Keheningan terasa memekat. Gibran masih berdiri di ambang pintu, bahunya tegang, rahangnya mengeras. Tatapan tajamnya menembus Rania, lalu beralih pada Tirto yang kini berdiri di baliknya “Boleh saya masuk?” Suara Gibran terdengar berat, nyaris tanpa intonasi, tapi ada dentuman yang menekan di bawahnya. Rania menelan ludah, melirik sekilas ke Tirto, lalu mempersilakan Gibran masuk. Sepatu kulitnya terdengar menjejak lantai apartemen dengan ritme terukur — setiap langkah seperti menghitung detik menuju ledakan. Gibran duduk di sofa tanpa diundang. Tatapannya jatuh pada Tirto, dingin, menghitung, dan… mematikan. Tirto, bukannya mundur, justru tersenyum tipis — senyum yang jelas bukan untuk ramah tamah. Ia bersandar santai di dinding, menyilangkan tangan di d**a, lalu berkata dengan nada

