6. Godaan Bik Ningsih Untuk Indira

1194 Kata
Sementara itu di dapur rumah Bik Ningsih dipenuhi aroma harum tumisan bumbu. Wajan besar di atas kompor mendesis pelan, menandakan air dalam panci mulai mendidih. Indira, dengan rambut yang diikat sederhana, tengah sibuk mengaduk masakan sambil mengecek daftar pesanan katering hari ini. Sementara di sudut dapur, Bik Ningsih duduk di bangku kayu kecil sambil menghitung uang hasil pembayaran dari proyek semalam. Perempuan setengah baya itu tampak sumringah, matanya berbinar seperti anak kecil mendapat permen. “Ndok, itu Pak Arman sudah bayar full untuk makannya satu bulan,” ucap Bik Ningsih sembari menepuk-nepuk amplop berisi uang. “Jangan lupa nanti buatkan jadwal menu per minggunya. Nanti biar bibik WA ke Pak Arman.” Indira menoleh sebentar, tangannya masih sibuk memegang sendok kayu. “Semalam sudah aku buatkan, Bik. Nanti aku kasih ke Bibik ya, biar sekalian dicek lagi.” Bik Ningsih mengangguk, tapi senyumnya tidak biasa. Ada rona menggoda di wajahnya yang membuat Indira curiga. “Kenapa senyum-senyum gitu, Bik?” tanya Indira heran. Bik Ningsih hanya terkekeh. “Kok bibik rasa, Pak Arman itu ada hati sama kamu, ya?” Indira spontan memutar bola matanya. “Hati apa, Bik? Ketemu aja baru beberapa kali.” “Ah, kamu ini,” sahut Bik Ningsih, suaranya merendah tapi penuh semangat seperti sedang menyimpan gosip besar. “Siapa tahu jatuh cinta pada pandangan pertama. Zaman sekarang banyak, lho, yang begitu. Tanya saja sama si Wawan. Kalau bukan Non Indi yang antar makanannya pasti ditanyain. Terus tiba-tiba siangnya muncul ke sini. Bibik ini pernah muda. Jadi bisa menilai mana orang yang lagi jatuh cinta.” “Jangan ngawur, Bik.” Indira menurunkan api kompor lalu menatap Bik Ningsih serius. “Nanti kalau kedengaran orang dikira aku kegatelan.” Bik Ningsih terkekeh pelan, tapi masih saja menatap Indira dengan pandangan penuh arti. “Biarin aja orang mau ngomong apa. Yang penting Non Indira nggak ngejar-ngejar duluan.” Indira hanya menghela napas dan duduk di kursi rotan dekat meja makan kecil. Matanya menatap keluar jendela, ke arah jalan tanah di depan rumah di mana anak-anak kecil mulai berlarian menuju sekolah. Ia masih ingat betul setahun lalu, saat pertama kali pindah ke desa ini — bagaimana semua mata menatapnya penuh rasa ingin tahu. Wajahnya yang cantik dan penampilan yang sedikit berbeda dari gadis desa kebanyakan sempat membuatnya jadi bahan gunjingan. Ada saja lelaki yang mencoba mendekat, mulai dari pemuda setempat sampai bapak-bapak yang sudah beristri. Bahkan sempat ada istri tetangga yang marah hanya karena suaminya beli sayur sambil senyum-senyum ke Indira. Sejak saat itu, Indira memutuskan untuk menjaga jarak. Ia tak mau dicap macam-macam. Hidup di kampung kecil ini sudah cukup menantang tanpa harus ditambah gosip. Apalagi setelah pengkhianatan Andrian — lelaki yang dulu ia cintai tapi malah menikahi adik tirinya sendiri. Luka itu masih membekas. Kini, satu-satunya fokusnya hanyalah bekerja dan membangun usaha katering ini bersama Bik Ningsih. Tak ada waktu untuk cinta, apalagi untuk pria kota seperti Arman. “Bik,” kata Indira akhirnya, suaranya lembut tapi tegas, “aku nggak mau yang aneh-aneh. Kalau nanti orang tahu Pak Arman itu customer tetap kita, biar aja. Tapi jangan sampai mereka mikir aku deket sama dia, ya.” Bik Ningsih mengangkat alis. “Kamu ini, kayaknya takut banget sama omongan orang.” “Bukan takut, Bik. Cuma… aku pengen tenang aja,” jawab Indira sambil kembali berdiri dan memindahkan sayur ke wadah besar. Belum sempat Bik Ningsih membalas, suara motor berhenti di halaman depan. “Wawan udah datang,” gumam Indira. Ia buru-buru melepas celemek dan berjalan ke depan. Tak lama kemudian, Wawan — pemuda kurir yang rajin tapi kadang suka usil — muncul sambil membawa dua keranjang besar yang sudah kosong isinya, bekas tempat makanan. “Pagi, Mbak! Bik Ningsih!” sapa Wawan ceria sambil menaruh keranjang kosong di meja. “Pagi, Wan. Cepat banget kamu balik,” kata Indira. “Ya iyalah, Mbak. Hari ini lancar tanpa kendala. Oh ya, Mbak. Tadi pas aku ngantar sarapan ke Pak Arman, eh… aku disuruh nyampein pesan.” Nada suaranya berubah sedikit menggoda. Indira dan Bik Ningsih saling pandang. “Pesan apa?” tanya Bik Ningsih cepat, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. Wawan menggaruk kepala. “Hehe… tadi Pak Arman minta nomor WA-nya Mbak Indira.” Indira langsung menatap Wawan tajam. “Nomor WA-ku? Buat apa?” Wawan cengengesan. “Katanya biar gampang kalau mau pesan makanan langsung, Mbak. Nggak usah lewat saya.” “Lha terus kamu kasih?” sergah Bik Ningsih cepat, antusias seperti sedang menonton drama langsung. “Enggak lah, Bik! Aku kan takut. Mbak Indira pasti marah kalau aku kasih tanpa izin,” jawab Wawan sambil mengangkat kedua tangannya. “Bagus,” sahut Indira cepat. “Jangan dikasih, Wan. Kalau Pak Arman butuh sesuatu, suruh WA ke nomor admin aja. Kan di daftar menu udah ada nomor Bibik.” “Tuh kan!” seru Bik Ningsih sambil menepuk lututnya. “Bibik bilang juga apa, Wan! Pak Arman itu pasti suka sama Non Indira. Masa iya cuma mau pesan makanan aja minta nomor pribadi?” Indira mendengus, tapi rona merah mulai muncul di pipinya. “Bik, jangan lebay deh.” “Lebay dari mana? Nih ya, Ndok,” kata Bik Ningsih sambil menunjuk Indira dengan sendok kayu, “kalau cowok cuma lapar, dia cukup WA di nomor yang tertera. Tapi kalau dia nanya nomor pribadimu, itu tandanya dia lapar perhatian.” Wawan tertawa ngakak mendengar kalimat itu. “Wah, dalem banget, Bik. Aku catet nih buat kepsyen status!” Indira melemparkan pandangan tajam ke Wawan, membuat pemuda itu buru-buru menutup mulutnya. “Udah, Wan. Jangan ikut-ikutan Bibik. Sana bantu bawa pesanan ke proyek. Nanti keburu siang,” katanya sambil mendorong Wawan keluar dapur. Wawan masih tertawa kecil saat menyalakan motornya. “Siap, Mbak Indira! Tapi kalau nanti Pak Arman beneran jatuh cinta, jangan salahin aku ya!” “Wawan!” teriak Indira dari dalam, tapi suaranya kalah oleh pergerakan Wawan yang sudah ngacir meninggalkannya. Begitu suasana kembali tenang, Bik Ningsih hanya terkekeh pelan. “Anak itu memang mulutnya susah dikunci.” Indira menatap Bibiknya itu sambil tersenyum tipis. “Kadang aku heran, Bik, kenapa sekarang semua orang di sini udah heboh ngomongin Pak Arman.” “Ya gimana nggak heboh, Ndok. Dia ganteng, rapi, sopan. Warga pikir dia cuma kepala proyek, padahal gayanya kayak orang kota. Beda banget dari pekerja lain,” kata Bik Ningsih. Indira terdiam sejenak. Ia tak bisa memungkiri ucapan itu. Arman memang berbeda. Ada wibawa yang sulit dijelaskan. Tapi justru karena itu, Indira makin yakin ia tak boleh dekat. Lelaki seperti Arman tidak akan lama di desa kecil ini. Cepat atau lambat, dia akan kembali ke dunia kota yang gemerlap — dunia yang dulu pernah menghancurkan hati Indira. “Udah lah, Bik. Aku mau fokus masak aja,” ujarnya akhirnya. “Soal Arman biar aja waktu yang jawab.” Bik Ningsih tersenyum lembut. “Ya sudah. Tapi kalau nanti beneran jodoh, jangan kaget ya.” Indira hanya menggeleng, menahan senyum kecil yang tak bisa ia sembunyikan. Di luar, angin berhembus lembut membawa aroma masakan mereka ke jalanan desa. Dan entah kenapa, di sela aroma bawang goreng dan santan hangat itu, ada getar aneh di d**a Indira — perasaan yang belum berani ia namai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN