Rania terdiam. Kata-kata Sofi menggema di dalam kepalanya, berulang-ulang, seolah ruang apartemen sempit itu tidak sanggup menahan beratnya sebuah kemungkinan. Hamil? Kedua tangannya meremas ujung sweater yang ia kenakan, dingin merambat hingga ke ujung jemari, sementara napasnya memburu. Ia tidak menjawab. Matanya hanya menatap lurus ke arah karpet, kabur oleh bayangan yang berkelebat dalam benaknya: wajah Gibran yang gelisah, panggilan telepon orang tua yang tak henti menuntut, serta tatapan Nayla yang selalu menempatkannya di posisi kalah. “Aku hanya tanya, Ran…” suara Sofi lebih lembut, kali ini nyaris seperti bisikan. “Kalau memang iya… apa ayahnya tahu?” Pertanyaan itu menusuk seperti pisau tipis. Rania mengangkat kepalanya perlahan, menatap Sofi dengan mata yang berkaca-kaca. Ada

