Hujan tipis masih turun ketika Arga membuka pintu mobil untuk Rania. Aroma tanah basah bercampur wangi pohon pinus khas Bandung mengambang di udara, tidak ada yang menenangkan dari suasana itu. Pelayan keluarga dan beberapa penjaga rumah Mahardika memalingkan wajah cepat—mengerti, tapi pura-pura tidak tahu. Seolah ketegangan yang baru saja terjadi bukan urusan mereka, seolah Rania hanya tamu biasa yang datang dan pergi tanpa meninggalkan luka apa-apa. Padahal d**a Rania masih sesak. Ia masuk ke dalam mobil tanpa banyak bicara. Rambutnya lembap, ujung-ujungnya menempel di pipi dan leher. Bahunya bergetar ringan—bukan karena dingin, tapi karena adrenalin tadi belum mereda. Sisa ketakutan masih menempel, seperti bayangan yang enggan pergi. Arga masuk dari sisi lain. Begitu pintu tertutup,

