Pagi itu, sinar matahari Milan menembus tirai apartemen, menaburkan garis-garis keemasan pada tepian furnitur dan sisi wajah yang baru terjaga. Di depan jendela, Arga berdiri memegang cangkir kopi yang sudah mendingin; uapnya tak lagi menari, hanya menyisakan aroma pahit yang akrab. Di meja makan, tablet menampilkan lembar-lembar angka dan catatan yang Rania bantu periksa semalam, ia duduk tenang, rambut yang semalam tergerai kini ditata longgar, wajahnya masih menyimpan bekas malam yang panjang. Keheningan antara mereka bukan hampa; ia penuh dengan sisa-sisa malam yang baru berlalu: bejana kaca yang kini kosong, sehelai kain yang tergerai di sofa, dan detik-detik ketika topeng-topeng mereka jatuh sejenak. Arga memecahnya, suaranya datar namun membawa beban. “Kita diundang ke acara

