Pagi itu, cahaya matahari menembus tirai kamar Gibran, tapi hangatnya tak mampu menembus kepedihan yang dirasakan. Udara lembap menempel di kulitnya, membuat napas terasa berat. Jas hitam tergantung rapi di depan lemari, setelan yang dulu melambangkan kekuasaan kini terasa seperti baju zirah yang menekan d**a. Dia merasakan kehampaan yang sulit dijelaskan. Gibran sedang duduk di tepi ranjang, menatap lantai kayu yang mengilap. Setiap detik terasa panjang. Ruangan itu sunyi, hanya terdengar detak jam di dinding dan desahan napasnya yang lelah. Di meja rias, foto dirinya bersama Rania masih terselip di bingkai kecil, tersembunyi di balik tumpukan dokumen. Ia tak sanggup membuangnya. Tak sanggup menghapus satu-satunya bukti bahwa ia pernah bahagia. Gibran menatap dirinya di cermin. Wajah lu

