dekat. Banyu memiringkan tubuhnya, menghadap ke arah Bening. Matanya berhenti pada wajah istrinya yang terlelap. Ada sesuatu yang membuatnya sulit berpaling, dari mata Bening yang teduh ketika terpejam, garis alis yang tidak terlalu tebal namun kokoh, hidung yang mancung, dan bibir yang biasanya tak berhenti mengeluarkan kritik. Malam ini, semua itu tenang. Pelan-pelan, Banyu menyampirkan anak rambut yang jatuh di dahi istrinya, gerakannya hati-hati, seolah takut membangunkan. Jari-jarinya berhenti sejenak, hanya untuk memastikan Bening masih terlelap. Pandangannya tetap melekat pada wajah itu, wajah yang dulu sempat ia benci karena terlalu manja, namun kini terasa asing sekaligus… menenangkan. Banyu menunduk lebih dekat, seolah ingin memastikan bahwa perempuan di hadapannya benar-benar nyata. Namun tepat saat jarak wajah mereka hanya tinggal sejengkal, kelopak mata Bening terbuka. Banyu terhenti. Ia kaku seketika, jantungnya berdegup lebih cepat. Bening menatapnya dari jarak sangat dekat. Ia bisa melihat jelas setiap detail wajah pria itu: garis rahang yang tegas, tatapan yang biasanya dingin namun kini sedikit goyah, bahkan helaan napasnya yang teratur. Sosok pria yang dielu-elukan banyak wanita di luar sana sebagai jaksa muda yang karismatik, tetapi bagi Bening, ia hanyalah sosok suami yang statusnya selalu ia ragukan. “Mas…” suara Bening memecah keheningan, lirih, hampir seperti gumaman. Banyu tidak menjawab. Ia hanya menatap, dan jakunnya naik-turun, menandakan hatinya tidak setenang ekspresi wajahnya. “Berkas itu…” Bening berusaha menahan suara agar tidak pecah. Matanya mencari sesuatu di balik tatapan Banyu, ketulusan, alasan, penjelasan. Namun yang ia lihat hanya dinding dingin yang biasa. Banyu mengalihkan pandangan. “Tidur, Bening.” Suaranya rendah, nyaris seperti perintah, meski terdengar juga sedikit bergetar. Ia kemudian membalikkan tubuhnya, memunggungi istrinya. Hening lagi. Banyu menatap kosong ke arah gelap kamar, remasan tangannya pada selimut makin kuat. Ia menyesal sudah lengah meninggalkan berkas itu di ruang tamu. Bodoh. Ia tahu, sekali Bening melihatnya, mustahil wanita itu bisa diam. Sementara di sisi lain, Bening menggigit bibir, matanya panas. Ia menatap punggung Banyu yang tegak, begitu jauh walau hanya berjarak beberapa sentimeter. Air mata mulai menggenang, ia menahan keras agar tidak jatuh. Namun, pertahanan itu runtuh ketika ia akhirnya berbisik dengan suara yang pecah. “Mas… mau ceraikan aku, ya?” Kalimat itu meluncur telak, menghantam udara kamar yang hening. Banyu langsung menutup mata rapat-rapat. Remasannya pada selimut semakin kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Rahangnya mengeras, menahan segala sesuatu yang ingin ia ucapkan. Tapi ia memilih diam. Keheningan yang muncul setelah kalimat itu justru lebih menyakitkan daripada jawaban apapun. *** Malam terasa panjang. Bening terbangun dengan kepala yang berat dan mata bengkak, sisa-sisa dari tangisan semalam. Jam di nakas menunjukkan pukul 05.30 pagi, dan ia tahu, ia tidak tidur. Hujan sudah berhenti, digantikan udara pagi yang sejuk dan cahaya remang-remang yang masuk dari celah gorden. Bening membalikkan tubuh. Di sebelahnya, sisi kasur yang biasa ditempati Banyu kosong dan rapi. Ia tahu Banyu juga tidak tidur. Ada semacam kesepakatan diam yang tercipta di antara mereka, bahwa lebih baik menyendiri dengan pikiran masing-masing daripada saling menyakiti dengan kata-kata. Pelan-pelan, Bening beranjak. Langkahnya ringan, seperti melayang. Pikirannya masih kosong, hanya ada satu hal yang terus berputar, berkas berisi surat perceraian yang ia lihat semalam. Ia berharap semua itu hanyalah mimpi buruk, namun ia tahu itu nyata. Bening berjalan ke kamar mandi, membersihkan diri, mencoba mencuci semua kegelisahan yang melekat. Ketika ia keluar, ia melihat Banyu sudah tidak ada di kamar. Setelah mengenakan pakaian kerjanya, Bening turun ke lantai bawah. Dari kejauhan, ia sudah bisa mencium aroma kopi dan nasi goreng yang dimasak oleh Mbak, asisten rumah tangga mereka. Bening melihat Banyu duduk di meja makan, membalik koran pagi dengan tenang, ekspresinya datar seperti biasa. Suasana pagi itu hening, hanya ada suara piring dan sendok. Bening merasa semakin bingung. Pria itu tampak normal, seolah tidak ada yang terjadi. “Sarapan, Nya, nasi goreng kesukaan Nyonya?” sapa Mbak, ramah. Bening hanya menggeleng, senyum tipisnya tidak sampai ke mata. “Terima kasih, Mbak. Aku lagi nggak selera.” Mbak memperhatikan sebentar, seakan ingin bertanya, tapi akhirnya memilih diam dan pamit keluar, meninggalkan mereka berdua. Bening hanya duduk sebentar. Ia meraih cangkir kopi buatan Mbak, mengangkatnya pelan, lalu menyesap tanpa suara. Ia tidak menyentuh makanan di meja, bahkan aroma sedap pun tidak sanggup menggugah seleranya pagi itu. Hening kembali menguasai ruangan. Bening meletakkan cangkirnya setelah tegukan kedua, lalu bangkit. Ia meraih tas kerja, siap beranjak pergi. Langkahnya cepat, seolah tak ingin lama-lama berada di ruangan yang sama dengan pria itu. Ia berdiri, bersiap untuk pergi, tas kerja di tangan. “Sarapan dulu, Bening.” Langkah Bening terhenti. Punggungnya menegang. “Aku nggak lapar," Bening menjawab, suaranya nyaris tak terdengar. Namun, ia tetap diam, memunggungi Banyu. Ia menunggu Banyu menghela napas, menunggu Banyu menyerah. Tapi, suara yang ia dengar adalah suara kursi yang bergeser. Banyu berdiri, melangkah mendekat. “Kamu bisa sakit, Bening.” ucap Banyu, suaranya tenang, namun penuh perhatian. Bening terdiam. Ia tidak bisa bergerak. Pertanyaan Banyu membuat air matanya hampir menetes. Ia takut berbalik dan melihat mata Banyu yang dingin, yang menyembunyikan rahasia besar. “Tsk. Yang bikin sakit juga siapa.” jawab Bening, akhirnya. Banyu terdiam mendengar kalimat itu, langkahnya ikut berhenti di belakang punggung Bening. Matanya menatap rambut istrinya yang tergerai rapi, punggung yang tegak namun bergetar halus menahan emosi. “Kalau aku yang bikin sakit…” suara Banyu terdengar rendah, nyaris seperti gumaman, “…harusnya aku juga yang obati.” Bening menggertakkan giginya. Ia menutup mata erat, tak mau air matanya jatuh di depan pria itu. Tangannya mencengkeram erat tali tas, seolah itu satu-satunya pegangan yang bisa membuatnya tetap berdiri. “Udah, Mas.” ucap Bening lirih, nadanya patah. “Aku telat kalau nggak berangkat sekarang.” Ia melangkah lagi, cepat kali ini, takut Banyu menahan. Namun, jemari Banyu lebih cepat. Tangannya menyentuh pergelangan Bening, menahan lembut, bukan keras, tapi cukup membuat langkah Bening kembali terhenti. Bening menahan napas, tidak berani menoleh. “Bening,” panggil Banyu, suaranya tenang, tapi berat. “Aku—” “Jangan.” potong Bening cepat, suaranya bergetar. “Jangan bilang apa-apa. Aku nggak mau dengar.” Banyu terdiam. Jemarinya masih melingkar di pergelangan Bening, hangat, tapi terasa menyesakkan. Bening menunduk semakin dalam, seakan pandangan ke lantai bisa melindunginya dari kenyataan. “Kamu salah paham,” ucap Banyu akhirnya, pelan, seperti mencoba meyakinkan, tapi tanpa penekanan berlebihan. Bening mendengus, getir. “Salah paham? Mas pikir aku nggak lihat apa yang ada di meja semalam?” Banyu menahan napasnya. Tidak ada ekspresi yang lolos dari wajahnya, tapi jantungnya berdetak lebih keras. Genggaman Banyu menguat sepersekian detik, sebelum akhirnya melemah kembali. “Bening…” Ia berhenti, menimbang kata-kata yang ingin keluar. Tapi semuanya terasa terlalu berbahaya. Bening tersenyum pahit, walau air matanya hampir tumpah. “Kalau memang Mas mau lepasin aku, bilang aja. Jangan bikin aku nunggu sampai aku sendiri yang hancur.” Kata-kata itu menusuk d**a Banyu. Ia ingin menyangkal, ingin menjelaskan, tapi lidahnya kelu. Ia tahu sekali, apapun yang ia ucapkan sekarang hanya akan membuat jurang di antara mereka semakin lebar. Keheningan kembali turun, hanya terdengar detik jam dinding yang berjalan lambat. Bening menarik napas dalam, berusaha menguatkan diri. “Lepasin, Mas. Aku harus kerja.” Banyu akhirnya menutup mata sejenak, lalu melepaskan genggamannya dengan perlahan. Tangannya turun ke sisi tubuhnya, dingin lagi. Bening segera melangkah keluar tanpa menoleh sedikit pun. Pintu rumah tertutup di belakangnya, meninggalkan Banyu berdiri sendirian di ruang makan. Banyu menatap kursi kosong di meja, nasi goreng yang tidak tersentuh, dan kopi yang mulai dingin. Tangan kirinya mengepal, sementara dalam hatinya, ia tahu semakin lama rahasia itu disembunyikan, semakin tajam luka yang akan tumbuh di hati istrinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN