11. Rencana Licik

1389 Kata
Hari itu langit begitu cerah. Angin desa berembus lembut membawa aroma tanah yang segar. Di warung kopi dekat proyek, Dimas duduk bersandar dengan kaki disilangkan. Di depannya, dua anak buahnya yang setia—Andik dan Rio—menyeruput kopi sambil menunggu aba-aba dari sang bos. "Udah dapat kabar soal laki-laki itu?" tanya Dimas, matanya menyipit menatap jalanan yang mengarah ke proyek tempat Arman bekerja. Reno mengangguk cepat. "Udah, Bos. Orang itu bukan orang sembarangan. Katanya dia orang kota. Manager proyek. Katanya sih kerja buat perusahaan besar yang lagi bangun mall di situ." Mendengar itu, rahang Dimas menegang. "Manager proyek? Jadi bukan cuma mandor atau pekerja biasa?" "Enggak, Bos. Dia malah yang ngatur semua pekerjaan di lapangan. Orang-orang proyek pada hormat sama dia." Dimas mengumpat pelan. "Sialan. Rupanya dia juga mau mendekati Indira. Nggak bisa dibiarkan! Perempuan itu harus jadi milikku." Rio menimpali, "Tapi gimana, Bos? Kalau dia beneran orang kota, susah dilawan. Apalagi kalau dia punya banyak kenalan dan duit." Dimas memukul meja kayu hingga gelas kopi berguncang. "Makanya kita harus pakai cara yang lebih pintar. Aku nggak mau kalah sama orang yang baru datang ke sini." Andik saling pandang dengan Rio lalu mendekat. "Bos, aku punya ide gimana caranya biar Bos menang dan bisa menikahi Mbak Indira." "Apa?" tanya Dimas curiga. Rio menunduk dan berbisik pelan di telinga Dimas. Sambil mendengarkan, bibir Dimas perlahan melengkung membentuk senyum licik. Matanya berkilat. "Bagus," katanya sambil menepuk bahu Rio. "Atur strategi agar Indira masuk perangkap dengan mudah." ••• Sementara itu di rumah sederhana milik Bik Ningsih, aroma tumisan bawang merah memenuhi udara. Indira sibuk mengaduk sayur lodeh di dapur, sementara Bik Ningsih menata nasi kotak di atas meja panjang. Keringat mengalir di pelipis mereka, tapi senyum tak pernah lepas dari wajah keduanya. "Alhamdulillah ya, Nduk. Dagangan kita laris. Ini aja pesanan dari proyek udah rutin tiap hari. Rezeki nggak ke mana," ujar Bik Ningsih dengan nada riang. Indira tersenyum lelah tapi puas. "Iya, Bik. Untung juga ada proyek itu. Kalau nggak, warung kita mungkin tidak seramai ini." Baru saja Indira hendak menuangkan sayur ke kotak nasi, suara ponsel Bik Ningsih berbunyi. Ia buru-buru mengambilnya dari rak. "Halo, iya Bu. Loh, pesanan lima puluh porsi untuk nanti malam? Waduh, dadakan banget, Bu," ucap Bik Ningsih sambil menatap Indira yang langsung berhenti mengaduk. Namun, telinganya masih sibuk mendengar ucapan lawan bicaranya. "Baik, Bu. Saya tanyakan ke Indira dulu. Kalau kita bisa menyanggupi nanti saya hubungi balik." Ponsel baru diletakkan di atas meja saat Indira bertanya. Gadis itu sempat mendengar tadi. "Lima puluh porsi?" tanya Indira dengan mata membulat. "Untuk siapa, Bik?" "Katanya dari Lurah desa sebelah. Anak lurahnya yang baru pulang dari Korea itu loh, yang sering nyewa orkes dangdut kalau bikin acara." Indira mengerutkan kening. "Yang itu? Yang sering pamer mobil mewah dan suka godain tiap aku lewat?" Bik Ningsih mengangguk pelan. "Iya, katanya mau tasyakuran." Indira menatap meja, hatinya terasa janggal. "Bukannya mereka udah pernah tasyakuran waktu awal bulan lalu? Yang sampai malam ada hiburan dangdut itu?" "Iya sih," jawab Bik Ningsih sambil garuk kepala. "Tapi katanya ini beda. Mungkin buat syukuran karena buka usaha baru atau apa, Bibik juga nggak paham." Indira diam sejenak, lalu menghela napas. "Ya udah, Bik. Tawarkan aja dengan menu yang sama kayak hari ini. Kalau mereka mau, ya kita siapin. Tapi jangan sampai kita kerja sendirian. Minta bantuan Wati sama Lilis ya, Bik." "Iya, nanti Bibik WA mereka," jawab Bik Ningsih sambil sibuk mengetik di ponselnya. Beberapa menit kemudian, Bik Ningsih menatap layar dengan alis terangkat. "Katanya mereka mau, In. Disuruh antar ke rumah Lurah jam tujuh malam nanti." Indira menatap jam dinding. Pukul lima sore. "Berarti kita harus buru-buru, Bik. Aku bantu buat nasinya biar cepat." ••• Di dapur rumah Bik Ningsih, suara wajan dan panci saling bersahutan. Indira memotong sambal goreng ati, sementara dua tetangga datang membantu menata lauk. "Wah, yang pesen dari Lurah sebelah ya, In?" tanya Lilis. "Iya," jawab Indira tanpa menatap. "Katanya buat tasyakuran anaknya yang baru pulang dari Korea." Wati menimpali sambil terkekeh, "Yang katanya suka godain kamu itu?" Indira melotot pelan. "Udah deh, jangan mulai. Aku nggak suka dibecandain kayak gitu." "Eh, tapi bener loh In," sela Lilis. "Anak Lurah itu ganteng sih, tapi kelakuannya… ya ampun, nggak ada sopan-sopannya. Nggak cocok buat kamu." Indira tersenyum getir. "Iya, Mbak. Aku juga tahu. Orangnya suka foya-foya. Aku lebih suka yang sederhana tapi tanggung jawab." Ucapan itu tanpa sadar membuat wajahnya teringat seseorang — Arman. Lelaki yang tampak biasa, tapi selalu peduli dan sopan. Sejak malam itu, saat ia diantar pulang karena motor mogok, entah kenapa bayangan Arman sering muncul dalam pikirannya. ••• Siang itu matahari bersinar terik di atas langit desa, membakar hamparan tanah merah yang berdebu. Udara panas terasa menusuk kulit. Suara mesin molen berputar lambat di kejauhan, bercampur dengan dentingan besi dan teriakan para pekerja yang saling memberi aba-aba. Di salah satu bedeng proyek yang terbuat dari seng, Arman bersandar di kursi plastik sambil mengibaskan helm-nya, mencoba menepis gerah yang menggigit. Sisa makan siang masih tergeletak di meja kayu—nasi kotak dan botol air mineral yang sudah setengah kosong. Hakim, pimpinan lapangan yang dipercaya memegang tanggung jawab harian proyek, duduk di dekatnya sambil mengipas-ngipas wajah dengan kertas gambar yang sudah lusuh. "Pak Arman nggak jadi balik kota?" tanya Hakim tiba-tiba, suaranya parau tapi terdengar santai. Arman menoleh, bibirnya melengkung tipis. "Kenapa tanya begitu? Kamu nggak suka aku di sini?" Hakim buru-buru menggeleng. "Wah, bukan begitu, Pak. Cuma heran aja. Dulu Bapak bilang cuma mau seminggu di sini, tapi ini udah lebih dari sepuluh hari. Anak-anak proyek aja sampe ngomong, jangan-jangan Pak Arman betah di desa." Arman terkekeh kecil. "Suka-suka aku mau di sini sampai kapan." Hakim tersenyum kecut. "Iya, Pak. Tapi jujur, semenjak Bapak di sini, suasana kerja jadi lebih rapi. Anak-anak juga lebih semangat." Arman menatap keluar bedeng, ke arah para pekerja yang masih sibuk mengaduk semen. "Aku cuma pengin proyek ini dimulai sampai selesai tanpa masalah. Kita kerja di bawah tanggung jawab perusahaan besar. Kalau ada kesalahan sedikit aja, bisa panjang urusannya." Hakim mengangguk setuju. Ia tahu Arman bukan tipe atasan yang hanya datang meninjau. Pria itu selalu ikut turun ke lapangan, bahkan kadang membantu mengangkat bahan bangunan. Itulah yang membuat semua orang menghormatinya. Obrolan keduanya mendadak terusik oleh langkah cepat seseorang dari arah luar bedeng. Usman datang dengan napas agak terengah, peluh membasahi dahinya. "Pak Arman!" panggilnya begitu sampai di pintu. Arman menoleh. "Kenapa, Man? Kok kelihatan buru-buru begitu?" Usman menarik napas panjang sebelum bicara. "Sepertinya kita harus ekstra waspada, Pak. Terutama soal pengamanan di lokasi proyek." Hakim menatap heran. "Kenapa memangnya, Man? Ada masalah?" Usman menatap keduanya dengan ekspresi serius. "Maaf ya, bukan mau menakut-nakuti, tapi sejak pagi saya lihat ada beberapa pemuda kampung sebelah nongkrong di warung dekat pintu masuk proyek. Mereka kelihatan mencurigakan. Pandangan mereka terus mengarah ke sini." Arman langsung menegakkan badan. "Kamu yakin?" "Yakin, Pak. Mereka bukan orang sini. Dan saya juga dengar bisik-bisik dari tukang warung, katanya mereka sering datang beberapa hari terakhir, duduk sambil nanya-nanya soal proyek dan… soal Bapak juga." Ruangan mendadak terasa panas bukan karena terik matahari, tapi karena hawa tegang yang mulai muncul. Hakim mengernyit. "Mereka nanya soal Pak Arman?" "Iya. Katanya penasaran siapa sebenarnya kepala proyek ini. Dari nada bicaranya, saya rasa mereka nggak punya niat baik," jawab Usman dengan nada rendah. Arman mengusap dagunya pelan. Keberadaan preman di lokasi proyek sudah hal yang wajar dan mereka tetap harus hati-hati dan waspada. Arman menatap Usman sekilas. "Kamu kenal dia?" Usman mengangguk pelan. "Siapa yang nggak kenal, Pak. Dimas namanya. Baru pulang dari Korea katanya kerja di luar negeri. Tapi kelakuannya… waduh, jauh dari sopan. Suka mabuk, suka pamer, dan sering cari ribut. Anak-anak sini aja pada males berurusan sama dia." Arman menghela napas berat. "Kalau begitu kalian semua harus waspada. Jangan jalan sendirian. Kalau keluar malam, ajak orang. Saya bisa atur beberapa anak buat jagain proyek malam ini." Arman berdiri, langkahnya pelan tapi tegas. "Jangan bikin suasana tegang dulu. Kita nggak tahu apa rencana mereka. Tapi jaga semua alat dan bahan proyek. Jangan sampai ada yang rusak atau hilang." "Baik, Pak," jawab Hakim. "Pak…" panggil Usman hati-hati. "Kalau boleh saya usul, malam nanti saya keliling jaga sama dua orang anak proyek. Soalnya saya nggak tenang." Arman mengangguk. "Bagus. Tapi jangan bertindak gegabah. Kalau lihat yang aneh-aneh, langsung lapor. Jangan konfrontasi dulu." "Siap, Pak," jawab Usman mantap.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN