Wawan baru saja menurunkan keranjang kosong bekas ia pakai mengantar makanan ketika waktu sudah hampir menunjukkan pukul tujuh malam.
“Wawan, istirahat dulu sana. Aku aja yang antar pesanan ke rumah Pak Lurah,” ucap Indira setelah selesai mengemas nasi boks ke dalam dua buah kantong plastik besar.
“Lho, Mbak, biar saya aja. Ini sudah malam,” jawab Wawan dengan nada sedikit khawatir.
Indira tersenyum tipis. “Rumah Pak Lurah dekat. Aku sekalian lewat jalan belakang, nggak papa.”
Bik Ningsih yang dari tadi menata lauk di meja menimpali, “Iya, Wan, biar Indira aja. Lagian pesenannya nggak banyak kok. Lima puluh porsi aja. Orangnya juga baik.”
Indira mengangguk, tak menyadari bahwa langkahnya malam itu akan mengantarkannya ke dalam perangkap yang sudah dirancang dengan rapi.
•••
Rumah Pak Lurah tampak sepi ketika Indira tiba. Udara dingin membelai wajahnya begitu ia turun dari motornya. Dari luar, rumah besar itu tampak tenang, bahkan terlalu tenang untuk ukuran rumah yang katanya sedang mengadakan tasyakuran.
“Assalamu’alaikum!” panggil Indira dari depan pagar.
Tak lama kemudian, seorang perempuan —pembantu Pak Lurah—keluar tergesa. Wajahnya tampak gugup, seperti menyembunyikan sesuatu.
“Oh, Mbak Indira ya? Langsung aja ke dalam. Bawa aja makanannya ke ruang makan belakang,” katanya cepat, suaranya sedikit bergetar.
“Wah, sepi banget, Bik. Katanya mau ada acara?” tanya Indira dengan alis berkerut.
“Orangnya lagi siap-siap di belakang. Nanti Mbak taruh aja dulu,” jawab bibik itu cepat, menghindari tatapan Indira.
Indira hanya mengangguk, menenteng dua kantong besar berisi nasi kotak, dan melangkah masuk ke rumah besar itu. Ia melewati ruang tamu yang luas dengan sofa kulit yang tampak mahal, kemudian menuju ruang makan di belakang. Aroma semerbak pengharum ruangan bercampur dengan hawa dingin dari pendingin udara.
Indira meletakkan kantong pertama di atas meja makan besar. Ia baru hendak menurunkan yang kedua ketika bulu kuduknya mendadak berdiri. Rumah itu terlalu sunyi. Tidak ada suara tawa, tidak ada orang yang menyiapkan acara.
“Bik?” panggilnya pelan. Tak ada jawaban.
Detik berikutnya, sebelum sempat ia menoleh, sesuatu menutup rapat mulutnya dari belakang. Napasnya tercekat. Tangan kekar membekapnya kuat, menarik tubuhnya ke belakang.
“Mmmmph!!” Indira meronta, menendang, tapi serangan itu terlalu tiba-tiba.
“Diamlah!” suara berat seorang pria berbisik di telinganya. Ia mengenali suara itu — Dimas.
Tubuhnya ditarik masuk ke dalam kamar lalu ia hempaskan di atas kursi. Sementara Dimas dengan cepat menutup pintu. Dua pria lain mengacungkan jempol dari balik ruangan, Rio dan Andik, anak buahnya yang tadi disuruh mengawasi.
Dimas mendekat, matanya menatap Indira dengan pandangan yang sulit dibaca—antara marah, dendam, dan nafsu yang tertahan.
“Akhirnya aku bisa ketemu kamu tanpa orang-orang nyampah di sekitar,” ujarnya pelan, berjalan memutari kursi di mana Indira duduk.
Indira mencoba berdiri, tapi Dimas kembali menarik gadis itu. "Lepasin aku! Dimas, kamu gila ya!” suaranya parau, namun Dimas hanya tertawa.
“Gila? Iya, aku gila karena kamu, Indira. Kamu pikir aku nggak tahu kamu dekat dengan si Arman itu? Orang kota sok bijak itu bukan tandingan aku.”
Dimas meraih dagu Indira, memaksa wajahnya menghadap ke arah mata pria itu. “Seharusnya dari dulu kamu jadi milikku.”
Indira memalingkan wajah dengan jijik. “Kamu pengecut! Kalau mau bicara, jangan kayak begini!”
Suara gaduh terdengar dari luar rumah besar itu. Teriakan orang-orang bercampur dengan langkah tergesa di serambi depan. Pintu ruang tengah dibuka paksa. Suara sandal menghantam lantai marmer membuat jantung Indira berdegup semakin kencang.
“Dimas! Buka pintunya!” suara berat itu menggelegar dari luar kamar.
Indira tahu betul, itu suara Pak Lurah — ayah Dimas. Sekilas rasa lega menyeruak di d**a. Akhirnya… ada yang datang! pikirnya dalam hati. Namun rasa lega itu hanya bertahan sekejap karena Dimas, alih-alih panik, justru menegakkan tubuhnya dan tersenyum kecil.
Senyum yang dingin. Senyum penuh perhitungan.
Tanpa banyak bicara, ia berjalan ke arah pintu, lalu membukanya pelan. Cahaya dari ruang tengah menerobos masuk.
Di ambang pintu, tampak Pak Lurah, Bu Lurah, dan beberapa warga yang ikut datang. Wajah mereka terkejut, sebagian menatap tak percaya. Di belakang Pak Lurah, Rio dan Andik ikut berdiri — berpura-pura heran padahal mereka tahu betul apa yang sebenarnya terjadi.
“Dimas?” suara Pak Lurah bergetar menahan amarah. “Apa-apaan ini?! Kenapa kamu bisa di dalam kamar sama Indira?”
Dimas menunduk, suaranya berat, terdengar menyesal. “Aku… aku khilaf, Yah.”
“Dimas!” Bu Lurah menjerit kecil, menatap mereka bergantian. Indira berdiri kaku dalam diam dengan tatapan shock melihat para warga yang menatapnya penuh salah paham. Tangan Indira gemetar.
“Astaghfirullah… Indira, apa yang sebenarnya terjadi?”
Indira ingin bicara, tapi suaranya tercekat. Air mata sudah membasahi wajahnya. Ia melangkah maju, namun Bu Lurah menahan bahunya lembut.
“Sabar dulu, Nak. Cerita sama Ibu, ya…”
Namun sebelum Indira sempat membuka mulut, Dimas memotong dengan cepat. “Aku yang salah, Bu. Aku yang maksa Indira datang. Aku… aku nggak bisa tahan perasaan aku sendiri.”
Semua mata langsung menatap Dimas. Suasana seketika tegang.
Pak Lurah menatap tajam, rahangnya mengeras. “Kamu sadar nggak apa yang kamu bilang, Dimas?! Kamu tahu ini bisa mencemarkan nama keluarga kita!”
Dimas menunduk dalam-dalam. “Aku tahu, Yah. Tapi aku bersedia tanggung jawab. Aku akan menikahi Indira.”
Indira menatapnya dengan mata terbelalak. “Apa?!” suaranya serak, terkejut sekaligus marah. “Kamu gila! Kamu yang jebak aku, Dimas!”
Beberapa warga berbisik-bisik di belakang. Tapi Dimas cepat menguasai situasi. Ia mendongak, menatap Indira dengan sorot mata yang berpura-pura tulus.
“Indira, aku tahu kamu malu. Tapi tolong… jangan menyangkal semuanya. Aku akan tanggung jawab kok.”
“Dasar pembohong!” teriak Indira nyaring. Air matanya jatuh deras. Ia menoleh ke arah Pak Lurah dan Bu Lurah. “Saya datang cuma nganter pesanan makanan, Pak, Bu! Tapi tiba-tiba dia nyerang saya dari belakang!”
Bu Lurah memegangi d**a. “Ya Allah, Dimas… bener yang dia bilang?”
Dimas tak langsung menjawab. Ia menarik napas panjang, pura-pura bingung, pura-pura menyesali. “Aku… aku nggak tahu harus gimana, Bu. Aku memang suka sama dia dari dulu. Tapi mungkin caraku salah. Aku cuma… terlalu sayang sama Indira.”
Pak Lurah menatap anaknya dengan mata merah menahan marah. “Kamu tahu nggak akibat dari perbuatanmu ini?! Kalau ini benar, kamu udah mempermalukan keluarga besar kita!”
Rio yang berdiri di belakang berusaha menenangkan, meski dalam hati ia tertawa puas. “Pak, tenang dulu. Mungkin bisa dibicarakan baik-baik.”
“Diam kamu, Rio!” bentak Pak Lurah.
Sementara itu, Indira semakin gemetar. Ia merasa dipojokkan. Semua mata menatapnya dengan berbagai ekspresi: kasihan, curiga, iba, tapi juga bisik-bisik yang menyesakkan.
“Aku nggak bohong, Pak. Saya diseret, dibekap, dan hampir—” suaranya tercekat, terlalu berat untuk melanjutkan.
Bu Lurah menatapnya penuh iba, tapi Dimas memotong cepat lagi. “Aku yang salah, Bu. Aku janji, aku akan nikahi Indira secepatnya. Aku akan bersihin nama baik keluarga.”
“Berhenti berpura-pura, Dimas!” Indira berteriak marah. “Kamu pikir bisa menutup semuanya dengan menikah? Kamu kira aku bakal mau?!”
Dimas menatapnya lama, lalu menunduk dengan ekspresi sedih yang dibuat-buat. “Aku tahu kamu benci aku, tapi aku tetap tanggung jawab. Aku nggak akan biarkan kamu dihina orang-orang.”
Kata-kata itu membuat warga yang menonton mulai bergumam pelan. Ada yang mulai percaya dengan versi Dimas, ada pula yang masih ragu. Tapi Dimas tahu betul — di desa seperti ini, siapa yang bicara duluan biasanya akan lebih dipercaya.
“Dimas…” suara Bu Lurah bergetar, “kalau memang kamu melakukan itu, kamu harus tanggung jawab. Tapi kalau kamu bohong—”
“Aku nggak bohong, Bu,” potong Dimas lembut, menatap Indira seolah penuh cinta. “Aku cuma ingin memperbaiki semuanya.”
Indira menatap balik dengan mata merah. “Kamu licik. Kamu pikir semua orang nggak akan tahu kalau ini jebakan?”
“Cukup, Indira!” tegur Pak Lurah keras. “Sekarang bukan waktunya saling menyalahkan. Aku mau kamu tenang dulu. Kita akan bicarakan ini baik-baik.”
Indira menunduk, air matanya tak berhenti mengalir. Dadanya sesak. Ia ingin pergi, tapi kaki rasanya lemas.
“Kamu hampir merenggut kehormatan Indira, Dimas!” bentaknya keras, suaranya menggema di seluruh ruangan.
Dimas menunduk lebih dalam. “Aku khilaf, Yah. Aku salah. Tapi aku akan tanggung jawab. Aku akan menikahi Indira malam ini juga.”
"Saya tidak mau!" Dengan cepat Indira membantah.
Namun Pak Lurah memotong cepat. “Diam, Indira! Bapak tahu kamu pasti malu. Tapi ini satu-satunya jalan untuk menyelamatkan kehormatanmu.”
“Indira…” katanya pelan, “Bapak tahu kamu anak baik, tapi semua orang sudah lihat kalian berdua di kamar tertutup. Bapak harus jaga nama baik keluarga, juga nama baikmu.”
Indira menggeleng, hampir berteriak. “Saya tidak mau menikah dengan orang yang sudah mempermalukan saya, Pak!”
“Indira!” Bu Lurah menatapnya dengan air mata berlinang. “Nak, tolong mengerti. Orang-orang di luar sudah ramai. Kalau kamu tidak dinikahkan malam ini, besok pagi gosipnya akan ke mana-mana. Kamu sendiri yang akan jadi bahan gunjingan.”
Indira memegang dadanya yang sesak. “Biar saja! Saya tidak mau menutupi kebohongan dengan kebohongan lain.”
Tapi Dimas yang sejak tadi diam kembali membuka suara. Ia melangkah mendekat, menatap Indira seolah penuh penyesalan. “Indira, aku tahu kamu marah. Tapi aku benar-benar menyesal. Aku janji, aku akan berubah. Aku akan perlakukan kamu dengan baik kalau kamu mau nikah sama aku malam ini.”
“Cukup, Dimas!” teriak Indira, suaranya pecah. “Kamu pikir aku bisa percaya sama laki-laki licik sepertimu?”
“Sudah cukup! Aku tidak mau dengar perdebatan lagi. Dimas, demi nama baik keluarga dan kehormatan perempuan itu, kamu harus tanggung jawab!”
Lalu ia berbalik pada Andik yang berdiri di ambang pintu. “Andik! Cepat kau ke rumah Bik Ningsih. Bawa Bik Ningsih ke sini sekarang!”
Andik sempat menatap Dimas sekilas — keduanya bertukar pandang, senyum licik di mata mereka tak bisa disembunyikan. “Baik, Pak Lurah.”
“Dan Rio!” suara Pak Lurah kembali menggelegar. “Kamu panggilkan penghulu. Katakan ada pernikahan mendadak. Sekarang juga!”
Rio menunduk hormat, pura-pura serius. “Baik, Pak.”
Indira terpaku di tempat. Dunia seolah berhenti berputar. Ia bahkan tidak bisa menangis lagi. Semua terasa absurd — seperti mimpi buruk yang tak berujung.
“Pak, mohon… jangan lakukan ini,” bisiknya.