Pagi di Milan menyambut mereka dengan cahaya yang lebih lembut daripada biasanya. Seolah-olah kota itu tahu apa yang telah terjadi di Zurich, kejujuran yang meletup pelan, kulit yang saling menemukan, dan dua hati yang akhirnya berhenti bersembunyi di balik logika dan pekerjaan. Udara awal musim gugur yang dingin mengusap kaca jendela hotel, menghadirkan kabut tipis yang perlahan menipis ketika matahari terbit. Rania bangun lebih dulu. Rambutnya jatuh berantakan di bahu, pipinya masih merah muda karena sisa kehangatan malam sebelumnya, dan ada ketenangan baru yang belum pernah Arga lihat selama ini. Ia berdiri di balkon kamar hotel, bersandar pada pagar besi hitam yang dingin, memandangi cakrawala Milan yang perlahan memudar dari biru keperakan menjadi hangat keemasan. Saat Arga membuka

