Rania menatap Tirto lama, seolah kata-kata pria itu baru saja menjatuhkan batu besar ke dalam kolam pikirannya yang sudah keruh. Riak-riaknya membuat jantungnya berdetak tidak karuan. Tinggal bersama Tirto. Kata itu terasa asing, menakutkan, sekaligus… menenangkan. “Mas… kamu sadar apa yang barusan kamu tawarkan?” suara Rania nyaris bergetar. Tirto tidak menoleh ke arah lain, tatapannya kokoh menembus keraguan Rania. “Aku sadar. Aku tahu ini kedengaran tiba-tiba. Tapi aku nggak asal ngomong. Aku punya kontrakan di tengah kota, nggak besar, tapi cukup. Dan yang penting, kamu nggak perlu merasa sendirian.” Rania menelan ludah, tangannya mengepal di atas pangkuan. “Tapi Mas… kita baru saja—” ia terhenti, wajahnya memanas ketika bayangan ciuman semalam kembali menyeruak. Bibirnya masih seak

