Bab 8

1970 Kata
Ruang redaksi sore itu penuh riuh, seakan energi semua orang menumpuk di ruangan yang tak seberapa luas itu. Suara ketikan keyboard bertalu-talu, bersaing dengan dering telepon yang tak berhenti. Printer di pojok kanan meraung seolah tak pernah diberi waktu istirahat, dan sesekali terdengar teriakan editor memanggil reporter yang artikelnya belum rampung. Di tengah keramaian itu, nama Bening makin sering disebut. “Artikel lo keren banget, Ben. Gue sampai merinding bacanya,” celetuk Rio, salah satu rekan jurnalis yang duduk berseberangan, sambil mengangkat jempol ke arahnya. “Kalau bukan karena tulisan lo, kasus kepala desa itu mungkin nggak bakal viral begini.” Bening hanya menoleh sebentar, memberikan senyum tipis. Hatinya masih dipenuhi bara, meski ia berhasil menyalurkannya lewat tulisan. Artikel itu bukan sekadar laporan, tapi jeritan hatinya sendiri. Dan sekarang, jeritan itu didengar publik. Sejak artikelnya tayang, ia tak hanya jadi sorotan pembaca, tapi juga buah bibir di kalangan jurnalis muda. Ada yang kagum, ada yang khawatir, bahkan ada yang sinis, menyebutnya cari sensasi. Namun bagi Bening, semua itu bukan masalah. Yang terpenting, suaranya sampai. Fakta-fakta yang ia gali tidak lagi hanya mengendap di berkas sidang atau rak berdebu di kantor polisi, melainkan bergema ke seluruh penjuru lewat layar gawai masyarakat. “Bener kata gue kan,” Dita menepuk bahunya pelan. “Lo bakal jadi jurnalis besar. Cuma… hati-hati. Lawan lo bukan orang biasa.” Bening mendesah, matanya tetap terpaku ke layar laptop. “Kalau kita takut sama nama besar, apa gunanya jadi jurnalis, Dit?” Dita memutar kursinya, menatap sahabatnya lama. “Lo itu, ya… nggak pernah mikirin risiko. Gue tau lo idealis, Ben, tapi dunia ini nggak segampang itu. Lo pikir orang-orang berkuasa bakal diem aja liat tulisan lo nyebar?” Rio ikut menyahut, suaranya setengah bercanda, setengah serius. “Bening itu kebal sama ancaman, Dit. Kalau disiram air panas, paling juga dia tulis jadi feature esok harinya.” “Lucu,” Bening mengangkat alis, tapi senyumnya sinis. “Kalau kalian pikir aku main-main, mending jangan baca artikelnya sekalian.” Rio mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. “Santai, Nona. Gue kagum sama lo, sumpah. Cuma ya, jangan heran kalau tiba-tiba ada yang nggak suka sama kerjaan lo. Lo sekarang kayak orang nyalain petasan di tengah pasar.” Bening menutup laptop dengan bunyi klik keras. “Kalau semua orang takut, siapa yang bakal berani buka suara? Gue bukan pahlawan, tapi gue nggak mau jadi pengecut.” Suasana sejenak hening. Hanya suara keyboard dari meja sebelah yang terus berderak. Dita menatapnya, lirih berkata, “Kadang pengecut itu bertahan hidup lebih lama.” Ucapan itu membuat Bening terdiam sejenak. Ada sesuatu yang menusuk di dadanya, tapi ia buru-buru menepisnya. Ia tahu Dita benar—jadi jurnalis bukan sekadar menulis, tapi juga soal keselamatan. Namun, setiap kali ia ingat wajah orang-orang kecil yang suaranya ditelan kekuasaan, ia merasa tidak punya pilihan selain bicara. “Lo takut, Dit?” tanya Bening pelan. Dita menghela napas panjang. “Bukan takut. Lebih ke… realistis. Kita bukan super hero, Ben. Kita cuma manusia biasa. Kalau mereka mau bungkam lo, gampang banget.” Rio menambahkan, “Lo tau kan, beberapa jurnalis senior aja akhirnya kena ancaman serius. Ada yang dicopot, ada yang dipindahin, bahkan ada yang… hilang.” Bening menatap keduanya bergantian, lalu bersuara mantap. “Gue nggak bodoh. Gue tau risikonya. Tapi kalau gue berhenti karena takut, sama aja gue ngebiarin orang-orang itu menang.” Dita menatapnya lama, kemudian tersenyum getir. “Lo keras kepala. Gue nggak tau harus kagum atau nyubit lo biar sadar.” “Pilihannya gampang,” Rio ikut bercanda, mencoba mencairkan suasana. “Kagum, terus traktir gue makan. Gimana?” Bening mendengus. “Mimpi.” Mereka bertiga tertawa kecil. Sesaat ruangan yang penuh tekanan itu terasa lebih ringan. Sore merambat ke malam. Satu per satu meja mulai kosong, hanya tersisa beberapa orang yang masih mengetik. Lampu neon di langit-langit membuat wajah lelah semua orang terlihat pucat. Bening masih bertahan. Ia membuka dokumen baru, menuliskan judul kasar untuk artikel berikutnya. Tangannya terus bergerak, meski matanya berat. Dita berdiri, meraih tasnya. “Ben, pulang yuk. Udah malam. Besok masih bisa dilanjutin.” “Lo duluan aja,” jawab Bening tanpa menoleh. “Serius?” “Serius.” Rio yang juga bersiap pulang menimpali, “Hati-hati, Bening. Jangan kelamaan lembur. Redaksi bisa ganti lampu, tapi nyawa lo nggak ada cadangannya.” Bening hanya mengangkat tangan, tidak menoleh. Dita menatapnya sekali lagi sebelum akhirnya berjalan pergi bersama Rio. Pintu redaksi menutup, meninggalkan Bening dalam separuh kesunyian. Bening menatap layar laptopnya lama. Kata-kata Rio bergema di kepalanya. ‘Nyawa lo nggak ada cadangannya.’ Ia menggigit bibir, menekan kegelisahan yang tiba-tiba muncul. Ia tahu teman-temannya tidak salah. Tapi rasa takut selalu kalah oleh dorongan di dalam dirinya, dorongan untuk menulis, untuk bersuara. Suara hujan gerimis mulai terdengar di luar. Bening menoleh ke jendela, menatap lampu kota yang berkilauan samar. Dalam hati, ia bertanya pada dirinya sendiri, ‘Apa benar aku bisa terus begini? Apa benar aku kuat menghadapi semuanya sendirian?’ Namun, jawaban itu selalu sama, bahwa ia tidak akan mundur. Tidak peduli seberapa banyak orang mengingatkan. *** Bening melirik jam tangannya. 01.15 dini hari. Hari sudah berganti, tubuhnya terasa lelah, kepala berdenyut. Ia menghela napas panjang, merapatkan blazer yang sejak sore tadi masih melekat di bahunya. Taksi yang membawanya berhenti tepat di depan pagar rumah. Sopirnya hanya menguap kecil, lalu tersenyum ketika Bening menyodorkan uang. “Terima kasih, Pak,” ucapnya singkat. Begitu taksi melaju pergi, Bening menatap rumah megah itu dengan d a da sesak. Lampu teras masih menyala, pertanda ada seseorang yang belum tidur. Ia menekan bel sekali. Sunyi. Baru pada tekan kedua, langkah kaki terdengar dari dalam. Pintu terbuka. Banyu berdiri di sana dengan wajah datar. Kaus abu-abu tipis menempel di tubuh tegapnya, celana pendek rumah membuatnya tampak santai. Rambutnya sedikit acak-acakan, tanda ia mungkin baru saja bangun. Tidak ada sapaan, tidak ada senyum. Hanya tatapan singkat sebelum ia menyingkir ke samping, memberi ruang masuk. “Pulang jam segini?” suaranya serak, dingin. Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan berjalan menuju ruang tengah. Bening menahan napas. Seharusnya ia sudah terbiasa dengan sambutan seperti itu, tapi tetap saja dadanya menegang setiap kali melihat tatapan dingin Banyu. Ia melepaskan sepatu haknya perlahan, meletakkan tas di meja kecil dekat pintu, lalu menyusul langkah suaminya. “Ada liputan darurat,” ujarnya sekadar mengisi hening. Banyu sudah duduk di sofa, meraih cangkir kopi yang sudah setengah dingin di meja. Ia meneguk habis isinya, lalu berujar pelan, nadanya datar tapi terasa menusuk, “Liputan darurat… atau alasan untuk pulang tanpa ingat rumah?” Bening menoleh cepat, keningnya berkerut. “Aku jurnalis, Mas. Ini pekerjaanku. Apa salah kalau aku pulang terlambat karena kerja?” Banyu hanya menatap sebentar, lalu menaruh cangkir ke meja. “Seorang istri pulang dini hari. Menarik.” Ucapannya singkat, seolah mencatat fakta, tapi tetap terasa seperti sindiran. D a da Bening bergetar. “Seorang istri? Aku kira kita sepakat, ini cuma perjodohan. Jangan pakai kata ‘istri’ kalau Mas sendiri nggak pernah menganggap aku seperti itu.” Banyu diam. Ia menegakkan punggung, menatap Bening sekilas, lalu berkata dengan nada nyaris datar, “Sudah makan?” Pertanyaan itu membuat Bening tercekat. Ia tidak menyangka. Nada Banyu tetap dingin, tapi kata-katanya terdengar seperti bentuk perhatian—atau sekadar formalitas yang entah kenapa ia lontarkan. Bening menelan ludah. “Belum,” jawabnya akhirnya, lirih. “Aku nggak sempat.” Banyu bangkit, melangkah ke dapur. Bening hanya bisa menatap punggungnya yang tegap, merasa bingung. Tidak lama, ia kembali dengan sebotol air mineral yang ia letakkan di depan Bening. “Minum.” Bening menatap botol itu, lalu menatap Banyu. “Kenapa repot-repot ambilin aku minum?” tanyanya pelan. Banyu mengangkat bahu, wajahnya datar. “Kamu kelihatan haus.” Jawaban itu sederhana, tapi membuat d a da Bening terasa aneh. Ia mengambil botol itu, meminumnya perlahan, sementara matanya terus mencuri pandang ke arah Banyu yang sudah kembali duduk dengan tenang. Hening kembali mengisi ruangan. Hanya suara jarum jam yang terdengar berdetik. Banyu tiba-tiba berkata lagi, kali ini tanpa menatap Bening, “Kamu nggak takut pulang larut terus-terusan?” Bening menggenggam botol air lebih erat. “Takut? Aku lebih takut kalau suaraku nggak sampai ke orang-orang. Aku lebih takut kalau aku diem aja.” Banyu menoleh singkat. “Suara? Atau ambisi?” Pertanyaan itu membuat Bening terdiam. Ia menatap Banyu, ingin membalas, tapi lidahnya kelu. Ia tahu suaminya sedang menyindir, tapi entah kenapa, kalimat itu justru terasa lebih dalam daripada sekadar sindiran. “Kalau menurut Mas aku cuma cari sensasi, kenapa Mas nggak pernah ngomong langsung? Kenapa selalu lewat sindiran?” Bening akhirnya meledak, suaranya meninggi. Banyu hanya menatapnya lama. Pandangan dinginnya membuat Bening semakin gerah, seakan ditelanjangi tanpa diberi kesempatan membela diri. Ia akhirnya membuka suara, datar, tanpa intonasi. “Karena tidak penting. Karena semua ini… hanya sementara.” Kata-kata itu menampar lebih keras daripada teriakan. Bening mengerjapkan mata, merasakan perih menusuk di dadanya. “Masih tentang itu?” suaranya bergetar. “Masih tentang perceraian itu?” Banyu tidak langsung menjawab. Ia berdiri, langkahnya tenang menuju tangga. Baru di anak tangga pertama, ia berhenti, menoleh setengah. “Benar juga,” gumamnya lirih. “Pernikahan ini hanya hitungan waktu.” Bening terdiam, jantungnya berdegup kacau. Ia memberanikan diri melangkah mendekat, suaranya pecah, “Maksud Mas… kita benar-benar akan cerai?” Banyu menatapnya. Tatapannya tetap dingin, tapi ada sesuatu yang berkelebat samar di sana, sesuatu yang tidak bisa dibaca Bening. “Aku tidak bilang begitu.” Kalimat itu meluncur tenang, datar, tapi justru membuat Bening semakin bingung. “Lalu apa maksud Mas?!” Bening mendesak, matanya basah. “Empat tahun ini aku berusaha, meski pernikahan kita cuma perjodohan. Aku kira Mas memang menunggu waktunya untuk melepaskan aku. Sekarang Mas bilang semua ini sementara, tapi Mas juga bilang tidak akan menceraikan aku. Sebenarnya… apa yang Mas mau?” Banyu terdiam cukup lama, hingga hanya suara hujan di luar jendela yang terdengar. Akhirnya ia menarik napas, jawabannya singkat. “Aku tidak minat bercerai.” Bening tertegun. “Apa?” “Aku tidak tertarik mengulang sandiwara baru dengan orang lain.” Banyu menatapnya sekilas, dingin. “Kita sudah cukup jauh menjalani ini. Jadi, jangan pikir aku akan buang-buang waktu hanya untuk mengganti peran.” Kata-katanya terdengar kaku, seakan penuh logika dingin. Namun di telinga Bening, justru terasa seperti pengakuan terselubung. “Kalau begitu… kenapa Mas selalu membuatku merasa tidak diinginkan?” Bening berbisik, hampir tak kuasa menahan air matanya. Banyu kembali menoleh ke arah tangga, menghindari tatapan itu. “Kamu terlalu banyak bertanya.” Lalu ia kembali melangkah naik, meninggalkan Bening di ruang tamu dengan mata panas. Air mata hampir jatuh, tapi ia menahan. Ia menggenggam botol air di tangannya erat-erat, seolah ingin meremas rasa sakit yang menyesakkan. Kata-kata Banyu terus terngiang: dingin, pendek, tapi tajam menembus ke dalam. Beberapa menit kemudian, langkah Banyu terdengar lagi dari atas. Ia muncul di tangga, kali ini tanpa ekspresi berbeda. “Kunci pintunya. Jangan lupa. Jam segini rawan.” Bening menoleh, matanya basah. Ia mengangguk kecil, tak mampu bicara. Banyu menatapnya sebentar, lalu menggeleng pelan. “Aku tidak tahu,” ucapnya akhirnya, suaranya terdengar lelah tapi tetap datar. “Aku tidak tahu apa yang aku inginkan.” Ia berdiri, langkahnya tenang mendekat ke arah Bening. Hanya berhenti satu meter di depannya. Tatapannya kosong, seperti biasa, sulit ditebak apa yang sebenarnya ada di baliknya. “Aku tidak berencana menceraikanmu.” Kalimat itu meluncur begitu saja, tanpa intonasi, seolah ia sedang membicarakan hal remeh. “Itu saja.” Bening membeku. Jantungnya berdegup keras. Kata-kata sederhana itu justru membuat kepalanya penuh tanya. Sejak awal ia selalu yakin bahwa Banyu akan meninggalkannya pada akhirnya. “Kenapa?” suaranya nyaris berbisik. “Kenapa tidak?” Banyu tidak segera menjawab. Ia hanya menatap sebentar, tatapan dingin yang membuat Bening semakin gelisah, lalu berbalik. Langkahnya menuju pintu kamar terasa berat tapi mantap. Di ambang pintu, ia berhenti sejenak. Tanpa menoleh penuh, hanya melirik singkat. “Tidur. Kamu terlihat lelah.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN