Sekar duduk di tepi ranjang dengan napas yang masih tersengal. Cahaya lampu tidur yang redup memantulkan bayangan dirinya di cermin besar di seberang kamar, memperlihatkan wajahnya yang masih memerah dan mata yang mulai dipenuhi rasa sesal. Dimas masih berbaring di sebelahnya, satu lengannya melingkari pinggangnya, seolah enggan melepaskannya. Hatinya berdebar, bukan lagi karena gairah yang baru saja menyelimuti mereka, tetapi karena rasa bersalah yang mulai menyesakkan dadanya. Sekar menunduk, menggigit bibirnya. "Dimas, kita harus berhenti." Suaranya lirih, nyaris tak terdengar, tetapi tegas. Dimas mengangkat kepalanya, menatap Sekar dengan mata yang masih dipenuhi gairah dan kebingungan. "Kenapa? Apa yang kita lakukan salah?" Sekar menelan ludah. "Tentu saja ini salah, Dim. Aku suda