7. Arman Selalu Punya Alasan

1183 Kata
Siang itu matahari menyengat, tapi semangat Arman justru sedang menyala. Sejak pagi, pikirannya tak pernah lepas dari satu nama — Indira. Gadis desa yang pertama kali ia temui saat mengurus katering untuk proyek pembangunan mal di pinggir kota kecil itu. Hampir setiap hari selama satu minggu ini Arman selalu turun ke lapangan. Sebenarnya tugasnya di proyek tidak selama ini. Cukup sehari dua hari saja tapi karena Indira, Arman begitu betah sampai ngontrak rumah segala. Sampai ia lupa akan tugas utamanya sebagai salah satu direktur di perusahaan milik keluarganya. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Kemeja biru muda digulung sampai siku, rambut disisir dengan jari-jarinya, dan wajahnya tampak lebih segar dari biasanya karena sehabis cuci muka. “Pak, panas banget hari ini. Pak Arman ngerasa juga nggak?” tanya Usman, mandor proyek yang selalu setia menemaninya. “Nggak seberapa. Ayo ikut saya keluar sebentar,” jawab Arman cepat. “Keluar ke mana, Pak?” “Ambil makan siang.” Usman mengernyit. “Lho, bukannya katering udah rutin diantar ke proyek? Biasanya Mbak Indira sendiri yang urus, kan? Kok sekarang jadi Pak Arman yang sibuk ngurus katering juga." Arman tersenyum kecil, berusaha terlihat santai. “Saya cuma mau cek aja. Siapa tahu menunya berubah. Lagian, saya juga harus pastikan porsinya cukup untuk semua pekerja.” Usman menatapnya dengan tatapan penuh arti. “Cek porsi atau cek yang masak, Pak?” Arman melirik tajam. “Kamu banyak omong, Man. Ayo, ambil motonya.” Motor bebek tua milik Usman sudah menunggu. Mesin tuanya batuk-batuk saat dinyalakan, tapi cukup kuat membawa mereka menyusuri jalan desa yang berdebu. Di kiri kanan, hamparan sawah menguning, dan sesekali terlihat warga yang melintas membawa hasil panen. “Kalau dipikir-pikir,” gumam Usman di tengah suara knalpot, “bos kota kayak Bapak ini biasanya nggak betah di desa. Tapi kok saya lihat Bapak makin semangat tiap hari ya?” Arman tidak menjawab. Ia hanya memandangi jalan lurus di depan, tapi senyumnya jelas terlihat. “Kamu pikir saya nggak bisa betah di tempat sederhana? Kadang justru di tempat kayak gini, hidup terasa tenang.” Usman mengangguk kecil, lalu berkata lirih, “Apalagi kalau ada yang bikin betah.” “Usman!” tegur Arman setengah tertawa. “Jangan mulai.” Mereka berdua tertawa ringan. Tapi tawa itu pelan-pelan hilang saat rumah Bik Ningsih mulai tampak di ujung jalan. Rumah tua bercat putih dengan halaman luas dan pohon jambu yang menaungi bagian depannya. Di bawah pohon itulah biasanya Indira menata kotak-kotak makanan untuk dikirim ke proyek. Aroma masakan menyeruak begitu motor berhenti. Wangi sambal, tumisan sayur, dan ayam goreng bercampur jadi satu, membuat perut siapapun yang menciumnya pasti langsung keroncongan. “Pak Arman? Lho, kok datang sendiri?” sapa Bik Ningsih, perempuan berkerudung abu-abu dengan senyum hangat. “Padahal ini Wawan sama Indira sudah siap mau antar ke proyek.” Arman menunduk sopan. “Iya, Bik. Kebetulan lewat. Jadi sekalian aja mampir ambil makan siang buat para pekerja.” Dari dapur, Indira muncul membawa satu kantong besar berisi beberapa kotak nasi katering. Wajahnya sedikit basah oleh keringat, tapi matanya berbinar. Rambut hitamnya diikat ke belakang dengan karet sederhana, dan celemek bermotif bunga membingkai tubuh rampingnya. “Pak Arman,” sapanya sopan, agak terkejut. "Bapak mau ambil makanan? Sebentar ya, Pak. Masih kurang sepuluh kotak. Tinggal packing saja." Arman menahan senyum. “Oh iya, Mbak. Nggak papa. Saya tunggu." Usman terbatuk-batuk sengaja menggoda bosnya. Jelas saja Arman tidak keberatan menunggu agar bisa lebih lama memandangi Indira. Sambil menunggu, Arman memperhatikan dapur sederhana itu. Dindingnya dari kayu, tapi bersih. Di meja panjang tersusun rapi beberapa kotak makan siang. Ada sekitar empat puluh kotak yang siap dikirim. “Ini semua kamu yang masak, Mbak?” tanya Arman sambil berjalan mendekat. “Sebagian, Pak. Saya bantu Bik Ningsih. Ada juga ibu-ibu yang bantuin. Kalau pesanan banyak, kami kerja dari malam harinya.” “Berarti tiap hari begini?” Indira mengangguk, tersenyum bangga. “Iya. Capek sih, tapi kalau lihat semua makan dengan lahap, rasanya senang aja.” Arman terdiam sesaat. Ia memperhatikan wajah gadis itu yang polos tapi penuh keteguhan. Ada sesuatu yang tulus dalam caranya bicara. “Hebat kamu,” gumamnya pelan. Indira melirik. “Hebat apanya, Pak?” “Kerja keras, nggak banyak ngeluh. Jarang saya lihat orang kayak kamu.” Wajah Indira langsung merona. “Aduh, Pak Arman bisa aja. Kami di sini ya biasa aja. Kalau nggak kerja, mau makan apa?” “Justru karena biasa itu yang luar biasa,” balas Arman ringan. Usman nyaris batuk menahan tawa di belakang. Ia tahu betul arah percakapan ini ke mana. “Eh, Pak, ini semua udah siap,” sela Indira cepat-cepat, berusaha mengalihkan topik. Bik Ningsih ikut nimbrung sambil membawa dua gelas es teh manis. “Nah, sebelum dibawa, minum dulu, Pak Arman. Panas-panas gini kan haus.” “Wah, makasih, Bik,” jawab Arman sambil duduk di bangku panjang. Indira duduk di seberangnya, menatap daftar pesanan sambil sesekali menghela napas. Arman memperhatikan tangannya yang sibuk. “Kamu selalu catat jumlah kotaknya sendiri?” “Iya. Soalnya pernah salah kirim waktu Wawan yang hitung. Jadi sekarang saya pastikan sendiri semuanya.” “Pantas aja katering dari sini nggak pernah bermasalah,” ujar Arman. “Kamu rapi banget.” “Udah kebiasaan aja, Pak,” jawab Indira pelan. Lalu Arman berkata lirih, “Kalau semua pekerja proyek makan makanan dari tangan kamu, saya yakin mereka semangat terus kerja tiap hari.” Indira tersenyum malu, menunduk. “Pak Arman, jangan ngomong gitu. Saya jadi nggak enak.” “Kenapa nggak enak? Saya cuma bilang yang sebenarnya.” Usman menunduk pura-pura memperbaiki tali pengikat kotak, tapi senyum geli tak bisa ia sembunyikan. Setelah semuanya siap, Indira menyerahkan satu bungkusan kecil ke tangan Arman. “Ini lauk tambahan buat Bapak. Gratis. Anggap aja bonus karena selalu pesan banyak setiap hari.” Arman mengangkat alis. “Wah, terima kasih, ya? Padahal saya juga sudah pesan katering harian untuk makan saya pribadi." Usman segera menyalakan motor. “Pak, udah siap nih. Kalau kelamaan, makan siangnya keburu sore.” Arman berdiri, mengambil helm, tapi sempat menatap Indira sekali lagi. “Terima kasih, Mbak Indira. Nanti sore saya kabari kalau butuh tambahan porsi.” “Baik, Pak. Hati-hati di jalan, ya.” Arman tersenyum, lalu naik ke motor. Saat motor mulai melaju, ia sempat menoleh. Indira masih berdiri di teras, melambaikan tangan kecil ke arah mereka. Angin siang membawa aroma wangi masakan, bercampur dengan sesuatu yang lebih lembut—rasa yang mulai tumbuh pelan tapi pasti. Begitu motor mulai menjauh, Usman langsung membuka suara. “Pak, boleh saya jujur?” “Silakan.” “Bapak tuh bukan ambil makan siang, tapi ambil hati.” Arman menatap lurus ke jalan, tapi sudut bibirnya terangkat. “Mungkin dua-duanya.” “Waduh,” seru Usman, tertawa lepas. “Kalau gini terus, jangan-jangan nanti proyek mall berubah jadi proyek asmara.” Arman ikut tertawa pelan, tapi di balik tawa itu ada sesuatu yang nyata: Ia tahu, kunjungan sederhana itu bukan yang terakhir. Dan di hari yang sama, ketika matahari mulai condong ke barat, pikirannya sudah mulai mencari-cari alasan baru — alasan untuk kembali ke rumah itu, lagi dan lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN