Bening membuka pintu kamar utama di lantai dua dengan tangan bergetar. Ruangan itu terasa asing meski sudah bertahun-tahun menjadi tempat tidurnya bersama Banyu. Tempat tidur besar di tengah ruangan masih rapi, seolah tak pernah benar-benar mereka gunakan bersama. Bau parfum Banyu samar-samar masih tercium, menusuk hidungnya, mengaduk-aduk perasaannya.
Ia berjalan pelan menuju lemari, menarik pintu kayu berwarna coklat gelap itu. Dari dalam, ia mengambil beberapa potong pakaian, beberapa barang pribadi, dan tas kecil yang biasanya ia bawa bepergian. Tangannya sempat terhenti ketika melihat dasi Banyu tergantung rapi, seakan menatap balik padanya. Matanya panas, tapi ia cepat-cepat mengusap sudutnya.
Helaan napas berat lolos dari bibirnya. Betapa menyakitkannya harus memindahkan barang-barangnya sendiri dari kamar utama, ruangan yang seharusnya menjadi saksi cinta mereka, bukan mereka, tetapi hanya cinta Bening ke Banyu, dan menuju kamar tamu di bawah. Namun bagi Bening, malam itu ia sudah tak sanggup lagi bertahan di tempat itu. Kamar utama hanya menjadi pengingat bahwa cintanya tak pernah bersambut.
Dengan langkah tergesa, ia menurunkan baju dan barang-barangnya ke lantai bawah. Suara langkahnya di anak tangga terdengar pelan, beradu dengan detak jam dinding yang menguasai keheningan rumah besar itu. Matanya masih bengkak, tapi ia berusaha menegakkan kepala. Ia tak ingin siapa pun melihat kelemahannya, terlebih Banyu.
Sesampainya di lantai utama, ia berhenti di depan kamar tamu. Tangannya sempat ragu sejenak sebelum memutar gagang pintu. Saat pintu terbuka, aroma kayu dan udara dingin dari pendingin ruangan menyambutnya. Tanpa banyak pikir, ia melangkah masuk, membawa baju dan barang-barang itu, berniat tidur di sana malam itu.
Namun, langkahnya terhenti ketika suara berat dan dingin terdengar dari belakang.
“Apa yang kamu lakukan di sini?”
Bening memejamkan mata sesaat. Ia tak perlu menoleh untuk tahu siapa yang bicara. Suara itu terlalu familiar, terlalu sering ia dengar dalam nada tajam tanpa emosi. Dengan pelan, ia menoleh. Banyu berdiri di ambang pintu, wajahnya tegas, tatapannya menusuk lurus ke arahnya.
Banyu melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. “Kenapa kamu tidur di kamar tamu, Bening?” tanyanya, dingin, nyaris tanpa intonasi.
Bening tidak menjawab. Ia hanya berjalan lurus ke arah ranjang, membuka koper kecil yang sudah ia letakkan di sana sebelumnya. Tangannya sibuk merapikan pakaian seolah-olah tak mendengar. Banyu mendekat, gerakannya mantap, lalu mencengkram lengan Bening. Sentuhan itu dingin, keras, penuh tuntutan.
“Aku tanya, kenapa kamu di sini?” suaranya rendah, tapi jelas menekan.
Bening terhenti. Matanya berkaca-kaca, tapi ia tidak ingin menunjukkan air matanya. Dengan satu hentakan, ia melepaskan cekalan itu. Gerakan spontan yang selama ini jarang ia lakukan, sebab biasanya ia memilih diam dan menahan diri. Tapi kali ini berbeda. Luka di hatinya sudah terlalu dalam untuk lagi-lagi disimpan rapat.
“Untuk apa aku tidur di kamar utama?” ucapnya lirih tapi tegas, menatap lurus ke mata Banyu. “Bukankah Mas sendiri yang bilang… kalau pernikahan kita tidak akan lama?”
Kata-kata itu menusuk keheningan kamar. Banyu terpaku. Wajahnya tetap datar, tapi kilatan di matanya menunjukkan keterkejutan. Ia tidak menyangka kalimat yang dulu pernah ia lontarkan dengan enteng ternyata menjadi luka yang begitu dalam bagi Bening.
Bening menghela napas, lalu mengalihkan pandangan. Ia tidak sanggup terus menatap Banyu.
“Kalau begitu, biarkan aku tidur di sini. Jangan ikut campur.”
Ia melangkah mendekati Banyu, lalu dengan kedua tangannya mendorong d a da bidang pria itu. Dorongannya tidak keras, tapi cukup untuk menunjukkan perlawanan. “Keluar,” ujarnya tegas.
Banyu menahan diri. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi lidahnya kelu. Sifat dinginnya membuat ia selalu memilih diam ketika harus mengakui perasaan. Ia menatap Bening yang terus mendorongnya, tubuh mungil yang gemetar karena marah sekaligus sakit hati.
“Keluar, Mas Banyu!” Bening mengulanginya lagi, kali ini dengan dorongan lebih kuat.
Langkah Banyu terdorong ke belakang, hingga akhirnya tubuhnya sudah berada di luar kamar. Bening segera menutup pintu keras-keras, meninggalkan Banyu berdiri terpaku di koridor. Tangannya terhenti di gagang pintu, tapi ia tak berusaha membukanya lagi. Ia hanya berdiri kaku, menatap pintu kayu itu dengan sorot mata sulit ditebak.
Di dalam kamar, Bening bersandar di balik pintu. Lututnya lemas, tubuhnya merosot ke lantai. Air matanya jatuh deras, mengalir tanpa bisa ia bendung lagi. Ia menangis kejer, tapi tanpa suara. Ia menutup mulut dengan telapak tangan, berusaha keras agar Banyu di luar tidak mendengar tangisannya.
Sakit itu begitu nyata. Selama empat tahun pernikahan, ia berharap bisa sedikit demi sedikit meluluhkan hati Banyu. Ia mencintai lelaki itu dengan seluruh jiwanya. Ia mengejar sejak lama, mengorbankan harga diri, mencoba menjadi istri yang baik, mencoba membuat rumah tangga mereka terasa nyaman. Tapi kenyataannya, semua usahanya sia-sia. Banyu tetap sama: dingin, jauh, tak tersentuh. Dan malam ini, surat cerai yang diam-diam ia temukan menjadi bukti bahwa harapannya hanyalah mimpi kosong.
Pikiran Bening dipenuhi kenangan. Sejak awal pernikahan, ia tahu ini hanyalah perjodohan. Ia tahu Banyu menikahinya tanpa cinta, hanya karena ayahnya yang mengatur semua. Tapi di hatinya, cinta itu nyata. Ia bertahan, ia percaya bahwa perlahan-lahan Banyu akan melihat ketulusannya. Namun kenyataan terlalu pahit, bukan hanya Banyu tidak pernah luluh, tapi lelaki itu bahkan sudah menyiapkan jalan untuk berpisah.
Tangisnya semakin deras. Bahunya berguncang hebat, sementara dadanya terasa sesak. Ia merasa hancur, seolah-olah seluruh dunia meruntuh di hadapannya. Selama ini, ia selalu mencoba tersenyum di depan Banyu, selalu berpura-pura kuat, padahal hatinya retak sedikit demi sedikit. Dan malam ini, retakan itu pecah seluruhnya.
Di luar pintu, Banyu masih berdiri. Ekspresinya tetap dingin, tapi dalam hatinya ada riak kecil yang tak ia akui. Kata-kata Bening terus terngiang di kepalanya “Bukankah kamu sendiri yang bilang, kalau pernikahan kita tidak akan lama?” Itu membuat dadanya terasa berat, meski wajahnya tetap menolak menunjukkan kelemahan.
Banyu menarik napas dalam, lalu membalikkan badan. Ia melangkah pergi dengan tenang, meninggalkan pintu yang kini memisahkan mereka. Ia tidak mengetuk, tidak mencoba masuk lagi. Sifat dinginnya membuatnya lebih memilih diam, walaupun ada sesuatu di dalam dirinya yang mengusik.
Di kamar tamu, Bening terus menangis tanpa suara. Ia tidak tahu bagaimana harus melanjutkan hidupnya bersama pria yang bahkan tidak bisa ia sentuh hatinya. Ia merasa kalah, merasa cintanya yang tulus tak ada artinya. Dalam benaknya hanya ada satu kalimat: mungkin inilah akhir dari semua perjuangannya.
Malam itu, rumah yang besar dan megah terasa seperti penjara. Dua manusia di dalamnya terjebak dalam cinta yang tak pernah bisa bertemu di titik yang sama. Yang satu terlalu mencinta, yang lain terlalu dingin untuk mengakuinya. Dan jarak itu, yang seharusnya bisa dijembatani dengan waktu, justru semakin melebar oleh luka dan kata-kata yang tak pernah ditarik kembali.
***
Pagi itu rumah masih gelap dan lengang. Jarum jam dinding baru menunjuk angka lima lewat sepuluh menit ketika Bening melangkah ke dapur. Kakinya terasa berat, tapi pikirannya sudah bulat: ia harus berangkat lebih pagi, apapun alasannya.
Ia membuka lemari es, mengambil sepotong roti tawar, selai coklat, dan beberapa lembar keju. Gerakannya pelan, seolah tak ingin menimbulkan suara. Tangannya sedikit bergetar ketika mengoleskan selai di permukaan roti.
“Beginilah kehidupan seorang Bening, bikin sarapan sendirian, bikin kopi sendiri, apa bedanya gue ama jomblo-jomblo di luar sana. Empat tahun nikah, dan tetep aja gue makan sendiri.”
Ia menumpuk dua potong roti, menekannya perlahan hingga selai melekat. Saat memotong roti itu jadi dua bagian, matanya tiba-tiba panas. “Meja makan segede ini, setiap hari gue makan sendiri.”
Bening menarik napas panjang, lalu beralih membuat kopi. Aroma bubuk kopi memenuhi udara ketika ia menuang air panas ke dalam cangkir. Uap hangat mengepul, menyapu wajahnya yang pucat. Ia mengaduk pelan, menatap pusaran cairan pekat itu lama sekali.
Seketika ia ingat, Banyu dulu suka kopi hitam sebelum akhirnya memilih suka teh, tapi setiap kopi yang dibuat oleh Bening, Banyu tidak pernah menyentuhnya sedikitpun.
Air matanya mulai mengembang, bercampur dengan pahitnya kopi yang baru saja ia cicipi. Rasanya menyesakkan, tapi ia memaksa diri untuk menelan. “Gini banget sih rasanya nikah, Bening, bukannya dapet cintanya, dapet apesnya doang lo.”
Ia menaruh cangkir itu di meja makan, menyisakan setengah isi yang masih mengepul. Di sampingnya, ada piring kecil berisi potongan roti lapis yang baru saja ia buat. Sejenak ia terpaku, menatap meja makan besar itu kosong, dingin, tak berpenghuni.
Jam menunjukkan pukul lima lewat tiga puluh menit ketika ia meraih tas kerjanya. Langkahnya cepat dan mantap menuju pintu. Di meja makan tertinggal secangkir kopi yang sudah setengah habis dan piring kecil berisi sisa roti lapis. Jejak kecil yang tak akan berarti apa-apa bagi Banyu.
Bening membuka pintu, menghirup udara pagi yang masih basah oleh embun. “Semoga hari ini gue bisa kerja tanpa harus inget-inget si jaksa dingin itu.” Ia melangkah pergi, meninggalkan rumah yang selalu terasa asing baginya.
Beberapa jam kemudian, sekitar pukul tujuh, Banyu turun dari kamar dengan langkah tenang. Kemeja putih sudah melekat rapi di tubuhnya, wajahnya dingin seperti biasa. Ia menatap sekeliling ruang makan yang kosong, lalu bertanya pada Mbak Wati, pembantu rumah tangga yang baru saja datang.
“Mbak, Bening belum keluar dari kamarnya?” tanyanya singkat.
Mbak Wati menunduk sopan. “Sepertinya Nyonya sudah berangkat lebih pagi, Pak. Saya lihat ada bekas cangkir kopi dan piring kotor di dapur.”
Banyu hanya menghela napas kasar. Ia menarik kursi dan duduk di meja makan tanpa menanggapi lebih jauh. Pagi itu terasa lebih sunyi daripada biasanya, seakan rumah yang luas itu semakin menegaskan jarak antara dirinya dan istrinya.
Ketika sarapan baru saja dihidangkan, ponsel Banyu berdering di atas meja makan. Nama salah satu rekannya, Jaksa Pradana, muncul di layar. Dengan wajah tanpa ekspresi, ia meraih ponsel itu dan menggesernya.
“Ya, Pradana,” suaranya datar, tegas, tanpa basa-basi.
“Selamat pagi, Banyu,” suara dari seberang terdengar agak tergesa. “Aku dapat instruksi dari Kepala Kejaksaan. Siang ini ada agenda persidangan tambahan. Kasusnya perceraian, bukan pidana umum.”
Alis Banyu sedikit berkerut. “Perceraian?” ulangnya singkat. “Itu bukan ranahku. Kasih ke bagian perdata.”
Pradana terdengar ragu, lalu menjelaskan, “Pagi tadi sudah dibicarakan di rapat dadakan. Kasus ini agak sensitif karena berkaitan dengan pernikahan kontrak yang tidak tercatat jelas di hukum. Kepala ingin ada jaksa senior yang bisa menilai dari aspek norma dan kepatutan hukum. Atasan langsung menyebut namamu.”
Banyu mendengus pelan, suaranya dingin. “Aku menangani tindak pidana khusus. Korupsi, suap, pencucian uang. Bukan perkara rumah tangga.”
“Aku tahu,” jawab Pradana cepat. “Tapi Kepala Kejaksaan menganggap kamu punya kapasitas analisis lebih tajam dalam perkara yang rawan kontroversi. Katanya, kamu bisa menjaga perspektif hukum tetap objektif.”
Keheningan terjadi sesaat. Banyu menatap kosong ke cangkir tehnya, uap panas masih mengepul tipis. Dalam hatinya ada penolakan kuat, tapi ia tahu instruksi atasan jarang bisa diganggu gugat.
Pradana kembali menekankan, “Aku hanya menyampaikan perintah. Kalau kamu menolak, aku harus sampaikan penolakan itu langsung ke Kepala. Kamu tahu konsekuensinya.”
Banyu menutup mata sebentar, lalu menghela napas berat. “Baiklah. Kirimkan berkas lengkapnya ke mejaku sebelum pukul sebelas. Jangan ada yang terlewat, terutama riwayat pernikahan mereka dan dasar gugatannya.”
“Siap. Aku kirim segera.” Nada lega terdengar dari suara Pradana. “Terima kasih, Banyu.”
Tanpa menambahkan kata-kata lain, Banyu menekan tombol merah. Panggilan terputus. Ia meneguk tehnya sampai habis, rasa hangatnya nyaris tidak terasa di lidah yang kelu. Kursinya berderit pelan ketika ia berdiri. Wajahnya tetap tenang, nyaris tak menunjukkan riak emosi apa pun, meski pikirannya tidak sepenuhnya bebas. Bayangan Bening semalam, mata sembab, suara bergetar, tubuh yang memutuskan menjauh darinya, terus menghantui kepalanya.
Langkah Banyu teratur menuruni tangga rumah. Di depan, sopir pribadinya sudah menunggu. Tanpa sepatah kata, ia masuk ke dalam mobil, duduk di kursi belakang, dan segera membuka ponselnya untuk memeriksa email masuk. Sepanjang perjalanan, tatapannya kosong ke luar jendela. Jalanan pagi yang sibuk tak sedikit pun menyita perhatiannya. Setiap kilasan ingatan membawa kembali momen semalam.
Setiba di gedung kejaksaan, Banyu keluar dari mobil dengan langkah tegap. Gedung berlantai tiga itu ramai oleh pegawai yang lalu lalang. Suara sepatu kulit menghentak lantai koridor, menciptakan aura kehadiran yang langsung menarik perhatian.
Beberapa junior yang melihatnya segera berdiri dari kursi masing-masing. “Selamat pagi, Pak Banyu!” sapa mereka serempak, penuh hormat.
Banyu menoleh sekilas. Tatapannya tajam, tapi ekspresinya datar. “Pagi,” balasnya singkat.
Seorang staf muda berlari kecil menghampiri sambil membawa map coklat. “Pak, ini ada berkas tambahan untuk sidang siang nanti. Sesuai arahan Pak Kepala.”
Banyu menerima map itu tanpa senyum. Ia membuka lembar pertama sambil berjalan, matanya cepat memindai isi berkas. “Lengkapi daftar saksi dan dasar gugatannya. Jangan ada bagian administratif yang terlewat. Kalau ada yang terlewat, saya kembalikan.”
Staf itu menunduk cepat. “Baik, Pak. Akan segera saya cek ulang.”
Banyu tidak menoleh lagi. Ia hanya mengangguk kecil lalu melangkah menuju ruang kerjanya. Junior-junior yang berdiri di sepanjang koridor saling bertukar pandang, sebagian menahan napas. Aura dingin yang melekat pada Banyu sudah menjadi ciri khas, tegas, menuntut, sekaligus tak bisa ditembus.
Di dalam ruang kerjanya, Banyu meletakkan map berkas di meja kayu besar yang penuh dengan dokumen. Ruangan itu rapi, setiap buku hukum tersusun sesuai kategori. Di sudut meja, terdapat foto resmi dirinya bersama pejabat tinggi kejaksaan, sebuah simbol karier cemerlang yang ia raih dengan kerja keras.
Ia membuka berkas itu lagi, jemarinya mengetuk permukaan meja sambil membaca. Kalimat-kalimat dalam gugatan perceraian pasangan itu terasa menusuk, seperti cermin yang menyorot langsung pada kehidupannya.
Dengan suara rendah, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri, ia bergumam, “Kontrak pernikahan…”
Suasana hening. Hanya detak jam dinding yang terdengar, bersahut dengan suara kertas ketika ia membalik halaman. Namun di balik kesunyian itu, pikirannya kembali dipenuhi wajah Bening. Pandangan matanya, tangis yang ditahan, serta kata-kata pedih yang semalam ia dengar, semua menyeruak tanpa bisa ia cegah.
Waktu bergulir cepat hingga jam makan siang tiba. Banyu menerima ajakan beberapa rekannya untuk makan bersama di kantin kejaksaan. Kantin itu tidak mewah, tapi cukup nyaman dengan meja kayu panjang dan aroma masakan rumahan. Mereka duduk berempat dan membicarakan agenda persidangan siang nanti.
“Kasusnya agak unik,” kata salah seorang rekannya sambil menyendok nasi. “Suami istri yang mau cerai, tapi alasannya bukan kekerasan, bukan juga masalah ekonomi. Katanya, si suami mulai jatuh cinta beneran sama istrinya.”
Rekan lain terkekeh. “Lucu ya. Biasanya orang cerai karena sudah nggak cinta, ini justru karena cinta.”
Banyu hanya mengernyit, meletakkan sendoknya sebentar. “Detailnya?” tanyanya datar.
“Awalnya mereka menikah hanya untuk kontrak. Suaminya butuh status untuk bisnis, istrinya butuh perlindungan hukum dan stabilitas. Semacam pernikahan formalitas. Mereka sepakat tidak ada cinta, tidak ada kewajiban emosional. Hanya menyeimbangkan kepentingan masing-masing,” jelas rekannya.
Yang lain menambahkan, “Tapi setelah berjalan beberapa tahun, si suami bilang dia benar-benar jatuh cinta sama istrinya. Masalahnya, istri menolak, karena menurutnya itu menyalahi kontrak awal. Akhirnya si suami menggugat cerai, bilang dia tidak bisa terus hidup dengan sandiwara, seolah rumah tangga mereka bahagia padahal tidak.”
“Dan istrinya menolak perceraian itu,” sahut rekannya lagi. “Katanya tujuan pernikahan mereka jelas dari awal, dan mereka sudah punya anak. Dia tidak mau anaknya jadi korban broken home.”
Banyu menatap kosong ke piringnya. Ucapan rekan-rekannya seolah menyalakan sesuatu di kepalanya. Situasi itu terasa terlalu dekat dengan dirinya sendiri. Ia menghela napas tipis, lalu membuka suara dengan nada formal.
“Secara yuridis, pernikahan kontrak seperti itu tidak diakui dalam sistem hukum kita. Tidak ada klausul yang melegalkan pernikahan hanya berdasarkan kesepakatan sementara tanpa landasan lahir batin. Kalau suami menggugat cerai, alasan yang bisa diterima adalah tidak terpenuhinya kewajiban suami, baik nafkah lahir maupun batin. Itu yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan.”
Rekannya mengangguk-angguk, menyimak serius.
“Sedangkan kalau istri berusaha melegalkan pernikahan kontrak, untuk saat ini tidak ada dasar hukum. Itu bertentangan dengan norma agama dan sosial. Jadi, secara hukum, tidak bisa dipertahankan. Pernikahan di mata negara harus sah, lengkap dengan niat membentuk rumah tangga, bukan sekadar kesepakatan hitam di atas putih,” lanjut Banyu, suaranya dingin tapi tegas.
Seorang rekan menimpali sambil mengaduk minumannya. “Ya, pada akhirnya rumah tangga itu memang harus ada cinta. Kalau tidak, cepat atau lambat akan runtuh. Hukum boleh mengatur, tapi fondasinya tetap perasaan.”
Yang lain ikut mengiyakan. “Benar. Kontrak bisa jadi alasan awal, tapi untuk bertahan, cinta yang menentukan.”
Banyu meletakkan sendoknya, menghentikan makannya. Kata-kata itu menghantam pikirannya. Bening kembali terbayang, bagaimana istrinya menatapnya dengan mata basah, bagaimana suaranya gemetar ketika berkata bahwa pernikahan mereka tidak akan lama, persis seperti yang pernah ia ucapkan sendiri. Rasanya seperti ia sedang menghadapi persidangannya sendiri, bukan sekadar kasus orang lain.