Restoran itu elegan, temaram, dengan lampu gantung kristal memantulkan cahaya keemasan. Meja bulat di sudut ruangan telah disiapkan, penuh hidangan mewah dan gelas wine setengah penuh. Gibran melangkah masuk dengan langkah tenang, meski dadanya sesak. Pandangannya langsung tertuju pada meja itu — di sana sudah ada Nayla, Mahardika, dan Dahlia. Dia terdiam sejenak, karena Rania tidak di sana, seolah dia bukan bagian dari keluarga itu. Nayla menoleh pertama kali. Senyumnya lembut, hangat, dan seolah tak ada badai yang baru saja dia lemparkan ke hidup Gibran. “Gibran…” panggilnya manis, membuat Dahlia menoleh ikut tersenyum. “Gibran, sini, Nak. Mama sudah pesan menu kesukaanmu,” sapa Dahlia ramah, seolah menyambut menantu idaman. Sementara Mahardika hanya mengangguk singkat, memasang seny

