Sayap timur rumah Mahardika selalu sunyi selepas tengah malam. Lampu-lampu lorong menyala setengah, meninggalkan bayangan panjang di dinding marmer. Akan tetapi malam itu, keheningan pecah oleh suara pintu dibanting. Kedamaian yang coba dipertahankan, kehilangan ketenangannya, berubah menjadi sesuatu yang tidak bisa lagi diredam keheningan. Gibran masuk ke kamarnya dengan langkah kasar. Kausnya basah sebagian oleh hujan, rambutnya acak-acakan, dan matanya liar. Nayla yang sedang duduk di depan cermin langsung menoleh, alisnya menegang. Dia tahu, suaminya pergi, tapi tidak menyangka akan datang dalam keadaan seperti itu. Padahal jelas, Gibran menggunakan mobil, tidak ada alasan baginya kehujanan. “Dari mana kamu?” Nada suaranya datar, dingin, sangat berbeda dari kelembutan yang dulu. Gib

