Hari pertama Rania di perusahaan Gibran terasa seperti melangkah masuk ke panggung besar yang penuh penonton tak terlihat. Lobi utama dipenuhi karyawan bersetelan rapi, dengan langkah cepat dan tatapan fokus. Logo Aliando Corp berkilau di dinding marmer, memantulkan cahaya matahari pagi yang menembus kaca tinggi.
Rania melangkah dengan percaya diri, heels-nya berbunyi pelan di lantai marmer. Penampilan yang ia pilih sengaja profesional: blus putih satin, rok pensil hitam selutut, rambut diikat rendah. Tidak terlalu mencolok… tapi cukup untuk menunjukkan bahwa ia bukan gadis manja yang cuma “dikasih kerjaan” oleh calon kakak iparnya.
Seorang perempuan berambut bob, berkacamata, menghampirinya. “Anda Rania, ya? Saya Vira, sekretaris HRD. Saya akan mengantar Anda ke lantai 35, ruang CEO.”
Rania mengangguk lalu mengikuti arahan dari Vira. Mereka naik lift untuk pergi ke lantai 35, lantai CEO berada. Begitu pintu lift terbuka, Rania langsung mencium aroma kayu dan parfum maskulin yang samar—persis seperti di apartemennya. Vira mengetuk pintu kaca buram bertuliskan CEO Office.
“Masuk.” Suara berat itu terdengar dari dalam.
Vira meminta Rania masuk, sementara dia kembali ke tempatnya berada. Rania belum sempat mengucapkan terimakasih karena Vira langsung melangkah pergi. Rania pun masuk ke dalam ruangan sang CEO.
Pintu dibuka, dan di balik meja kayu besar, Gibran duduk mengenakan setelan abu-abu gelap. Kemejanya tanpa dasi, dua kancing atas terbuka, memberi kesan santai tapi tetap berkuasa.
Tatapannya langsung terarah ke Rania. Bukan tatapan bos ke bawahan, tapi tatapan pria yang mengingat sesuatu yang seharusnya tidak diingat di kantor.
“Selamat datang, Sekretaris baru,” ucapnya datar, tapi sudut bibirnya sedikit terangkat.
“Panggil saya Rania saja, Pak,” jawab Rania sengaja formal.
“Pak?” Gibran berdiri, berjalan mendekat, tangannya menyelip di saku celana. “Kita sepakat tidak perlu formal saat berdua.”
Rania menatapnya lurus. “Tapi di sini, kita tidak berdua. Kita bos dan sekretaris.”
Gibran tersenyum tipis. “Baiklah kalau itu membuatmu lebih nyaman, tapi jangan lupa, jam kerja kita… fleksibel.”
Percakapan mereka terputus ketika Vira kembali. Dia mengetuk pintu CEO sekali lagi. Gibran kembali duduk.
Vira masuk lalu menyerahkan dokumen kontrak kerja sementara. “Ini arahan dari Bu Nayla, Pak. Katanya, saya harus memberi laporan perkembangan kerja Mbak Rania tiap Minggu.”
Rania menoleh cepat. “Laporan? Untuk Kakak saya?”
Gibran mengambil dokumen itu, membacanya sekilas, lalu menaruhnya di meja tanpa ekspresi. “Sampaikan ke Bu Nayla… saya yang akan menilai langsung kinerja Rania.”
Vira mengangguk gugup dan keluar, meninggalkan mereka berdua.
Rania menghela napas. “Jadi, dia memang mau mengawasi.”
“Biar saja,” ucap Gibran santai sambil duduk di tepi mejanya. “Kamu di sini karena aku mau. Selama kamu di bawah pengawasanku…” Ia mencondongkan tubuh sedikit. “…tidak ada yang bisa menyentuhmu, termasuk Nayla.”
Rania mengangkat dagunya. “Termasuk kamu?”
Gibran tersenyum tipis, matanya berkilat. “Itu… tidak pernah masuk dalam janji. Nanti aku yang rugi.”
Rania menatapnya beberapa detik sebelum berbalik menuju meja kerjanya di sisi ruangan. Namun dalam hati, ia tahu satu hal bahwa bekerja di sini bukan hanya tentang mengetik surat dan menjawab telepon. Ini adalah permainan di mana setiap hari bisa jadi langkah maju… atau jatuh ke jurang.
Sedangkan Gibran, duduk di kursinya dengan tatapan penuh rahasia itu, adalah jurang yang paling berbahaya.
---
Pukul 14.45, suasana di lantai 35 mulai lengang. Sebagian karyawan sudah meninggalkan meja untuk rapat di lantai bawah atau sekadar mengambil kopi sore. Rania sedang merapikan berkas di mejanya ketika suara Gibran memecah konsentrasi.
“Kita ada pertemuan dengan klien di luar. Siapkan laptop dan dokumen presentasi.”
Rania menoleh. “Jam segini? Bukannya biasanya mereka datang ke sini?”
Gibran sudah meraih jasnya. “Klien ini orang lama. Dia lebih suka bertemu di tempat netral. Santai saja, cuma satu jam.”
Rania mengangguk, meraih tas kerja. Tak lama kemudian mereka sudah berada di lift, berdiri bersebelahan. Bau cologne Gibran begitu dekat, dan entah kenapa, suasana di antara mereka jauh lebih santai dibanding di dalam ruang CEO tadi pagi.
Mobil hitam Gibran meluncur mulus keluar dari parkiran. Musik mengalun pelan, percakapan mereka ringan—tentang menu makan siang di pantry yang katanya “terlalu sehat”, hingga membahas desain interior kantor yang “terlalu serius”.
Mereka tiba di sebuah kafe rooftop di kawasan bisnis. Tempat itu setengah sepi, dengan pemandangan kota yang membentang luas di bawah langit sore yang mulai memerah.
Pertemuan dengan klien berjalan singkat dan lancar. Setelah klien pergi, Gibran tidak langsung mengajak pulang. Ia memanggil pelayan dan memesan dua gelas kopi.
“Kita nggak langsung balik?” tanya Rania.
“Kenapa? Takut ketahuan?” Gibran menatapnya sambil mengaduk kopi. “Kalau kamu pikir aku bawa kamu ke sini untuk alasan lain… kamu benar.”
Rania mengangkat alis. “Dan alasan itu?”
“Aku cuma mau waktu kita berdua. Di kantor terlalu banyak mata.”
Rania menyesap kopinya, mencoba menutupi degup jantungnya yang mulai tak beraturan. “Kamu sadar, ini… gila?”
“Gila itu kalau aku pura-pura nggak mau kamu,” jawab Gibran tenang.
Mata mereka bertemu. Angin sore membawa aroma kopi dan parfum, membungkus mereka dalam gelembung waktu yang terasa terlalu nyaman untuk disebut berbahaya.
Ketika matahari mulai turun, Gibran berdiri dan mengulurkan tangan. “Ayo. Aku antar kamu pulang… atau ke apartemenku, kalau kamu mau.”
Rania menatap tangan itu sebentar sebelum berdiri tanpa menyentuhnya. “Ke apartemenku saja. Lebih aman.”
Senyum tipis muncul di wajah Gibran. “Aman, ya? Kita lihat nanti.”
"Kenapa? Kamu pikir Nayla akan mendobrak masuk seperti saat di apartemenmu?"
Gibran terkekeh, "Kamu berani sekali menyindir bosmu ya?"
"Kenapa? Bapak tersinggung atau berniat menghukum saya?"
"Menghukum? Wah, kamu memberiku ide."
"Hentikan ide konyol anda. Saya tidak akan menurut."
"Kamu terlalu formal, jam kantor sudah usai dan sekarang kita tidak bekerja, lho." Gibran menegur.
"Hm..."
"Kamu marah?"
"Nggak, aku setuju."
Gibran dan Rania saling bertatapan.
"Kamu memang menarik, Rania."
"Tentu, ada banyak yang belum kamu lihat dariku."
"Ayo, Sayang!" Gibran menggandeng tangan Rania, merasa tidak sabar untuk semakin mengenal sekretaris barunya.
Dalam perjalanan pulang, tidak ada kata-kata besar atau janji. Hanya kebisuan yang sarat makna, yang justru membuat mereka semakin sadar: mereka sedang membangun sesuatu yang akan sulit dihentikan.
Sore itu, untuk pertama kalinya sejak semua dimulai, Rania tidak merasa berdosa, hanya ingin menuntaskan rasa yang sudah tidak bisa lagi dikendalikan.