10. Pemuda Kampung Sebelah

1266 Kata
Usman menyalakan rokok kretek, menghembuskan asapnya santai. “Pak Arman, udah malam, lho. Besok pagi kita harus cek material datang jam tujuh.” Arman tidak menjawab. Matanya masih terpaku ke jalan sepi di depan warung. “Masih mau di sini sebentar lagi. Entah kenapa, saya ngerasa tenang aja di sini.” Usman tertawa pelan. “Tenang karena kopi, atau karena tahu rumah Bik Ningsih tidak jauh dari sini?” Arman melirik sekilas dengan ekspresi datar. “Mulut kamu makin lama makin lancang, Man.” “Tanda saya udah mulai akrab sama bos,” jawab Usman tanpa rasa bersalah. Arman hanya menggeleng. Ia menatap jam tangannya — hampir pukul sembilan lewat tiga puluh. Ia berpikir untuk segera pulang, tapi sesuatu membuatnya menunda. Mungkin karena suasana desa yang damai, atau mungkin karena entah siapa yang diam-diam masih berputar di pikirannya: Indira. Lalu, tanpa diduga, suara mesin motor matic terdengar pelan mendekat. Namun suaranya tidak stabil — dug dug dug… — lalu berhenti tepat di depan warung. Usman yang duduk di hadapan Arman langsung menoleh. “Lho, itu bukan Mbak Indira, Pak?” tanyanya sambil menyikut lengan Arman cepat. Arman spontan berdiri. Di bawah cahaya temaram lampu jalan, tampak Indira menuntun motor putihnya dengan wajah sedikit cemas. Ia memakai jaket tipis dan celana panjang, rambutnya diikat asal, wajahnya sedikit berkeringat. “Benar,” gumam Arman, lalu tanpa pikir panjang, ia melangkah keluar dari warung. “Pak Arman!” seru Usman yang ikut bergegas mengekor. “Pelan-pelan, Pak. Nanti dikira niatnya aneh.” Tapi Arman tidak peduli. Ia menghampiri Indira yang tengah memeriksa bagian bawah motor dengan senter dari ponselnya. “Kenapa, Mbak Indira? Motornya rusak?” tanya Arman dengan suara rendah namun terdengar khawatir. Indira menengadah, sedikit terkejut melihat siapa yang datang. “Oh, Pak Arman… Iya, ini tiba-tiba mogok. Padahal bensin masih ada, tadi jalannya juga lancar aja.” “Boleh saya lihat?” ujar Arman refleks, tapi begitu melihat motor matic itu, ekspresinya berubah kikuk. Ia sama sekali tidak mengerti urusan mesin. “Eum… kayaknya… lebih baik Usman aja yang cek.” Usman menepuk dahinya pelan tapi mendekat juga. “Sini, Mbak, saya lihat. Siapa tahu cuma kabel businya lepas.” Indira mundur sedikit memberi ruang. Arman menatap pemandangan itu, mencoba tampak tenang, padahal hatinya berdebar aneh. Melihat Indira di malam seperti ini, dengan wajah sederhana tanpa riasan, justru membuatnya merasa sesuatu yang tak ia pahami. Usman jongkok, membuka penutup mesin kecil di bawah jok. “Hm… ini bukan cuma kabel, Pak. Kayaknya ada yang longgar di bagian karburator. Bisa sih diperbaiki, tapi butuh waktu.” Arman menatap langit yang mulai gelap total. “Udah malam begini, nggak mungkin Mbak Indira nunggu di pinggir jalan.” “Nggak papa, Pak,” sahut Indira cepat. “Rumah saya nggak jauh. Saya dorong aja, besok pagi Wawan bisa bantu benerin.” Arman menggeleng cepat. “Nggak bisa. Ini sudah malam, jalan sepi. Nanti kalau ada orang jahat gimana? Lebih baik saya antar pulang aja, Mbak.” “Lho, tapi—” “Nggak ada tapi-tapian. Motor Mbak biar saya suruh Usman urus nanti. Saya antar sekarang.” Indira tampak ragu, menatap Arman yang berdiri terlalu meyakinkan. Ia tidak enak hati, apalagi tahu Arman adalah orang proyek. Tapi tatapan tegas pria itu membuatnya sulit menolak. “Baiklah,” katanya akhirnya pelan. “Tapi nggak usah repot-repot, Pak.” “Repot apa. Saya sekalian pulang,” ujar Arman sambil menyalakan motor bebek tua milik Usman. “Ayo, naik.” Indira menarik napas panjang. “Maaf ya, kalau memberatkan.” “Enggak sama sekali.” Arman menatapnya sekilas. “Pegangan, ya. Jalannya agak gelap nanti.” Dengan hati-hati Indira duduk di jok belakang, menjaga jarak sebisa mungkin. Tapi getaran halus dari motor, serta aroma lembut sabun dari jaket Indira, membuat d**a Arman sesak. Motor tua itu melaju perlahan menembus jalanan desa yang sepi. Lampu motor mereka menyorot jalan tanah yang berliku, melewati sawah dan deretan rumah kayu. “Mbak Indira tadi dari mana malam-malam begini?” tanya Arman memecah sunyi. “Belanja, Pak,” jawab Indira dari belakang. “Ada beberapa bahan yang habis, padahal besok pagi harus dipakai buat masak. Kalau nunggu besok, takut keburu dipakai.” “Hebat ya, masih sempat mikirin kerjaan malam begini.” Indira tersenyum samar. “Kalau nggak kerja keras, siapa lagi, Pak. Hidup harus terus jalan.” Arman hanya mengangguk pelan. Di dalam hati, kalimat sederhana itu terasa seperti pukulan. Ia yang hidup dengan segala fasilitas, baru menyadari betapa kuat perempuan itu menata hidupnya sendiri. Namun tanpa mereka sadari, beberapa ratus meter di belakang, sekelompok pemuda sedang memperhatikan dari balik pepohonan. Empat orang, berpakaian santai tapi tatapan mereka tajam. “Sialan,” geram salah satu dari mereka, pria tinggi dengan jaket kulit hitam. “Rencana kita gagal.” “Gimana nggak gagal, Bang,” sahut anak muda lain. “Kita udah buang baut busi motor Indira tadi. Harusnya mogok di tengah jalan, dia panik, terus kita datang nolong. Eh, malah nongol cowok lain.” “Cowok itu siapa?” tanya pria berjaket kulit, matanya menyipit menatap ke arah motor yang mulai menjauh. “Kayaknya orang proyek, Bang. Yang tinggal di kontrakan belakang balai desa.” Pria itu mengerutkan kening. Wajahnya keras, namun ada kilat amarah dan cemburu di matanya. Namanya Dimas, anak Pak Lurah dari kampung sebelah, baru pulang dari Korea beberapa bulan lalu setelah bekerja sebagai TKI. Dimas jatuh cinta pada Indira sejak pertama kali melihatnya di pasar. Tapi cintanya tidak pernah disambut. Ia yang terbiasa mendapatkan apa yang diinginkan, tak terima saat Indira selalu menolak sapaan dan menghindar dengan sopan. Malam ini, niatnya mendekati Indira dengan cara ‘kebetulan’ pun gagal total. “Kurang ajar,” desis Dimas pelan. “Siapa pun cowok itu, berani-beraninya nganterin Indira. Dia bakal nyesel.” “Bang, jangan gegabah. Orang itu keliatan bukan sembarangan,” sahut salah satu anak buahnya. Dimas menatap mereka dengan tatapan dingin. “Kita lihat aja nanti. Kalau bener dia cuma orang proyek biasa, gampang diurus.” ••• Sementara itu, motor tua Arman berhenti di depan rumah Bik Ningsih. Lampu di teras masih menyala, dan dari dalam terdengar suara televisi. “Terima kasih banyak, Pak Arman,” ucap Indira turun dari motor. “Maaf udah ngerepotin.” “Bukan repot,” kata Arman pelan. “Saya malah senang bisa bantu.” Indira tersenyum kecil. “Kalau gitu, saya masuk dulu ya, Pak. Nanti Wawan yang ambil motor saya di warung.” “Iya. Hati-hati, Mbak.” Saat Indira berjalan masuk melewati pagar bambu, Arman menatap punggungnya cukup lama sebelum akhirnya membalikkan badan. Ada perasaan aneh yang tumbuh — semacam keinginan untuk tahu lebih dalam siapa sebenarnya perempuan itu. Usman datang beberapa menit kemudian, menuntun motor Indira yang sudah ia dorong dari warung. “Tadi saya cek, beneran kayaknya ada yang buka baut businya, Pak. Bukan rusak alami.” Arman menoleh cepat. “Kamu yakin?” “Yakin, Pak. Bautnya bukan lepas sendiri. Ini kayaknya ulah orang.” Arman mengernyit. “Siapa yang mau jahatin Indira malam-malam begini?” Usman mengangkat bahu. “Nggak tahu, Pak. Tapi di kampung sebelah ada beberapa pemuda yang suka ngelirik Mbak Indira. Mungkin salah satunya mereka.” Arman menatap jalan gelap di depan, matanya menajam. “Kalau benar begitu, mereka sudah main kotor.” “Bapak kenapa kelihatan marah?” “Karena saya benci kalau perempuan dijahatin begitu,” jawab Arman tegas. “Besok kamu cari tahu siapa yang sering ganggu Indira. Tapi jangan sampai dia tahu.” “Siap, Pak. Tapi bapak hati-hati. Jangan sampai urusan pribadi bikin ribut antar kampung.” Arman menepuk bahu Usman. “Tenang. Saya tahu apa yang saya lakukan.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN