5

654 Kata
Selama di Kantor, pikiran Dimas semakin kacau dan tidak fokus saat bekerja. Otak Dimas benar -benar sudah dipenuhi dengan bayangan Sekar serta suara desahan manjanya yang mampu membuat ubi ungunya seketika tegak dan mengeras di dalam boxer. "s**t!" umpat Dimas sambil menyandarkan tubuhnya di kursi kerjanya. Dimas mengedarkan pandangannay dan membenarkan letak posisi ubi ungunya yang tersiksa karena tercepit oleh boxer. Dimas menarik napas dalam. Haruskan ia pergi ke toilet sepagi ini? Padahal yang lain sedang sibuk mengerjakan pekerjaan mereka. Dimas menggaruk kepalanya yang sama sekali tak gatal dan membenarkan letak kaca matanya. Komputernya sudah menyala sejak tadi dan menampilkan beberapa angka yang semakin mmebuat ata Diams berputar. "Apa yang telah kamu kamu buat padaku, Sekar? Kenapa aku jadi tergila -gila padamu? Bahkan aku merindukan kamu di saat seperti ini," ucap Dimas lirih. Ayolah Dimas, kalau sekali lagi melakukan hal terlarang itu pada Sekar juga tidak akan ada yang tahu. Toh, Om Herman itu sibuk bekerja. "Dor! Ngelamun aja," Suara Tita yang cekikikan sedang mengejek Dimas yang sejak tadi memang sedang melamun. Ya, melamunkan Sekar. Gadis itu terlalu istimewa dan sempurna bagi Dimas. "Hish ... Tita! Ngagetin aja sih!" ucap Dimas langsung menegakkan duduknya dan berpura -pura sedang serius bekerja lagi. Jangan sampai ita tahu, kalau ubi ungu Dimas sedang berada di puncak tertinggi. Tita meletakkan setumpuk berkas penting di meja kerja Dimas lalu berjongkok di samping kursi Dimas. Dimas melirik ke arah Tita yang menghadap ke arahnya. Tanpa sengaja, Dimas melihat isi kemeja Tita yang terbuka. Dad4 Tita sangat besar. Ukurannya dua kali lebih besar dari milik Sekar. Entah rasanya seperti apa? Enak yang besar atau yang kecil? "Hah! Kenapa aku memikirkan rasa? Kenapa tiba -tiba kepikiran untuk mencicipi Tita? Sungguh gila! Tidak akan! Aku harus menghentikan semua hasrat gila ini! Tapi, Aku yang tersiksa kalau seperti ini terus," batin Dimas di dalam hat. Dimas menatap lekat apa yang sebenarnya di lakukan Tita di bawah. "Kamu ngapain sih? Nyari apa?" tanya Dimas pada Tita. ita mengangkat wajahnya dan tersenyum lebar pada Dimas. "Ngadem ... Ruangan Tita panas," jawabnya santai. "Nanti di cari orang kamu. Lagian nanti kalau ada yang masuk di kira kita ngapa -ngapain," ucap Dimas lagi. "Dih ... Ruangan ini gak cuma ada kamu. Lihat, itu banayk orang. Mana mngkin kita mau ngapa -ngapain di sini," jelas Tita sewot. Tita pun berdiri sambil menyandarkan bok0ngnya di pinggiran mej. Tubuhnya yang seksi dalam bautan rok span dan blazer terlihat sangat sintal sekali. "Cepet tanda tangan ih," titah Tita dengan cepat. "Iya!" jawab Dimas lagi. Dimas mengambil tumpukan berkas itu dan mulai mendatangani. "Dim ... Kamu gak punya pacar?" tanya Tita penasaran. "Enggak," jawab Dimas singkat. "Gak pengen punya pacar?" tanay Tita lagi. "Enggak," jawab Diams sambil menoleh ke arah ita. "Kenapa? Gagal move on?" tanya Tita tertawa. "Kepo," jawab Dimas. "Gak kepo sih. Cuma minggu depan kan ada acara kantor. Kita smeua mau ke Villa. Rata -rata pada bawa pasangan. Kamu bakal sendirian?" tanya Tita pada Dimas. "Emang kamu punya pacar?" tanya Dimas penasaran. Dimas memang kurang peduli dengan teman -teman kantornya. Hidupnya selama ini terlalu datar dan lurus. "Punya dong," jawab ita sambil membungkukkan tubuhnya. Jelas saja belahan dad4nya bisa dinikmati Dimas dengan mudah. Eits ... Lihat ... Kenapa di bagian dad4 Tita banyak bercak merah. Hmm ... Nakal juga gadis ini. Padahal wajahnya imut. "Oh udah punya? Pantes merah semua," ucap Dimas kembali menggoreskan penanya di atas kertas. "Wah ... Pakai ngintip lagi," ucap Tita terkekeh sambil membenarkan pakaiannya. "Enak aja. Kamu yang nunjukkin tadi," jelas Dimas pada Tita. Tita tertawa dan kembali berjongkok di bawah. Kakinya pegal sekali. "Belum pernah ya?" goda Tita. "Belum pernah apa??" tanya Diams serius. "Bikin merah cewek?" ucap Tita santai. Dimas terdiam. Ia tidak mungkin bilang apa -apa pada Tita. Kantor ini sebagian sahamnya milik Om Herman. Siapa tahu mereka semua tahu tentang hubungan Om Herman dan Sekar. Lalu, Jika Dimas salah ucap saja tentang Sekar. Hidupnya dan hidup Sekar bisa berhenti sampai disini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN